Proses dan mekanisme pelibatan masyarakat dalam pembangunan di Indonesia selama ini masih relatif eksklusif pada aspek perencanaan. Hal ini dapat dilihat dari forum partisipasi resmi yang tersedia saat ini. Kita mengenal istilah Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang dilakukan di berbagai tingkat pemerintahan mulai dari dusun, desa, kecamatan sampai dengan tingkat nasional. Musrenbang merupakan proses penting untuk menjaring dan turut serta berkontribusi merumuskan prioritas pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil-hasil dari Musrenbang, arah kebijakan pembangunan kemudian akan ditentukan dalam bentuk rencana dan alokasi anggaran pembangunan. Idealnya, apabila proses Musrenbang mampu secara efektif menjaring kebutuhan dan prioritas masyarakat, serta apabila proses penganggaran konsisten mengakomodasi hasil Musrenbang, tentu arah pembangunan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sistem perencanaan, pengawasan, dan evaluasi yang baik dibutuhkan untuk memastikan program berjalan sesuai dengan target sasaran, kemudian efisiensi dapat dicapai, dan efektivitas dapat ditingkatkan. Indonesia memiliki mekanisme perencanaan pembangunan bottom-up yang cukup baik, yang secara teori memungkinkan terjadinya partisipasi masyarakat di berbagai level melalui Musrenbang desa hingga nasional.
Pertanyaan kemudian, apakah setelah anggaran negara dialokasikan dan program mulai dijalankan, masyarakat memiliki ruang untuk memberikan masukan, feedback, ataupun kritik atas penyelenggaraan pembangunan? Sudahkah mekanisme resmi yang ada saat ini memberikan ruang-ruang tersebut?
Sayangnya, proses pembangunan yang partisipatif masih terhenti di tahapan perencanaan. Pemerintah memang telah memiliki sejumlah skema evaluasi pembangunan yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab beberapa kementerian sektoral. Sejumlah mekanisme tersebut antara lain: Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SaKIP), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LaKIP), Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD), Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (RLPPD), Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD). Meskipun di atas kertas mekanisme-mekanisme tersebut mesti dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, akurasi, dan objektivitas sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP 13/2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, namun realisasinya semua mekanisme tersebut masih condong menilai kepatuhan administrasi dan disusun secara sepihak oleh pemerintah, atau terkadang dengan mempekerjakan pihak ketiga seperti Lembaga independen atau universitas. Selain mekanisme tersebut, juga masih terdapat sejumlah monitoring dan evaluasi keuangan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Bappenas, yang sayangnya sekali lagi masih sebatas penilaian adminsitratif atas penyerapan anggaran ataupun penilaian berdasarkan dokumen (desk review) laporan yang disampaikan oleh institusi pelaksana.
Kultur birokrasi di Indonesia pun belum sepenuhnya melihat tahapan monitoring dan evaluasi dalam pembangunan sebagai suatu kebutuhan untuk memperbaiki program pembangunan. Sering kali monitoring dan evaluasi dilakukan hanya sebatas upaya menggugurkan kewajiban administratif. Dan tidak jarang pula mekanisme pengawasan dan evaluasi dipandang sebagai upaya ‘mencari-cari kesalahan’ sehingga pelaksanaannya tidak disambut dengan keterbukaan. Hal tersebut kemudian berdampak pada tingkat transparansi, akuntabilitas, akurasi, dan objektivitas yang diterapkan pada proses monitoring atau evaluasi itu sendiri. Penekanan pada aspek adminsitratif juga tidak jarang justru melahirkan kecurangan (fraud) adminsitratif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi pembangunan masih terjebak pada aspek adminsitratif teknokratif.
Mekanisme yang sangat terfokus pada adminsitratif ini juga mendistorsi makna dan tujuan monitoring dan evaluasi sendiri. Seperti bagaimana banyak daerah, kementerian, dan Lembaga begitu terobsesi untuk memperoleh status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan dibandingkan memanfaatkan anggaran yang ada untuk melaksanakan pembangunan dan memberikan pelayanan terbaik sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh in-house unit di dalam organisasi pun menimbulkan pertanyaan terkait reliabilitas hasil penilaian.
Sebagai contoh, situasi Pandemi Covid-19 sekarang ini memaksa pemerintah untuk merancang ulang tidak hanya program-program pembangunan, dan anggaran karena pandemi telah memunculkan berbagai kebutuhan baru yang tidak teranggarkan dalam perencanaan tahun 2020. Kebutuhan baru seperti biaya penanganan pasien, program-program insentif ekonomi untuk pelaku usaha, hingga bantuan tunai untuk masyarakat terdampak musti dialokasikan dan dijalankan. Sementara, di lain pihak dengan pelemahan ekonomi, target pendapatan dari pajak sulit dicapai. Jika ada yang mesti dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah efisiensi penggunaan anggaran, peningkatan kinerja aparat, serta peningkatan efektivitas program-program pemerintah. Namun, kita telah menyaksikan sendiri sejumlah program pemerintah yang alih-alih memberikan manfaat langsung pada masyarakat yang membutuhkan justru dinilai tidak tepat baik bentuk program maupun sasarannya, serta tidak efisien. Seperti program Kartu Pra Kerja dalam bentul pelatihan yang dinilai tidak tepat di tengah memburuknya kondisi lapangan kerja dan meningkatnya jumlah pengangguran.[1] Bantuan tunai yang di beberapa daerah kurang tepat sasaran yang menimbulkan konflik di desa.[2] Hingga arahan untuk akselerasi serapan belanja pemerintah melalui peningkatan perjalanan dinas di tengah pandemi yang jauh dari mereda.[3]
Melihat berbagai problem dalam pelaksanaan program-program pemerintah tersebut, masyarakat juga tidak memiliki saluran formal untuk memberikan penilaian maupun kritik. Masyarakat pun jarang tahu apalagi dilibatkan untuk menilai bagiamana program-program pembangunan dijalankan, termasuk seberapa efektif program mampu menyelesaikan masalah, seberapa efisien penggunaan anggaran, apakah penerima manfaat program sudah tepat sasaran. Seringkali berbagai suara frustasi masyarakat mereka suarakan melalui media sosial, namun karena bukanlah saluran resmi pemerintah, sering kritik konstruktif hanya berakhir di dinding media sosial semata. Tanpa adanya mekanisme monitoring dan evaluasi yang efektif, program terancam tidak benar-benar mampu menyelesaikan masalah, bahkan berpotensi menjadi sumber pemborosan anggaran.
Melihat kurang efektifnya mekanisme monitoring dan evaluasi yang sangat bias aspek administratif, sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pendekatan pengawasan dan evaluasi yang lebih partisipatif. Masyarakat, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah 45/2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Regulasi ini memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan termasuk monitoring dan evaluasi. Meski memang diakui PP 45/2017 masih terlalu general dan oleh karenanya dibutuhkan regulasi-regulasi yang lebih teknis. Partisipasi masyarakat yang selama ini telah terlembaga dan dilaksanakan perlu di ranah perencanaan perlu diperluas hingga monitoring dan evaluasi.
[1] https://fokus.tempo.co/read/1336951/efektivitas-kartu-prakerja-andalan-jokowi-dipertanyakan/full&view=ok
[2] https://kolom.tempo.co/read/1338378/kisruh-bantuan-covid-19/full&view=ok
[3] https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/455979/perjalanan-dinas-tetap-dipacu