Yayasan Tifa Ajak Generasi Muda Gaungkan Toleransi

Pada 17 April 2019 mendatang Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif baik tingkat nasional maupun lokal secara serentak. Pada pemilu tahun ini, pemilih didominasi oleh kelompok muda. Jumlah pemilih di bawah usia 35 tahun mencapai 79 juta orang atau sekitar 60 persen dari total pemilih– 5 Juta orang di antaranya merupakan pemilih pemula.

Sayangnya, masih banyak kaum muda di Indonesia yang terjangkit virus intoleransi dan radikalisme. Menurut survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terdapat 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 34,3 persen responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain. Apalagi, kontestasi politik pemilu 2019 yang tahapannya sudah dimulai sejak 2018, masih diwarnai oleh praktik politik yang tak mencerdaskan generasi milenial, mulai dari politik identitas, penyebaran hoaks, ujaran dan pelintiran kebencian.

Merespon situasi itu, Yayasan Tifa merasa perlu membangun kesadaran generasi muda mengenai toleransi serta bahaya politik identitas dan pelintiran kebencian agar mereka tak menjadi korban keserakahan para pihak yang berambisi berkuasa. Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo berpendapat, sebagai penentu masa depan demokrasi di Indonesia kelompok pemuda terutama pemilih pemula harus ikut mendukung proses demokrasi yang berkualitas.

“Secara kuantitatif, jumlah pemilih pemula cukup besar sehingga mereka akan berkontribusi signifikan bagi hasil pemilihan umum tahun 2019. Jika pilihan mereka didasarkan pada informasi yang tidak akurat, apalagi diwarnai oleh politik identitas, hoaks, ujaran dan plintiran kebencian serta mengkambinghitamkan “liyan”, maka nilai-nilai demokrasi bisa tergerus,” kata Darmawan.

Untuk itu, sejak tahun 2018, Yayasan Tifa bersama mitra-mitranya menjalankan sejumlah program dan kegiatan sebagai upaya mengajak pemuda Indonesia ikut menyebar pesan toleransi serta menolak pelintiran kebencian dan pentingnya menjaga kebinekaan.

Inaya Wahid menyampaikan monolog kebinekaan di dalam acara “Merawat Republik Indonesia: Menjaga Nyala, Memelihara Percik Terang Kebinekaan” pada 26 Agustus 2018.

Pada 26 Agustus 2018, Yayasan Tifa bersama Temu Kebangsaan Orang Muda menyelenggarakan acara refleksi kebangsaan bertema “Merawat Republik Indonesia: Menjaga Nyala, Memelihara Percik Terang Kebinekaan”. Di dalam acara tersebut, Yayasan Tifa mengajak masyarakat khususnya untuk merayakan keberagaman Indonesia dan berbagai keberhasilan masyarakat sipil dalam menciptakan terang di tengah suramnya kondisi keberagaman di Tanah Air. Yayasan Tifa juga mengajak kelompok pemuda untuk berupaya makin keras untuk tidak hanya menjaga percik-percik terang tersebut, namun juga terus menyulut pijar-pijar yang baru. Kaum muda dari berbagai komunitas hadir di acara yang merupakan bagian dari peluncuran Laporan Tahunan Yayasan Tifa 2017 itu dan turut menyaksikan pemaparan mengenai kondisi kebinekaan di Indonesia, pertunjukan seni dan tari, serta monolog kebangsaan oleh Inayah Wahid.

Selain itu, Yayasan Tifa juga berkolaborasi dengan In-Docs, dan Koalisi Seni Indonesia dalam membuat kampanye #AkuSiapBersikap – sebuah program kampanye yang mengajak pemuda Indonesia menyuarakan sikap terhadap bahaya maraknya pelintiran kebencian dan hoax melalui seni. Direktur Program In-Docs Amelia Hapsari mengungkapkan, medium seni dipilih karena lebih bisa menarik perhatian generasi muda dan mudah disebarluaskan melalui media sosial. “Seni, termasuk film dokumenter adalah cara yang tepat untuk menghargai dan menikmati perbedaan. Informasi-informasi yang disampaikan secara kreatif, dengan berbagai bentuk seni, pun mudah disebarkan lewat media sosial akan lebih menarik perhatian dan keterlibatan mereka (generasi muda),” tuturnya.

Kampanye #AkuSiapBersikap yang diluncurkan pada tanggal 29 November 2018 berkolaborasi dengan mahasiswa Universitas Budi Luhur ini melibatkan lima orang seniman yaitu Marishka Soekarna (muralist), Ng Swan Ti (fotografer), Sheila Rooswitha (komikus), Istiqamah Djamad (musisi), dan Bani Nasution (pembuat film). Karya lima seniman itu ditampilkan saat peluncuran kampanye, bersamaan dengan rilis situs Aku Siap Bersikap yang berisi informasi mengenai pelintiran kebencian dan cara mengatasinya. Ratusan orang yang didominasi mahasiswa dan media hadir di dalam peluncuran kampanye tersebut.

Selanjutnya, sebagai bagian dari memperingati Hari Toleransi Internasional dan Hari HAM Internasional, Yayasan Tifa  dan Perkumpulan Simponi mengadakan roadshow diskusi musikal ke delapan sekolah di Jakarta, Tangerang, dan Bogor mulai dari 16 November – 12 Desember 2018. Melalui diskusi yang dikemas serupa konser mini bertajuk Bineka Tour Ika tersebut, para siswa dan guru di sekolah-sekolah penyelenggara diajak untuk belajar kembali mengenai toleransi dan pentingnya menjaga keberagaman.

Sepanjang bulan November 2018, Yayasan Tifa  mendukung World Merit Indonesia (WMI) mengadakan We Diverse Festival (WEDFEST), kompetisi pembuatan vlog dan poster mengenai toleransi dan kebinekaan. Puncaknya, pada tanggal 1 Desember 2018, WMI menyelenggarakan WEDFEST Award Ceremony yang diisi dengan diskusi mengenai toleransi dan keberagaman, serta pemberian penghargaan bagi para pemenang kompetisi.

Yayasan Tifa berharap, kegiatan-kegiatan bersama mitra yang diselenggarakan selama tahun 2018 dapat memberi dampak positif bagi generasi muda Indonesia, khususnya dalam menghadapi pemilu tahun 2019.

Bagikan artikel ini