Learn Human Rights History the Fun Way

Foto: Diah Tantri
Foto: Diah Tantri

Belajar sejarah? Biasanya banyak hapalan. Ada tahun yang harus diingat, ada nama-nama tokoh, ada tempat, dan peristiwa yang semua harus dihapal luar kepala.

Membosankan? Bisa jadi. Cara belajar yang monoton pun menyebabkan pemahaman anak muda di sekolah mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) masih sebatas definisi tekstual yang tidak membuka ruang untuk merelasikan HAM dengan praktik dan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi, sekarang ada cara asyik untuk belajar sejarah dan HAM.

Pamflet dengan dukungan dari Yayasan TIfa berinisiatif untuk mengetahui lebih jauh bagaimana generasi muda dapat belajar dan menelaah HAM secara lebih baik dan lebih mendalam.

Tahun 2014 lalu, Pamflet melakukan penelitian tentang anak muda dan HAM di Jakarta, Bandung dan Palu. Salah satu temuan dari penelitian tersebut adalah relatif rendahnya pengetahuan HAM yang dimiliki siswa karena metode belajar yang kurang kreatif.

Berangkat dari temuan tersebut, sepanjang tahun 2016 ini, Pamflet melakukan kerja sama dengan guru-guru mata pelajaran Sosiologi, Sejarah, dan Kewarganegaraan, mengembangkan sejumlah alat bantu belajar kreatif bagi para siswa/i untuk belajar HAM di sekolah.

Ada lima sekolah di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi ikut serta; SMA Diponegoro 1 Rawamangun (Jakarta), SMA Madania (Bogor), SMA Al-Azhar Kemang Pratama (Bekasi), SMA Negeri 5 (Depok), dan SMA Negeri 6 (Depok).

Mereka bekerja sama mengembangkan alat bantu yang modelnya  beragam sesuai dengan ide dan kebutuhan dari sekolah-sekolah masing-masing. Ada alat peraga dari kardus, permainan tradisional, komik, gambar, kartu belajar, serta film

Sekolah AL Azhar Jakarta dan SMA Negeri 6 Depok, misalnya, memilih medium dokumenter sebagai alat bantu belajar sejarah HAM.

Salah seorang guru sejarah SMA 6 Depok, Yusuf, cukup antusias dengan kegiatan ini. Menurutnya, memahami sejarah dalam segala bentuk dan kejadiannya itu penting karena sejarah dapat mempengaruhi bagaimana kita memandang persoalan dan hal-hal disekeliling kita. “Sejarah itu dinamis. Kalau ada yang berubah, ya (apa yang kita tahu) bisa berubah lagi,” ujar Yusuf.

Lain lagi dengan Wahyudi, guru sejarah yang mengajar di SMA Al-Azhar, Jakarta ini bersama dengan murid-muridnya memproduksi sebuah film sejarah mengenai pembantaian Rawagede. Wahyudi berharap produksi film ini dapat memperkuat kecintaan dan penghargaan siswa terhadap sejarah.

Dalam prosesnya, kegiatan ini sempat dipertanyakan oleh pihak sekolah karena adanya kekhawatiran film ini mengusung sejarah komunis. Karena perjuangan Wahyudi, kegiatan yang sarat pendidikan ini pun akhirnya dapat terus terlaksana.

Mempertanyakan Sejarah, Melatih Kekritisan

Andhy Panca dari Watchdoc yang merupakan mitra pamphlet dalam hal produksi dokumenter untuk siswa-siswi SMA ini menyatakan saat ini ada banyak kecurigaan dan ketakutan justru untuk kegiatan-kegiatan yang berusaha melatif daya kritis dan kecerdasan anak muda.

“Sejarah acapkali dibentuk oleh penguasa. Maka baik untuk duduk bersama dan melakukan pembacaan kembali sejarah,” ujarnya.

Menurutnya, tidak ada yang perlu ditakutkan dari kegiatan semacam ini karena tujuan utamanya adalah mencerdaskan generasi muda. “Kalau ragu, lihat prosesnya, lihat filmnya. Tidak ada yang menakutkan”.

Beragam alat bantu belajar ini sedang dipamerkan dalam kegiatan yang bertajuk “Pameran Alat Bantu Belajar: Memahami Indonesia”. Pameran ini dilangsungkan sejak 10-17 Desember 2016 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sepanjang pameran juga akan diputar film dokumenter karya para siswa seperti Jejak Panjang Budak Belanda Depok karya siswa SMA 6 Depok dan Jejak Berdarah Kaum Penjajah karya siswa SMA Al-Azhar Jakarta. Selain pameran, tanggal 17 Desember 2016 merupakan penutupan kegiatan dan akan diisir oleh workshop “Kata untuk Kekerasan”  dan “Menuliskan Perempuan”, serta pemutaran film pendek “Salah Kirim” dan bazar komunitas.\


Yayasan TIFA dan mitra berkomitmen untuk mendukung kerja-kerja pendidikan publik tentang sejarah hak asasi manusia.