Pejuang Devisa. Demikian para buruh migran Indonesia disebut. Dan agaknya perjuangan ini bukan hanya sebatas kata jika melihat maraknya kasus pelanggaran HAM yang dialami buruh migran Indonesia.
Overcharging atau penarikan biaya berlebih adalah salah satu kasus yang kerap dialami oleh buruh migran asal Indonesia. Siti Istiqomah misalnya. Buruh migran dengan negara tujuan Taiwan ini membayar biaya penempatan sebesar Rp.15.750.000. Ia juga mengalami potongan gaji selama 10 bulan sehingga total biaya penempatan yang harus ditanggungnya sejak dari pra penempatan hingga potongan gaji di masa penempatan menjadi Rp.50.603.900.
Eni Lestari, aktivis buruh migran yang baru-baru ini berbicara di depan sidang PBB di New York juga menyatakan hal serupa. Tanpa memahami lebih jauh tata cara dan kondisi tempat ia ditempatkan (Hong Kong), Eni menerima ketika diharuskan bekerja 18 jam sehari dan ketika gaji nya dipotong untuk biaya penempatan. Bahkan ketika ia tidak diberi makan dan tempat tidur yang layak, ia sulit untuk melawan karena paspor diambil oleh agen perekrutan.
Kasus yang dialami oleh Siti dan Eni hanyalah segelintir dari potret buram pelanggaran HAM yang dialami buruh migran Indonesia. Padahal, upaya-upaya perlindungan buruh migran telah dilakukan oleh pemerintah, termasuk menyediakan instrumen perlindungan mulai dari perjanjian penempatan, perjanjian kerja dan asuransi.
Pelanggaran tersebut umumnya terjadi karena minimnya transparansi dan akuntabilitas perekrutan buruh migran oleh agen swasta, dan kegagalan untuk memberikan informasi yang cukup bagi buruh mengenai hak-hak mereka sebelum mereka berangkat ke negara penempatan.
Retno Dewi dari Serikat Perempuan Indonsia (Seruni) menyatakan bahwa privatisasi perekrutan buruh migran berpengaruh pada perlindungan hak buruh migran. “Agen swasta memiliki otorisasi penuh dalam perekrutan, pengiriman, dan repatriasi termasuk sistem perlindungan buruh migran,” ungkap Retno dalam konferensi pro bono yang dilaksanakan di Bali akhir Agustus lalu.
“Perlindungan buruh menjadi tanggung jawab agen rekrutment dan buruh itu sendiri. Kasus yang ada umumnya ditangani sebagai pelanggaran administrasi, bukan pelanggaran HAM. Kontraktor tidak bisa dituntut karena buruh berisiko melanggar kontrak,” tambah Retno.
Perlindungan lintas negara
Beberapa pihak mulai menjajaki kerjasama untuk memberikan perlindungan bagi buruh migran. Organisasi Keadilan Tanpa Batas (Justice Without Border) misalnya, memberikan asistensi pro bono bagi buruh migran untuk mencari kompensasi atas pelanggaran, bahkan setelah mereka kembali ke negara asal.
Sementara International Pro Bono Alliance (IPBA) mencoba memberikan bantuan hukum bagi buruh migran, meski masih berdasarkan relasi pertemanan dan komitmen individual para profesi hukum di negara yang tergabung dalam organisasi ini. Presiden IPBA Pingki Bernabe mengatakan, “Tidak ada kewajiban mendampingi hingga proses pengadilan namun lebih ke arah memberikan konsultasi dan nasihat hukum.”
Sementara Sri Aryani, peneliti dari Indonesia menekankan pentingnya pemanfaatan optimal perangkat perlindungan buruh migran, terutama asuransi. “Banyak buruh migran tidak mengetahui adanya perangkat ini dan tidak tahu bagaimana cara mengajukan klaim. Padahal, asuransi ini bisa memiliki cakupan cukup luas,” ujarnya.
Indonesia mengharuskan buruh migran yang akan bekerja ke luar negeri untuk memiliki asuransi lewat skema swasta. Cakupan dari asuransi ini cukup luas dan jika dimanfaakan secara optimal, dapat memberikan perlindungan biaya saat buruh migran mengalami persoalan di negara tempatnya bekerja.
Meski begitu, banyak buruh migran memang belum memanfaatkan perangkat ini karena ketidaktahuan akan sistem tersebut serta terhalang batas antar negara. “Misalnya, beberapa bukti sulit untuk dilacak setelah meninggalkan negara tempat bekerja,” tambah Aryani. Selain itu, batas waktu satu tahun untuk pengajuan klaim juga menjadi kendala.
Yayasan Tifa hingga saat ini terus melakukan kerja sama dengan mitra untuk memberikan perlindungan bagi buruh migran Indonesia. Hal ini termasuk mendorong penguatan Perhimpunan Bantuan Hukum Buruh Migran (PBH-BM)menjadi organisasi bantuan hukum yang terverikasi di bawah Kementerian, Hukum, dan HAM. Selain itu Yayasan Tifa juga melakukan upaya advokasi revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang dan membangun platform digital berbasis konsumen bernama PANTAU PJTKI (www.pantaupjtki.com) yang memungkinkan pekerja migran memonitor dan menilai agen perekrutran swasta di Indonesia.