Buruh migran Indonesia masih menjadi kelompok yang rentan terdiskriminasi dan tereksploitasi. Hal ini terjadi karena mayoritas pekerja Indonesia yang mengadu nasib di negeri orang berpendidikan rendah. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pada tahun 2016, dari 230 ribu lebih buruh migran Indonesia, ada lebih dari 160 ribu orang yang hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Data tersebut jug menunjukkan bahwa hanya ada 1,204 orang buruh migran Indonesia yang lulus dari perguruan tinggi.
Tak hanya itu, lemahnya perlindungan dari pemerintah juga berkontribusi besar dalam maraknya tindakan diskriminatif dan eksploitatif terhadap pekerja Indonesia di luar negeri. Hingga kini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum juga merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). Padahal, pembahasan RUU ini sudah dimulai sejak masa bakti DPR periode tahun 2009-2014.
Pada tanggal 16-18 April 2017, pemerintah dan DPR kembali mengadakan rapat pembahasan RUU PPMI dan menyepakati tujuh isu krusial (dapat dilihat di siaran pers di bawah ini) perlindungan buruh migran Indonesia. Meski begitu, menurut sejumlah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu perlindungan buruh migran, ada hal krusial lain yang patut menjadi perhatian pemerintah dan DPR, salah satunya adalah pentingnya memastikan keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan penguatan kewenangan dan peningkatan kapasitas pemerintah desa dan pegawai fungsional ketenagakerjaan di dinas tenaga kerja dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Hal apa lagi yang harus diperhatikan pemerintah dalam pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia? Simak pemaparan Jaringan Buruh Migran (JBM) dalam siaran pers berikut.
Siaran Pers
Pembahasan RUU PPMI Masih Menunggu Kesepakatan dari Pemerintah
Selasa, 25 April 2017, Jaringan Buruh Migran menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR-RI. Dalam RDPU tersebut, Dede Yusuf selaku Pimpinan Panja RUU 39/2004 sekaligus Ketua Komisi IX DPR RI memberikan update perkembangan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) antara Pemerintah dan DPR pada tanggal 16 – 18 April 2017 di Wisma DPR Kopo, Jawa Barat. Dari informasi yang disampaikan bahwa Pemerintah dan DPR telah menyepakati 7 isu krusial yakni:
- Pembiayaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) melalui lembaga keuangan yang menyalurkan KUR yang telah diverifikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tidak perlu ada jaminan agunan bagi calon PMI dan tidak terkena aturan Bank Indonesia
- Asuransi PMI dijamin oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pada prinsipnya, BPJS boleh mengembangkan program perlindungan jaminan sosial bagi PMI
- Penguatan Atase Tenaga Kerja (Atnaker) dengan memiliki kantor sendiri yang terpisah dari KBRI/KJRI. Atnaker akan memiliki fungsi antara lain melakukan pendataan terkait kedatangan, kepulangan, kelahiran, dan kematian. Selain itu juga melakukan verifikasi dan legalisasi job order, hingga melakukan kunjungan sampai ke penjara-penjara.
- Fungsi dan kewenangan Badan Pelaksana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (sekarang BNP2TKI) akan dibentuk melalui UU yang mencakup penempatan PMI yang sudah memenuhi persyaratan dan kompetensi kerja, menentukan penyelenggaran SJSN, melakukan penempatan dan perlindungan bersama-sama dengan KJRI dan Atnaker. Pengangkatan kepala badan akan ditunjuk melalui Peraturan Presiden.
- Fungsi dan kedudukan Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI) hanya di pemerintah pusat dan hanya sebagai marketing dan perlindungan.
- Peran dan fungsi pemerintah: Kementerian Tenaga Kerja pada pra dan purna penempatan mencakup antara lain menyelenggarakan pendidikan serta persyaratan administrative yang bentuknya berupa pelatihan vokasi dan sumber pendanaan akan diambil dari APBN pendidikan. Untuk peran pemerintah daerah pada pra penempatan mencakup penyediaan informasi job order sampai tingkat desa, melaksanakan pendidikan dan pelatihan baik oleh swasta dan pemerintah, memfasilitasi keberangkatan yang sudah siap bekerja. Sementara pada tahap untuk purna, pemerintah daerah berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan untuk PMI dan keluarganya.
- Dewan Pengawas yang diusulkan DPR, dihapuskan oleh DPR dan Pemerintah karena akan masuk dalam struktur BP3MI.
Adapun, isu yang masih belum menemui kesepakatan adalah tentang pertanggungjawaban kelembagaan, dimana pemerintah menghendaki BP3MI bertanggungjawab kepada Presiden melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Sementara DPR mengusulkan BP3MI bertanggungjawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Kementerian Ketenagakerjaan.
Pada kesempatan ini, JBM menyampaikan sikap dan posisi terhadap RUU PPMI hingga pasal per pasal dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Menurut Savitri W selaku SekNas JBM, “penting untuk memasukkan prinsip partisipatif atau peran serta masyarakat, kemudian mekanisme tata kelola pelayanan yang terintegrasi dari desa hingga negara tujuan mulai dari pendataan, informasi, pelayanan administrasi, penanganan kasus dan bantuan hukum serta pengawasan sesuai dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya juga penting dibuat”.
Boby Alwi, Setjen SBMI menggarisbawahi tentang penguatan kewenangan pemerintah desa, penguatan pegawai fungsional ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja, Jaminan sosial PMI dengan tidak menghapus 13 resiko yang telah dijamin dalam skema asuransi, peningkatan kompetensi yang dimaksud tidak dalam rangka meniadakan jabatan pekerja rumah tangga (PRT). Lebih lanjut disampaikan bahwa KBRI/KJRI menerima dan mengesahkan job order dari pemberi kerja yang telah diverifikasi oleh pemerintah negara tujuan. Kewenangan KBRI/KJRI tidak hanya menyelesaikan kasus ketenagakerjaan saja, tetapi juga kasus-kasus perdata dan pidana. Sementara untuk sistem pendataan PMI perlu diperkuat agar tidak lagi diperlukan penerbitan KTKLN.
Yatini Sulistyowati, KSBSI melihat pentingnya penyelesaian perselisihan antara PMI dengan PPPMI diakomodir dalam peradilan quasi atau peradilan khusus dibawah Kementerian Ketenagakerjaan sebagai alternative penyelesaian sengketa. Selain itu, Oky dari LBH Jakarta juga mengusulkan pencabutan beberapa pasal yang tumpang tindih atau yang sudah diatur di dalam UU lain seperti pemalsuan dokumen yang sudah diatur dalam KUHP.
Risca Dwi, Solidaritas Perempuan menekankan pentingnya aspek gender dalam RUU PPMI dimana mayoritas pekerja migran adalah perempuan yang bekerja disektor domestik sehingga penting untuk segera membahas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Penting juga untuk mengharmonisasikan UU No. 6 tahun 2012 tentang ratifkasi Konvensi Migran 1990 dan UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
RUU PPMI adalah moment yang penting untuk dikawal bersama termasuk dukungan media untuk mengawal proses pembahasan agar semangat perlindungan dalam RUU PPMI ini terjaga. Revisi UU PPMI diharapkan benar-benar mengakomodir masukan dari masyarakat sipil termasuk serikat/organisasi pekerja migran.
Jakarta, 25 April 2017
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids Indonesia, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah
Narahubung :
Savitri W: 0821 24714978 | Boby Alwy: 0852 8300 6797 | Yatini S : 0853 1230 3209 | Risca Dwi : 0812 1943 6262