Data Governance Accountability Challenges during the Pandemic in Southeast Asia

Pandemi Covid-19 menguji implementasi pelayanan publik melalui teknologi digital (e-government) dan mengungkap pentingnya data untuk mendukung, membentuk, serta menginformasikan layanan publik. Hal ini tentu tidak pernah terpikirkan sebelum ada pandemi. Karakteristik virus yang menular dengan cepat menyebabkan penanganan yang mengharuskan setiap orang untuk melakukan pembatasan sosial dan karantina mandiri. Informasi infeksi harus dilakukan secara terbuka agar dapat mencegah penularan yang lebih besar.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengontrol penyebaran Covid-19 adalah dengan menerapkan sistem pelacakan berbasis aplikasi. Secara umum, aplikasi ini akan  memanfaatkan data lokasi pribadi yang dibagikan oleh warga setelah mengunduh aplikasi,  mengisolasi kontak potensial dengan memantau mobilitas geo-lokasi,  memberi tahu petugas tentang dugaan penularan infeksi antar individu, dan memperingatkan warga yang dicurigai tertular agar membatasi mobilitas mereka untuk meminimalkan penyebaran virus.

Menurut data Digital Reach, terdapat sepuluh aplikasi mobile tracing kontak telah digunakan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Meski membantu pemerintah dalam penanganan pandemi, tidak dapat dipungkiri bahwa aplikasi tersebut menimbulkan pertanyaan tentang informasi penyimpanan data, transparansi tentang bagaimana data digunakan, dan kurangnya kapasitas penegakan hukum. Untuk menjawab pertanyaan ini, Yayasan Tifa mengambil bagian dalam sesi digital rights and society pada perhelatan South East Asia Internet Governance Forum (SEA-IGF) 2021. Dengan  menginisiasi forum diskusi yang bertajuk “Data Governance Accountability during Covid-19 Pandemic”, yang dilaksanakan secara daring pada 1 September 2021 lalu.

Dalam forum tersebut, Yayasan Tifa mengundang Arthur Glenn Maail (Country Manager, Positium) sebagai moderator, Klara Esti (Peneliti Senior, Centre for Innovation Policy and Governance – CIPG), dan Vino Lucero (Project and Communications Coordinator, EngageMedia) sebagai pembicara. Yayasan Tifa selaku organisasi yang mendorong terwujudnya masyarakat terbuka di Indonesia melalui kerja sama strategis dan pendekatan partisipatif, memandang bahwa transparansi dan akuntabilitas tata kelola data dalam ekosistem digital adalah isu strategis yang harus diperhatikan. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa data dan ekosistem digital telah mengubah cara masyarakat, pemerintah, dan entitas bisnis berinteraksi dan melakukan kegiatannya. Selain itu, perlunya penguatan pemahaman dan kapasitas untuk memitigasi beragam ancaman era digital juga menjadi alasan kuat bagi Tifa untuk mendukung berlangsungnya forum ini.

Menurut Glenn Maail, penting bagi akuntabilitas tata kelola data untuk mengatur data publik dan internet dengan lebih baik, terutama dalam situasi pandemi. Akuntabilitas data terdiri dari mendefinisikan tata kelola data untuk mematuhi kriteria internal dan eksternal secara bertanggung jawab, memastikan penerapan tindakan yang tepat, menjelaskan dan membenarkan tindakan tersebut, serta memperbaiki kegagalan untuk bertindak dengan benar. Tata kelola data yang baik dapat meningkatan kepercayaan masyarakat, melindungi hak warga, dan memberikan informasi yang akurat kepada setiap orang.

Mengamini hal tersebut, Vino Lucero menjelaskan bagaimana praktik tata kelola data di Filipina. Sebelum pandemi, dengan kondisi pelibatan data digital yang masih minim, Filipina memiliki tiga isu terkait data, yaitu minimnya sistem informasi,keterbatasan pembangunan teknologi swadaya, dan implementasi peraturan privasi data yang buruk. Hal tersebut sangat memengaruhi tata kelola data di internet saat pandemi, terlebih dengan masifnya penggunaan data digital dan internet pada masa ini. “Data terbuka pada kasus Covid-19 dilakukan cukup terlambat. Selain itu, tidak semua data tersedia dan tidak ada pelaporan real time,” kata Vino.

Isu lainnya tentang data Covid-19 di Filipina juga melingkupi inkonsistensi penurunan data, kebocoran data pasien, dan pengendali data minim pelatihan tentang privasi data. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Hingga saat ini, akurasi dan sinkronisasi data masih belum tercapai.  Klara Esti menjelaskan hal tersebut juga ditemukan dalam riset mengenai akuntabilitas data sektor kesehatan dan pendidikan Indonesia di masa pandemi yang tengah dilakukannya bersama Yayasan Tifa. Penelitian tersebut dilakukan di Provinsi Jawa Barat dan Kota Pontianak untuk melihat isu tata kelola data pelayanan publik selama pandemi, khususnya contact tracing, beban layanan kesehatan, vaksinasi, subsidi internet untuk pembelajaran jarak jauh, serta pembukaan kembali sekolah.

Penelitian tersebut menekankan bagaimana data digunakan dalam sistem pelayanan publik. Sayangnya, pemutakhiran data yang saat ini dilakukan kurang cepat dan tepat untuk menjawab kebutuhan pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan di masa pandemi. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah adanya inefisiensi dan potensi eror akibat input data ke berbagai aplikasi/sistem informasi.

Temuan sementara dari penelitian tersebut adalah ketersediaan data yang cukup akurat dan diperbarui secara berkala di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Sementara itu, Kota Pontianak menunjukkan ketersediaan yang lebih variatif. “Sebagian data tersedia dan diperbarui secara berkala. Ada yang tersedia tetapi tidak diperbarui,” kata Klara. 

Di sisi lain, baik Indonesia maupun Filipina memiliki persoalan besar dalam tata kelola data terkait privasi. Kedua negara tersebut belum menerapkan praktik perlindungan data pribadi dengan baik. Filipina sendiri sebenarnya sudah memiliki peraturan terkait dengan perlindungan data pribadi, namun implementasinya masih buruk. Sementara Indonesia, peraturan terkait perlindungan data pribadi masih berupa rancangan yang  menunggu pengesahan.

Idealnya, peraturan seputar privasi data harus secara intrinsik ditanamkan ke dalam keseluruhan dasar hukum tata kelola data yang dirancang secara nasional dan dipahami dengan baik oleh entitas dan/atau petugas data yang terlibat dalam proses tersebut. Hal ini dikarenakan privasi data tidak dapat dilepaskan dari fitur-fitur dalam tata kelola data secara keseluruhan di lapangan seperti apa dan bagaimana strategi data yang digunakan,  siapa yang bertanggung jawab dalam setiap langkah proses mulai dari pengumpulan, penyimpanan, pemilahan, analisis, dan penyimpanan data, hingga bagaimana proses data dievaluasi secara berkala untuk memastikan akuntabilitas. Tanpa kejelasan tentang kebijakan tata kelola data secara keseluruhan, dapat diasumsikan bahwa penegakan perlindungan data pribadi akan sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, akuntabilitas tata kelola data tidak terlepas dari urutan penilaian kualitas proses data, yang selanjutnya mempengaruhi privasi data.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *