Laporan Asesmen Kekerasan Jurnalis di 3 Wilayah Indonesia (Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya) oleh Yayasan Tifa Proyek Jurnalisme Aman.
Pemetaan di Tiga Region: Barat, Tengah, dan Timur
Studi Kasus di Provinsi: Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya
Dalam lima tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan—baik dari sisi jumlah, intensitas, maupun keragaman bentuknya. Jurnalis tidak hanya menghadapi kekerasan fisik di lapangan, tetapi juga menjadi sasaran serangan digital, intimidasi hukum, kriminalisasi melalui pasal karet, serta pelecehan berbasis gender. Kekerasan ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks memburuknya kebebasan sipil, lemahnya penegakan hukum, serta rapuhnya perlindungan kelembagaan bagi pekerja pers.
Laporan ini disusun sebagai respons terhadap kebutuhan akan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Pada 2023, telah dilakukan asesmen awal secara nasional yang kemudian terangkum dalam laporan pertama. Tahun ini, studi tentang kekerasan terhadap jurnalis Indonesia kembali dilakukan yang lebih terfokus dan kontekstual melalui studi kasus di tiga wilayah: Aceh (Barat), Sulawesi Tengan (Tengah), dan Papua Barat Daya (Timur). Tujuannya adalah untuk memetakan secara komprehensif berbagai bentuk kekerasan yang dialami jurnalis, baik dari segi intensitas, pelaku, maupun pola penanganannya, dengan memadukan pendekatan kuantitatif melalui survei dan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam serta diskusi kelompok terfokus (FGD).
Survei nasional yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap lebih dari 2.000 jurnalis menunjukkan bahwa lebih dari 75% responden pernah mengalami kekerasan, sebagian besar dalam bentuk intimidasi verbal, pelecehan daring, atau tekanan dari narasumber yang berkuasa. Sementara itu, studi lapangan di region Barat, Tengah dan Timur, dengan studi kasus di Provinsi Aceh, Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Papua Barat Daya yang mewakili masing masing region, menggambarkan bagaimana kekerasan terhadap jurnalis sering kali berlangsung dalam ekosistem yang permisif: pelaku tidak dihukum, korban tidak didampingi, dan media tempat jurnalis bekerja cenderung menghindari konflik ketimbang membela stafnya.
Temuan ini diperkuat oleh evaluasi terhadap kerangka hukum dan kelembagaan nasional. Meskipun Indonesia memiliki UU Pers yang secara normatif menjamin kebebasan pers dan perlindungan jurnalis, dalam praktiknya banyak aparat penegak hukum—termasuk polisi, jaksa, dan hakim—tidak merujuk pada UU ini saat menangani kasus yang melibatkan jurnalis. Di sisi lain, pasal-pasal dalam UU ITE dan KUHP yang lentur terus digunakan untuk mengkriminalisasi kerja jurnalistik. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan institusi keamanan belum terimplementasi secara efektif di daerah, sementara lembaga-lembaga negara seperti Komdigi atau Komnas HAM belum menunjukkan posisi aktif dalam perlindungan jurnalis sebagai bagian dari agenda hak asasi manusia.
Namun di tengah kondisi tersebut, organisasi jurnalis dan OSM seperti AJI, LBH Pers, IJTI, AMSI, dan SAFEnet telah berperan sebagai garda perlindungan terdepan. Mereka menyediakan pendampingan hukum, pelatihan keamanan digital, advokasi publik, dan solidaritas kolektif saat negara belum mampu (atau enggan) mengambil peran. Sayangnya, inisiatif-inisiatif ini masih bersifat reaktif, terbatas cakupannya, dan belum mampu membentuk sistem perlindungan jurnalis yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Dalam laporan ini, pengalaman negara-negara lain seperti Kolombia, Meksiko, Norwegia, dan Swedia turut dikaji sebagai pembanding. Negara-negara tersebut telah mengembangkan mekanisme perlindungan jurnalis yang formal, didanai negara, dan dikelola melalui koordinasi lintas sektor—termasuk menyediakan hotline nasional, evakuasi darurat, bantuan hukum dan psikososial, serta pelatihan wajib bagi aparat keamanan. Rekomendasi dari rencana aksi internasional seperti UN Plan of Action on the Safety of Journalists and the Issue of Impunity juga menjadi inspirasi penting bagi pembentukan kebijakan serupa di Indonesia.
Laporan ini mengajukan serangkaian rekomendasi strategis, termasuk pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis, reformasi UU ITE dan penguatan posisi UU Pers, pembentukan unit khusus di kepolisian dan Komdigi, dukungan anggaran untuk rehabilitasi korban, serta integrasi kebebasan pers ke dalam indikator demokrasi daerah. Perlindungan terhadap jurnalis juga harus menjadi agenda bersama media, organisasi profesi, masyarakat sipil, dan negara—dengan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada respons, tetapi juga pada pencegahan dan pemulihan.
Keselamatan jurnalis bukan semata-mata urusan profesi, melainkan menyangkut hak masyarakat atas informasi yang bebas dan independen. Demokrasi tidak bisa hidup tanpa pers yang merdeka, dan pers yang merdeka tidak bisa tumbuh dalam iklim kekerasan dan impunitas. Oleh karena itu, perlindungan jurnalis harus ditempatkan sebagai tanggung jawab kolektif
bangsa, bukan sekadar kepedulian sektoral.