Pada tanggal 13 Juli 2017, Yayasan Tifa bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyelenggarakan diskusi terfokus bersama sejumlah jurnalis dari berbagai media mengenai upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) yang lebih baik, sekaligus peluncuran Laporan Tahunan Yayasan Tifa untuk periode 2015-2016 yang menjadi awal dari rangkaian kegiatan ulang tahun ke-17 Yayasan Tifa.
Dalam acara tersebut, hadir sebagai pemateri diskusi adalah Ketua Panitia Seleksi Calon Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022 Jimly Asshiddiqie, Anggota Koalisi Selamatkan Komnas HAM Totok Yulianto, Aktivis HAM Harry Wibowo, serta Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo.
Menanggapai persoalan penegakan HAM di Indonesia, Darmawan mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah menghadapi permasalahan serius, terutama dengan menurunnya kredibilitas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), khususnya dalam lima tahun terakhir. Bahkan, permasalahan tersebut hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang ada.
“Hal itu (penurunan kredibilitas) hanyalah puncak dari gunung es keseluruhan permasalahan. Di dasarnya, komitmen politik yang rendah dari negara adalah ganjalan terbesar yang tak pernah bisa dituntaskan sejak awal reformasi,” ungkap Darmawawan.
Banyak pihak mengakui bahwa kualitas kinerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menurun. Bahkan, Seperti dikutip dari CNN Indonesia, Ketua Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fery Kusuma menyebut bahwa Komnas HAM periode 2012-2017 memiliki kinerja paling buruk sejak lembaga ini dibentuk. “Kalau kita melihat perjalanan Komnas HAM sejak tahun 1993, periode yang berjalan sampai saat ini adalah periode yang kinerjanya paling buruk,” ujar Fery.

Selain indikasi korupsi dan kegagalan mengungkap sejumlah kasus pelanggaran HAM, Fery menyebutkan, perubahan tata tertib kepemimpinan dinilai sebagai faktor utama mengapa kinerja Komnas HAM saat ini buruk dibandingkan periode sebelumnya. “Itu sumber masalah yang kemudian membuat kinerja Komnas HAM menurun drastis,” katanya, seperti dimuat di CNN Indonesia.
Meski begitu, banyak pihak masih berharap Komnas HAM sebagai lembaga independen negara dapat menjalankan mandatnya untuk memastikan terciptanya kondisi yang kondusif bagi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Panitia Seleksi Calon Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022 Jimly Asshiddiqie berpendapat, daripada membubarkan Komnas HAM, justru Komnas HAM harus diperkuat. Jimly menambahkan, “Dan hal ini dapat dimulai dengan memilih orang-orang (komisioner) yang tepat”.
Untuk memperkuat posisi Komnas dan memastikan terpilihnya individu-individu yang berkualitas, Yayasan Tifa mendukung penuh kerja-kerja Koalisi Selamatkan Komnas HAM dalam mengevaluasi rekam jejak dan memantau proses seleksi kandidat komisioner yang tengah berlangsung.
Selain menyorot komitemen politik pemerintah dalam penegakan HAM, Darmawan juga membicarakan bagaimana jurnalis dan media bisa lebih berperan dalam memastikan penegakan HAM. “Jurnalis dan media justru punya potensi dan peran yang signifikan untuk memperkuat kontrol publik serta membuat proses (seleksi komisioner Komas HAM) yang (sedang) berlangsung menjadi lebih transparan dan akuntabel,” ujar Darmawan.
Jurnalis memiliki andil dalam keberpihakan kepada kepentingan publik dan memampukan masyarakat untuk mengawasi pemilihan komisioner Komnas HAM dan memastikan transparansi dan akuntabilitas proses yang berjalan, khususnya proses seleksi akhir di parlemen. Karena meski kinerja Komnas HAM dinilai menurun, harapan masih tertumpu pada lembaga tersebut untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. “Dan setiap dari kita mempunyai kewajiban untuk menjaga asa itu, termasuk para jurnalis,” pungkas Darmawan.