Pengungkapan Kebenaran dan Memori Kolektif Kekerasan Massal 1965
Peristiwa kekerasan massal 1965 adalah salah satu bagian gelap dari sejarah Indonesia. Perebutan kekuasaan dengan dalih pembasmian komunisme menjatuhkan banyak korban dari kalangan masyarakat sipil. Mereka ditangkap, diasingkan tanpa proses hukum, bahkan diperkosa dan dibunuh—tanpa ada proses peradilan hingga saat ini. Di sisi lain, negara menerbitkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang menyudutkan korban dengan stigma sosial yang memberatkan kehidupan mereka sehari-hari. Lebih dari 55 tahun berlalu, namun belum ada upaya penyelesaian maupun pengakuan formal dari negara akan kebenaran peristiwa tersebut. Pada 2016, pemerintah sempat berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dalam peristiwa kekerasan massal 1965. Namun hingga kini, belum ada keluaran konkret dari komitmen tersebut—baik yang berdampak pada proses pengungkapan kebenaran maupun pemulihan hak para penyintas.
Kebenaran yang ada saat ini tersebar dalam kisah-kisah dan kesaksian para penyintas, saksi, maupun pelaku yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Seiring waktu berlalu, para saksi hidup tersebut semakin menua, bersamaan dengan ingatan yang memudar dan akhirnya hilang ketika mereka harus menutup usia. Kondisi tersebut mendesak masyarakat sipil untuk turut melakukan upaya pendokumentasian atas rangkaian panjang peristiwa kekerasan massal 1965 yang berlangsung di tengah pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Pendokumentasian ini adalah pelajaran yang penting agar generasi selanjutnya dapat terus mengingat serta turut menjaga agar kekerasan massal tersebut tidak lagi terulang dalam sejarah.
Dalam Basic Principles and Guidelines in the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law yang dirilis oleh OHCHR, proses pengumpulan dan verifikasi fakta untuk mendorong pengungkapan kebenaran secara penuh harus dilakukan untuk memenuhi hak reparasi korban. Penguatan sistem pendokumentasian dan pengarsipan adalah salah satu langkah awal yang perlu ditempuh demi mewujudkan pengungkapan kebenaran atas peristiwa kekerasan massal 1965 maupun peristiwa kekerasan massal lainnya. Pendokumentasian dan pengarsipan juga aspek penting yang harus dipenuhi untuk memastikan memori kolektif terkait sejarah perisitiwa kekerasan massal 1965 tidak habis dimakan waktu ataupun direpresi oleh rezim yang berkuasa.
Pengelolaan dokumentasi dan arsip secara baik juga memberikan akses bagi masyarakat sipil untuk mengelola kerja kampanye dan advokasi berbasis bukti dengan temuan fakta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Berbagai inisiatif pengungkapan kebenaran juga dapat berjalan di atas landasan yang kuat dan otentik, dengan sumber informasi yang dapat diakses publik, serta sejalan dengan klausul pembukaan UUD 1945 dan UU No. 39 tentang penghormatan terhadap HAM. Dengan bukti yang kuat dan fakta yang otentik, masyarakat sipil juga dapat secara aktif mendesak negara untuk mengungkapkan kebenaran secara formal dan menyediakan skema restorasi hak korban yang berkeadilan. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian dan pengarsipan peristiwa kekerasan massal 1965 ini adalah pekerjaan penting dengan agenda yang kompleks, sehingga memerlukan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Merawat Memori Kolektif 1965 Melalui Kerja Pendokumentasian dan Pengarsipan
Kerja-kerja pendokumentasian dan pengarsipan peristiwa kekerasan massal 1965 sudah banyak dilakukan melalui inisiatif-inisiatif publik dengan tujuan yang solid; merawat ingatan secara kolektif atas sejarah kelam Indonesia tersebut. Namun, inisiatif tersebut sering kali dilakukan secara terpisah-pisah dengan risiko yang cukup besar terkait keamanan data dan keberlanjutannya. Indonesia Trauma Testimony Project (ITTP) berusaha mengisi ceruk tersebut dengan menginisiasi mekanisme pendokumentasian dan pengarsipan secara kolektif—bersama-sama dengan komunitas korban, penyintas, saksi, dan organisasi masyarakat sipil yang terlibat langsung dalam kerja-kerja pengorganisiran komunitas korban dan advokasi pelanggaran HAM masa lalu.
“Yang dilakukan ITTP ini sama dengan pemulung sampah—kami mengumpulkan dan menyimpan ingatan dan pengetahuan yang tidak dipikirkan orang seharusnya disimpan. Banyak arsip terkait perisitiwa 1965 yang hilang, dimusnahkan setelah pelaku sejarahnya meninggal. Keluarga sering kali tidak mau menyimpan arsip-arsip tersebut karena trauma yang mendalam.”, ujar Sri Lestari Wahyuningrum, salah satu inisiator ITTP.
ITTP memiliki tujuan untuk melakukan pendokumentasian dan pengarsipan kesaksian dan dokumen penting terkait kekerasan massal 1965 secara kolektif, dengan mekanisme pengamanan yang ketat (baik dari segi pengamanan fisik maupun pengamanan dari ancaman lain yang berpotensi menghilangkan dokumen tersebut). Dalam prosesnya, ITTP memfasilitasi diskusi antara beragam pihak yang selama ini bekerja untuk pengungkapan kebenaran—mulai dari masyarakat sipil di isu advokasi HAM, pendampingan korban, penelitian, hingga penyintas dan komunitasnya. ITTP berkolaborasi dengan jejaring advokasi HAM, peneliti, dan komunitas korban secara intensif melakukan pengumpulan kesaksian, dokumen, dan arsip-arsip terkait Peristiwa Kekerasan 1965 ke berbagai wilayah di Indonesia—dengan jangkauan dari wilayah Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT hingga Sulawesi.
Membangun kapasitas infrastruktur untuk menyimpan dokumentasi dan arsip secara aman juga menjadi fokus utama utama dari ITTP. Kondisi iklim tropis yang cenderung lembap menyebabkan dokumen dan arsip yang disimpan tanpa sistem pengamanan yang ketat berpotensi untuk rusak atau hancur. Selain itu, kesadaran untuk melakukan kerja pengarsipan serius juga belum cukup kuat. Banyak organisasi sibuk melakukan dokumentasi, namun melewatkan proses perawatan yang sering kali membutuhkan pembaruan teknologi dari waktu ke waktu.
“Masalahnya sering kali memang tidak ada kapasitas untuk merawat. Data-data yang dulu dikumpulkan dalam bentuk disket, rekam kesaksian di kaset, itu kan seharusnya di-record dan disimpan ulang menggunakan teknologi yang diperbarui setiap waktu, sehingga dapat selalu diakses dan tidak hilang dimakan zaman. Di sisi lain, memang sulit untuk membuat model pengarsipan yang selalu update—karena tidak murah dan isunya kurang menarik untuk didukung. Lebih banyak yang fokus pada pengambilan data daripada mendukung proses merawat data.”, ujar Sri Lestari Wahyuningrum.
Untuk menjawab permasalahan infrastruktur tersebut, ITTP membangun kerja sama dengan National Library of Australia (NLA) untuk turut mendukung inisiatif pendokumentasian dan pengarsipan kolektif Peristiwa Kekerasan 1965. NLA telah memiliki sistem pengarsipan dan pemanfaatan yang sangat baik, sehingga memungkinkan pengelolaan dokumen dan arsip secara aman dengan aksesibilitas yang terbuka bagi publik.
Mengungkap Kebenaran, Membangun Solidaritas
ITTP sebagai inisiatif dari masyarakat sipil hadir untuk mengisi ceruk tanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran sejarah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah sebagai otoritas. Melalui inisiatif pendokumentasian dan pengarsipan ini, ITTP tidak hanya fokus pada kerja pengelolaan dokumen dan arsip, namun juga membangun solidaritas antara pekerja advokasi HAM, peneliti, dengan komunitas korban untuk bersama-sama merawat memori kolektif terkait kekerasan massal 1965. Kesadaran kolektif ini dapat menjadi titik awal untuk pengungkapan kebenaran yang lebih masif—baik terkait dengan peristiwa 1965 atau momentum sejarah lainnya. Memori dan kesadaran kolektif tersebut dapat menjadi lilin perubahan untuk mencegah terulangnya kekerasan negara dan konflik berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia.
Penulis: An Nisa Tri Astuti