Catatan Yayasan Tifa untuk Reformasi Polri Hadapi Tantangan Pemolisian di Era Siber

... wewenang Polri yang sangat luas dalam melakukan pengawasan dan moderasi ruang siber di tengah lemahnya mekanisme pengawasan internal dan eksternal telah menghasilkan banyak catatan indikasi penyalahgunaan kekuasan dan tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan pembatasan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul, atas dasar ketertiban umum.

Pada 8 November 2025, Presiden Prabowo membentuk Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (KPRP) yang beranggotakan 10 orang. Komite yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.122 Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Polri ini dipimpin oleh Jimly Asshiddique dan beranggotakan antara lain Mahfud MD, Badrodin Haiti, dan Ahmad Dofiri.

Sebelumnya pada Rabu, 3 Desember 2025 lalu, Yayasan Tifa berkesempatan untuk menyampaikan catatan dan masukan untuk reformasi Polri dalam merespons kebutuhan pemeliharaan hukum dan ketertiban oleh kepolisian (policing/pemolisian) di era digital. Dalam pertemuan tersebut, Yayasan Tifa menyoroti bahwa perkembangan teknologi digital telah menghadirkan tantangan baru bagi pemolisian, salah satunya dengan kehadiran computer-dependent crime dan computer-enabled crime (juga disebut, computer crime dan computer-enabled crime).

Pertama, perluasan kapabilitas serangan siber juga berdampak signifikan pada lanskap ancaman terhadap aktor demokrasi, seperti aktivis, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan media.

Laporan Situasi Hak-Hak Digital yang diterbitkan SAFEnet setiap tahun sejak tahun 2019 mencatat bagaimana momentum sosial-politik signifikan di Indonesia selalu diwarnai dengan peningkatan ancaman dan serangan digital terhadap warga. Laporan terbaru tahun 2024 mengungkapkan peningkatan signifikan pelanggaran hak digital di tengah dinamika aksi nasional #PeringatanDarurat, termasuk 330 insiden serangan digital sepanjang tahun dan 1.902 aduan Kekerasan Berbasis Gender Online, yang menunjukkan kerentanan hak digital terutama bagi perempuan dan kelompok minoritas.  

Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 terbitan program Jurnalisme Aman pun mencatatkan serangan digital sebagai bentuk kekerasan terbanyak keempat yang dilaporkan dialami para jurnalis, dengan peretasan akun, pencurian identitas digital, dan intimidasi online sebagai jenis serangan yang dialami mayoritas jurnalis yang menjadi responden. Asosiasi Media Siber (AMSI) menyoroti tren serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang kerap ditargetkan pada outlet media online yang melakukaan pemberitaan kritis terhadap pemerintah dan institusi negara. Teranyar adalah serangan DdoS terhadap Tempo pada April 2025 lalu usai penerbitan laporan investigasi “Tentakel Judi Kamboja”, yang membuat sebagian besar konten Tempo tidak dapat diakses publik melalui website tempo.co, khususnya mengenai judi online.

Serangan digital terhadap media online tidak hanya berdampak pada akses publik terhadap informasi, tetapi juga memberikan pukulan berat pada perusahaan media karena biaya pengelolaan server meningkat drastis. Biaya operasional tambahan dan kerugian finansial yang ditimbulkan DDoS dapat mengakibatkan chilling effect yang memengaruhi kebijakan editorial redaksi terkait penerbitan liputan yang sensitif atau kritis terhadap kekuasaan. 

Merespons tren ini, Yayasan Tifa mendorong reformasi Polri yang berorientasi pada peningkatan kapasitas institusi Polri dan personel dalam melakukan penegakan hukum atas serangan digital yang menargetkan aktor-aktor demokrasi, antara lain dengan memprioritaskan pengembangan kapasitas forensik digital. Kebutuhan ini semakin mendesak dalam merespons serangan siber terorganisasi, menyerang sekelompok orang dengan modus berbeda dalam waktu bersamaan, seperti dalam kasus peretasan sejumlah aktivis antikorupsi di tahun 2021 yang mengkritisi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tak kalah penting, peningkatan kapasitas forensik digital Polri harus dibersamai dengan internalisasi prosedur pelindungan privasi dalam penanganan kasus ancaman dan serangan siber, terutama yang menargetkan kelompok rentan, sebagaimana dalam konteks kekerasan berbasis gender online dan child grooming. UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi mewajibkan penegak hukum seperti Polri menerapkan prinsip-prinsip pelindungan data pribadi selama penyidikan siber. Bukti digital harus diamankan dari akses tidak sah, dihindari perubahan data, dan didokumentasikan setiap tindakan untuk mencegah pelanggaran privasi.

Hal kedua yang menjadi catatan Yayasan Tifa adalah

wewenang Polri yang sangat luas dalam melakukan pengawasan dan moderasi ruang siber di tengah lemahnya mekanisme pengawasan internal dan eksternal

telah menghasilkan banyak catatan indikasi penyalahgunaan kekuasan dan tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan pembatasan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul, atas dasar ketertiban umum.

Lebih lanjut, draf perubahan UU No. 2/2002 tentang Polri memperluas wewenang Polri untuk pengamanan, pembinaan, dan pengawasan ruang siber, termasuk penindakan, pemblokiran, pemutusan, serta perlambatan akses ruang siber demi tujuan keamanan dalam negeri. Tanpa persetujuan pengadilan, Polri dapat bertindak subjektif atas nama “keamanan dalam negeri” sebagaimana rekam jejaknya dalam demonstrasi #ResetIndonesia Agustus-September 2025, di mana Polri menetapkan 959 tersangka berdasarkan 246 laporan yang diterima; dalam kasus intimidasi anggota Direktorat Reseres Siber (Ditressiber) Polda Jawa Tengah terhadap band Sukatani pada Januari 2025 lalu; maupun dalam berkoordinasi dengan pemerintah yang berujung pada pemutusan dan perlambatan akses internet di Papua pada Agustus-September 2019; serta indikasi pengadaan spyware Pegasus untuk penyadapan zero-click terhadap kelompok kritis (2017-2018).

Hingga saat ini, sedikitnya 1.038 orang masih ditahan dan tengah diproses hukum terkait unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus-awal September 2025. Sebagian besar ditahan atas tuduhan terkait penyebaran dis- dan misinformasi, ujaran menghasut, dan berbagai jenis ujaran yang diatur dalam UU No. 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Situasi ini memperkuat kekhawatiran akan semakin menyempitnya kebebasan sipil di ruang siber jika kewenangan pengawasan dan intervensi Polri tidak diatur secara ketat, transparan, dan dengan pengawasan yang independen dan efektif. Merespons situasi ini, agenda reformasi Polri perlu memuat penguatan mekanisme pengawasan internal Polri, seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), dan penguatan kewenangan lembaga pengawas eksternal Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) 

Secara spesifik dalam konteks perlindungan pers, kewenangan Patroli Siber dan mekanisme pelaksanaannya harus diperjelas guna memastikan konten jurnalistik tidak menjadi objek pengawasan tanpa verifikasi Dewan Pers terlebih dahulu, sesuai Pedoman Pemberitaan Media Siber yang menekankan prinsip verifikasi independen untuk akurasi dan keberimbangan berita. Guna melindungi fungsi pers berdasarkan UU No. 40/1999 dan mencegah kriminalisasi jurnalisme, tiap temuan Patroli Siber yang menyangkut produk pers harus melalui mekanisme deferensi ke Dewan Pers untuk penilaian etik, bukan langsung diproses pidana. Lebih lanjut, Polri perlu menyediakan prosedur standar operasional moderasi konten yang dapat diakses publik dan memastikan penanganan laporan tidak berujung pada pembungkaman media atau jurnalis yang kritis. 

Yayasan Tifa juga menyoroti pentingnya reformasi Polri untuk memuat agenda penguatan transparansi dan akuntabilitas pengadaan untuk kebutuhan pemolisian di era siber. Laporan investigasi Project Multatuli terhadap data lelang publik LPSE mengungkap bahwa antara 2017 hingga 2021, Polri mengalokasikan total Rp3,8 triliun untuk 57 tender terkait “media dan komunikasi”, termasuk konten media sosial, produksi video/animasi, publikasi, pemantauan, OSINT, dan media intelligence, dengan 43,4% (Rp1,65 triliun) mengalir ke Badan Intelijen dan Keamanan Polri (Intelkam). Alokasi anggaran ini timpang dengan anggaran penyelidikan kasus ringan di tingkat Polda-Polres yang hanya Rp4 juta per kasus meskipun anggaran yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus melebihi alokasi tersebut. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan prioritas, di mana pengeluaran masif untuk pencitraan digital melebihi dukungan operasional penanganan kejahatan siber.  

Dalam rangka reformasi Polri, penting untuk memastikan agar anggaran Polri yang terbatas dialokasikan untuk mendukung penanganan kejahatan siber secara lebih efektif dan responsif, termasuk dengan peningkatan kapitas SDM dan pengadaan teknologi. Tidak kalah penting, pengadaan harus ditunjang tata kelola anggaran yang transparan, akuntabel, dan berorientasi hasil (outcomebased budgeting). Hal ini dilakukan misalnya dengan mengaitkan setiap pengadaan pada indikator kinerja yang terukur, misalnya jumlah perkara siber yang ditangani, kecepatan respons, serta peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat, serta memastikan ketersediaan seluruh dokumen pengadaan dapat diakses publik.  

Akuntabilitas penggunaan barang dan jasa untuk mendukung kinerja pemolisian Polri di era digital perlu diawasi secara independen, salah satunya dengan memastikan Kompolnas dapat mengakses data anggaran secara real time, melakukan investigasi, dan mengenakan sanksi atas penyimpangan tender.  

Dalam konteks pengadaan dan penggunaan teknologi pengawasan digital dan teknologi autentikasi yang berisiko tinggi terhadap pelanggaran hak, Polri wajib melakukan uji etika, uji proporsionalitas, dan penilaian dampak hak asasi manusia (HRIA), guna mengidentifikasi risiko bias algoritma, pelanggaran privasi massal, serta dampak diskriminatif sebelum implementasi. 

Berdasarkan catatan di atas, Yayasan Tifa merekomendasikan agar agenda reformasi Polri: 

  1. memastikan tidak adanya perluasan wewenang Polri dalam melakukan pengawasan dan moderasi ruang siber, baik melalui  penyadapan, penindakan, pemblokiran, hingga perlambatan akses ruang siber;
  2. memastikan bahwa moderasi ruang siber oleh Polri dilakukan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 105/PUU-XXI/2024 yang membatasi penggunaan pasal-pasal pidana UU ITE;
  3. memastikan penyusunan pedoman pelaksanaan kewenangan pemantauan dan moderasi ruang siber (khususnya pemblokiran dan pemutusan akses melalui koordinasi dengan Komdigi) dan memastikan internalisasinya; 
  4. memprioritaskan peningkatan kapasitas institusional dan personel yang terkait dengan responsivitas dan efektivitas dalam pencegahan kejahatan siber dan penanganan laporan atas ancaman dan serangan siber, dibandingkan lebih fokus pada penanganan content-related crime yang berada di hilir; 
  5. mendorong penguatan pendidikan personel Polri dengan memasukkan perspektif hak asasi manusia (HAM) secara masif dalam kurikulum pendidikan kepolisian di seluruh institusi pendidikan Polri; 
  6. mewujudkan penguatan efektivitas pengawasan internal dan eksternal Polri untuk menyeimbangkan wewenang Polri di ruang siber yang terlalu luas, dan untuk mereduksi potensi kesewenangan Polri dalam melakukan pengawasan dan pembatasan hak di ruang siber; dan 
  7. memastikan audit terhadap pengadaan dan pemanfaatan sistem elektronik Polri untuk keperluan pengawasan agar memenuhi prinsip proporsionalitas dan kebutuhan. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *