Di Indonesia, Negara mengakui keberadaan partai politik (parpol) sebagai organ konstitusi, seperti disebutkan di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3. Sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan dan peran parpol, Negara pun memberikan bantuan pendanaan yang anggarannya bersumber dari keuangan Negara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan peran partai dan kemampuan partai dalam menjalankan berbagai fungsinya, baik fungsi politik maupun fungsi konstitusi.
Sayangnya, bantuan pendanaan partai di Indonesia menurut Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) hanya formalitas, walaupun praktiknya sudah diterapkan sejak lama. SPD menduga, ini terjadi karena skema kebijakan yang berubah-ubah, mulai dari besaran nominal bantuan hingga basis perhitungannya dari satu periode ke periode lainnya – terutama saat pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Untuk memahami persoalan tersebut secara komprehensif, SPD atas dukungan Yayasan Tifa melakukan kajian yang fokus pada pendanaan partai politik di Indonesia, khususnya yang bersumber dari anggaran Negara. SPD juga mendalami kaitan skema pendanaan tersebut dengan tipologi atau klasifikasi partai.
Direktur Eksekutif SPD August Mellaz mengatakan, selama ini, kedua aspek tersebut kerap tak disertakan dalam pembahasan topik terkait pendanaan partai oleh Negara. Melalui kajian yang dilakukan SPD ini, ia berharap dapat menyumbang perspektif baru yang dapat digunakan pemerintah dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya.
“Isu pendanaan partai, baik pada tingkat wacana dan praktik, telah diterapkan di Indonesia. Namun praktik maupun wacana tersebut lepas dalam memotret secara lebih mendalam sisi karakteristik maupun tipologi partai. Dengan demikian, jika diringkas, studi literatur ini hendak memotret karakteristik dan tipologi partai, dan model-model skema pendanaan partai oleh Negara. Apakah tipologi tertentu memiliki tendensi dan berpengaruh terhadap skema ataupun model pendanaan partai dari Negara,” jelas August.
Setelah melakukan penelitian, SPD menyimpulkan bahwa mayoritas partai-partai di Indonesia yang didirikan setelah reformasi, cenderung tergolong dalam catch-all parties atau partai yang berorientasi pada kompetisi elektoral. SPD menyebutkan, partai-partai di Indonesia dibangun dari atas (elit) ke bawah (akar rumput), bukan sebaliknya dan dengan waktu persiapan pendiriannya yang pendek dan umumnya terpusatkan pada personal atau figur elite partai. Usaha dalam membangun keanggotaan partai seringkali hanya terfokus pada rekrutmen kandidat menjelang pemilu dan pilkada, bernafaskan partai elitis dan berrjarak dari pemilih.
Selain itu, SPD juga menemukan bahwa bantuan pendanaan partai dari anggaran negara tak memiliki paradigma yang jelas. Masalah ini dapat dilihat dari ketidakjelasan produk hukum yang menentukan besaran dana bantuan Negara terhadap partai – jumlah bantuan naik-turun tanpa diikuti argumen yang memadai mengapa besaran tersebut diberikan. Tak hanya itu, basis orientasi dana bantuan negara untuk parpol pun tak konsisten, sebelumnya berdasarkan suara lalu berubah menjadi berdasarkan perolehan kursi, dan berubah lagi menjadi berdasarkan perolehan suara. SPD menduga, ini terjadi karena skema kebijakan yang berubah-ubah, mulai dari besaran nominal bantuan hingga basis perhitungannya dari satu periode ke periode lainnya – terutama saat pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Merespon temuan itu, SPD memberikan lima rekomendasi perbaikan kepada pemerintah terkait model pendanaan parpol yang memiliki kesesuaian dengan kecenderungan tipologi parpol yang berkembang di Tanah Air, antara lain:
- Perlu ada paradigma yang digunakan dalam hal pendanaan partai. Misalnya, paradigma manajerial yang bertujuan melestarikan tatanan demokratik suatu Negara. Dengan demikian memberikan kewenangan bagi Negara mengatur perilaku dan organisasi partai. Oleh karena keterbatasan yang dimiliki oleh suatu paradigma, maka hendaknya juga dikawinkan dengan paradigma-paradigma yang lain.
- Sebagai organ konstitusi sekaligus instrumen demokrasi. Subsidi negara hendaknya ditujukan agar setiap partai memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam merawat dan menjaga tatanan demokrasi.
- Selama ini basis bantuan dana Negara didasarkan pada perolehan suara. Perlu dipertimbangkan alternatif lain. Misalnya, berdasarkan aktivitas partai di luar periode pemilu ataupun kampanye, komitmen partai dalam memfasilitasi kaum muda dan perempuan berorganisasi, lembaga riset atau pelatihan, dan sebagainya.
- Secara prinsip, pendanaan partai dari Negara diarahkan sebagai instrumen serta insentif yang mampu menumbuhkembangkan mekanisme demokrasi internal partai.
- Jika bantuan keuangan Negara untuk partai hendak dinaikan, perlu ada reformasi internal partai dan syarat tambahan buat memperoleh dana Negara.
Baca hasil riset dan rekomendasi SPD mengenai tipologi dan skema pendanaan parpol selengkapnya di bawah ini.