Foto: Detik Travel/Husni Mubarak Zainal
Konflik terus terjadi di Tanah Papua. Awal Mei lalu, kita dikejutkan oleh penangkapan besar-besaran sejumlah aktivis yang melakukan aksi damai di Papua. Setelahnya, ada juga insiden pembakaran masjid dan kios-kios di pasar di Kabupaten Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua yang merugikan para pedagang.
Dua kejadian tersebut hanyalah sekelumit dari ketegangan yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future menyebutkan setidaknya ada empat hal yang menjadi sumber utama konflik Papua.
Sumber konflik yang pertama adalah tingginya angka diskriminasi terhadap orang asli Papua yang muncul akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi secara besar-besaran ke Papua sejak tahun 1970. Kedua, pemerintah Indonesia selama ini belum mampu membangun Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Ketiga, pemahaman sejarah dan konstruksi identitas politik antara masyarakat asli Papua dan pemerintah pusat berbeda. Sumber konflik terakhir adalah keengganan pemerintah untuk mewakili Negara mempertangungjawabkan kekerasan di masa lalu yang dihadapi warga Papua.
Sayangnya, berbagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut belum juga menunjukkan perubahan signifikan. Tim Kajian Papua LIPI mengungkapkan, kegagalan upaya-upaya tersebut disebabkan diantaranya oleh tidak optimalnya implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua, adanya rasa saling tidak percaya antara masyarakat Papua dan pemerintah, dan dominasi penyelesaian konflik yang bersifat top-down.
Agar kegagalan serupa tidak terulang, pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan baru yang lebih strategis, seperti mulai membangun rasa saling percaya dan mengubah metode penyelesaian konflik dari top-down menjadi bottom–up. Salah satu langkah yang dapat pemerintah ambil untuk mewujudkan keduanya adalah menyelenggarakan dialog dengan berbagai pihak termasuk aktor-aktor penting di Papua.
Koordinator Divisi Kajian Papua LIPI Adriana Elisabeth pada Seminar Nasional: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, tanggal 14 Oktober lalu, mengatakan pelaksanaan dialog mengenai Papua sangatlah penting. Melalui dialog, pemerintah dapat lebih memahami Papua dari sudut pandang masyarakatnya, begitu pun sebaliknya. Jika rasa saling memahami itu telah tumbuh, bukan niscaya rasa saling mempercayai pun dapat terbangun. Selain itu, melalui dialog, para pemangku kepentingan baik di Jakarta maupun Papua dapat menyerap lebih banyak aspirasi masyarakat Papua sehingga pemerintah dapat lebih mudah memetakan permasalahan yang perlu segera diselesaikan.
Terlepas dari berbagai alasan di atas, dialog nasional perlu segera dilaksanakan karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menjanjikannya. Pada perayaan Natal nasional tahun 2014 di Lapangan Mandala, Kota Jayapura, ia menegaskan bahwa dialog adalah jalan terbaik menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua.
Meski penting dan mendesak untuk segera dilaksanakan, pemerintah perlu melakukan sejumlah hal sebagai persiapan menuju dialog nasional tersebut.
Pertama, pemerintah perlu membentuk sebuah badan yang secara khusus fokus menyelesaikan berbagai masalah dan konflik di Papua. Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Papua Neles Tebay menjelaskan, setelah dibentuk, badan tersebut harus dipimpin oleh orang yang langsung ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo. “Penanggung jawab itu nantinya harus benar-benar fokus mengurusi Papua dan membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan di sana. Orang yang ditunjuk menjadi penanggung jawab itu juga harus memahami sejarah dan masalah Papua secara mendalam,” tuturnya.
Setelahnya, lewat penanggung jawab yang telah ditunjuk, pemerintah perlu mengajak pihak-pihak di Papua untuk berdialog. Barulah dialog internal pemerintah pusat, dialog internal Papua, dialog sektoral, hingga akhirnya dialog nasional bisa diselenggarakan.
Dalam penyelenggaraan dialog-dialog tersebut, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan perdamaian di Papua turut terlibat secara aktif. Komitmen ini juga harus disertai kesediaan pemerintah menyiapkan anggaran pembiayaan agar persiapan dan pelaksanaan dialog nasional terlaksana dengan baik.
Saat para warga Papua di luar negeri gencar menyuarakan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dialami masyarakat Papua, pemerintah perlu segera bertindak. Bukan dengan cara represif tentunya, melainkan dengan dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi dalam memandang masa depan.
“Ini dapat dijadikan pembuktian kepada masyarakat Papua, masyarakat Indonesia, dan bahkan dunia bahwa Presiden Jokowi benar-benar serius, peduli, dan berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua,” pungkas Neles Tebay.
Yayasan TIFA mendorong pemerintah untuk melaksanakan dialog nasional Papua sebagai bentuk kepedulian dan komitmen mereka menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di provinsi ujung timur Indonesia itu. Yayasan TIFA siap membantu pemerintah melaksanakan dialog dan mengawal implementasi hasil dan kesepakatan yang tercipta melalui dialog tersebut.