Kemarin, 30 April 2017, selepas menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Filipina, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan kerja ke Hong Kong. Kehadiran Presiden itu disambut meriah oleh warga Indonesia. Selain untuk mengadakan pertemuan dengan pemerintah Hong Kong guna membahas kerja sama dan investasi, Presiden Jokowi juga mengagendakan pertemuan dengan para pekerja migran Indonesia di negara itu.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung di dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap, kedatangan Presiden tersebut juga digunakan sebagai ajang untuk mengevaluasi dan memperbaiki pelayanan dan pemenuhan serta perlindungan hak-hak buruh migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong dan negara lainnya. Sebab, menurut pendapat JBM, banyak persoalan terkait buruh migran di Hong Kong hingga kini masih belum terselesaikan seperti tidak maksimalnya pelayanan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), maraknya overcharging (pembebanan biaya yang terlampau mahal) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, tingginya pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya.
Tidak hanya itu, buruh migran Indonesia di Hong Kong yang mayoritas bekerja di sektor informal sebagai asisten rumah tangga, khususnya perempuan, sering menjadi korban eksploitasi dan diskriminasi. Mereka kerap bekerja melebihi jam yang telah ditentukan dan menjadi korban kekerasan baik fisik, mental, maupun seksual. Bahkan, meski telah bekerja sedemikian kerasnya, banyak buruh migran yang tak diberi gaji.
Berkaca dari masalah tersebut, tepat pada peringatan Hari Buruh Internasional (1/5), JBM mendorong pemerintah untuk segera melakukan lima hal. Apa saja? Simak selengkapnya di siaran pers JBM berikut ini.
Siaran Pers
Di Hongkong Merintih, di Negeri Sendiri Tumpang Tindih: Rombak Total Tata Kelola Migrasi untuk Perlindungan Buruh Migran yang Hakiki
Tanggal 30 April 2017, Presiden Joko Widodo dijadwalkan akan ke Hongkong setelah dari Filipina. Menurut informasi dari berbagai media, agenda utama ke Hongkong adalah bertemu dengan para pekerja migran Indonesia yang bekerja di sana dan selanjutnya akan diadakan serangkaian kegiatan salah satu pertemuan bisnis untuk meningkatkan investasi dan kerjasama di bidang budaya.
Para pekerja migran Indonesia yang hampir mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga akan melakukan serangkaian kegiatan seperti parade migran dan aksi yang isinya menyampaikan tuntutan buruh migran di berbagai negara tujuan bekerja.
Jaringan Buruh Migran (JBM), merupakan koalisi 28 organisasi yang berada di Indonesia dan di luar negeri termasuk di Hongkong, dimana sejak tahun 2010 telah aktif mengawal pembahasan revisi UU 39/2004 dan kebijakan pemerintah lainnya. Dari kebijakan yang masih harus diperbaiki dalam revisi salah satunya adalah perbaikan tata layanan migrasi pekerja migran Indonesia tidak hanya di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Hongkong sendiri, pelayanan tata kelola migrasi pekerja migran yang dilakukan oleh KJRI Hongkong masih belum maksimal. Data kasus yang diterima oleh SBMI selama dua tahun terakhir (2015 – 2017) ada 1.501 pengaduan dari berbagai negara. Khusus Hongkong yang selama ini dianggap lebih baik memberikan perlindungan bagi pekerja migran, ternyata masih banyak mengalami masalah (215 kasus) dimana 93% adalah kasus pelanggaran perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan biaya yang mahal/overcharging.
Lebih lanjut lagi menurut Hariyanto dari SBMI, dari 93% kasus overcharging, para pekerja migran tidak mengetahui dan tidak memegang dokumen perjanjian penempatan. Padahal perjanjian penempatan yang diatur dalam Permen No 22 Tahun 2014 sudah mengatur komponen biaya penempatan di negara Hongkong. Bila saja pengawasan kontraktual mulai dari masa pra penempatan sudah dilakukan, maka permasalahan overcharging akan dapat diminimalisir. Hariyanto juga mempertanyakan pengawasan KJRI terhadap mitra kerja PPTKIS atau agency di Hongkong karena yang melakukan overcharging tidak hanya ulah PPTKIS tetapi juga agency di Hongkong. Sedangkan menurut PP No 04 Tahun 2015, pengawasan di luar negeri menjadi domain Kemenlu melalui Perwakilan RI.
Nursalim, Migrant Institute menambahkan, berbagai persoalan yang ada di Hong Kong hingga kini masih belum terselesaikan. Berbagai persoalan tersebut di antaranya ialah, pelayanan KJRI yang kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, SIMKIM, narkotika, PHK sepihak, hingga jual beli job.
Untuk pelayanan pemerintah, sebagian besar para pekerja migran tidak mendapatkan respon yang cepat ketika mengadukan permasalahannya ke KJRI. Hal ini menyebabkan para pekerja migran lebih memilih mengadukan permasalahannya ke NGO lokal, serikat buruh lokal, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Adapun permasalahan paspor biometrik berbasis SIMKIM, menurut Nursalim ini justru menjadi dilema bagi para pekerja migran yang berada di Hong Kong. Pasalnya, sebelum kebijakan SIMKIM diterapkan, pemalsuan data terhadap pekerja migran Indonesia yang berangkat melalui PJTKI masih sering terjadi. Tata kelola penempatan TKI yang buruk di dalam negeri mengakibatkan TKI harus berhadapan dengan masalah hukum di negara penempatan. Selain itu, mereka terancam dipulangkan dan tidak bisa kembali bekerja lagi ke Hong Kong akibat sistem SIMKIM.
Untuk pekerja migran perempuan, mereka mendapat posisi rentan atas pekerjaannya sebagai domestic worker. Kondisi pekerjaan mereka di antaranya jam kerja berlebih, mendapat kekerasan fisik maupun psikis, dipindahkerjakan, mendapat pelecehan seksual, hingga tak diberi gaji.
Selama menerima pengaduan, Migrant Institute paling banyak mendapat pengaduan dari negara Hong Kong. Di tahun 2016 saja, Migrant Institute menerima pengaduan sebanyak 22 kasus. Jika dijumlah dari 2011 hingga 2016, Migrant Institute sudah menerima pengaduan sebanyak 211 kasus dari negara Hong Kong. Secara keseluruhan, hampir di tiap tahun angka ini menduduki peringkat pertama (kecuali pada tahun 2015).
Adapun data penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2016, jumlah penempatan TKI di Hong Kong tercatat 3.877 orang. Angka itu bertambah naik menjadi 4.695 di tahun 2017 (Januari – Maret 2017). Angka itu menduduki peringkat ketiga terbesar dari beberapa negara penempatan yang tercatat di BNP2TKI.
Savitri Wisnu, SekNas JBM melihat permasalahan pekerja migran di Hongkong dikarenakan oleh tata kelola migrasi yang minim. Tata kelola yang minim tidak hanya di Hongkong tetap di Indonesia juga. Misalnya layanan dalam hal penanganan kasus, pekerja migran harus mendatangi tiga instansi pemerintah dan menuliskan ulang kronologis kasusnya karena kewenangan ketiga instansi tersebut berbeda-beda. Akibatnya, pekerja migran yang dirugikan dalam hal ini karena dia harus ke tiga instansi dan meminta update ketiga instansi yang ada. Kelembagaan dan layanan yang terkoordinasi dengan baik, terintegrasi, tidak tumpang tindih, pengawasan yang terukur dan tidak menyerahkan tata kelola migrasi kepada swasta diharapkan akan tercipta melalui revisi UU 39/2004.
Anggota JBM dalam hal ini, HWRG menyoroti pelayanan perlindungan di empat negara tujuan bekerja salah satunya di Hongkong. Dari hasil wawancara dan assessment yang dilakukan, Daniel Awigra, HRWG, melihat ada dua hal dalam masalah pelayanan ini, pertama, perlakuan dan pelayanan KJRI terhadap pekerja migran masih diskriminatif. Para pekerja migran Indonesia statusnya dianggap lebih rendah dari WNI yang ada di Hongkong. Hal ini terlihat dari cara pelayanan dan keramahan staff KJRI Hongkong terhadap pekerja migran Indonesia saat memproses pengaduan dan aplikasi dokumen kerja. Kedua, dalam hal layanan pemberian informasi juga masih terbatas. Misalnya tidak adanya pengumuman atau sosialisasi kepada publik yang dapat dijangkau oleh para pekerja migran di Hongkong mengenai daftar agensi yang diakreditasi di Hongkong. Padahal informasi tersebut penting untuk mencegah pekerja migran yang ingin memperpanjang kontrak dengan agency yang memiliki akreditasi buruk.
Melihat kompleksitas persoalan buruh migran, khususnya perempuan, baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri, Risca Dwi, Solidaritas Perempuan mengatakan “Sangat penting bagi pemerintah untuk mulai mengubah paradigma dari melihat buruh migran sebagai komoditas menjadi manusia yang patut dilindungi hak-haknya. Revisi UU No. 39/2004 harus mengedepankan prinsip pemajuan HAM, non-diskriminasi, adil gender, transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif. Negara harus benar-benar hadir dalam melayani dan melindungi buruh migran dan tidak lagi menyerahkan tanggungjawabnya kepada swasta”.
Berdasarkan data dan permasalahan diatas, Jaringan Buruh Migran dalam memperingati hari Buruh Internasional 2017 mengingatkan dan mendesak pemerintah untuk :
- Memastikan bekerja keluar negeri adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan upah layak. Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan segala macam tool perlindungan mulai dari kegiatan pendidikan seperti bimbingan teknis dan kejuruan, kebijakan pendidikan yang mengarahkan seluruh warganegara Indonesia akan mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, membuat regulasi agar lapangan pekerjaan yang ada menjamin adanya pekerjaan, upah dan hidup layak
- Serius memperbaiki dan mengevaluasi tata kelola pelayanan dan perlindungan pekerja migran di KJRI Hongkong mulai dari pelayanan job order, informasi mengenai black list agency, layanan pengurusan dokumen kerja, layanan penanganan kasus mulai dari hotline hingga penanganan kasus secara litigasi dan non litigasi dengan prinsip berperspektive pada korban, non diskriminasi, transparant, cepat, akuntable dan berkeadilan.
- Serius dalam membahas isi revisi UU 39/2004 sesuai dengan prinsip perlindungan secara menyeluruh berdasarkan Konvensi PBB 1990 dan CEDAW. Isi pasal-pasal revisi harus: (a)Menjamin hak dan perlindungan bagi pekerja migran dengan berdasarkan prinsip pemenuhan kepada HAM, keadilan, non diskriminatif, kesetaraan, transparant, akuntable dan partisipatif; (b) Meminimalisir peran berlebihan kepada PPTKIS dan menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar kepada Negara; (c) Menjamin dan memastikan adanya tata kelola migrasi yang aman bagi pekerja migran termasuk didalamnya adanya mekanisme koordinasi dan sinkronisasi peran antar pemerintah baik antara pemerintah pusat maupun antara pemerintah pusat dengan daerah agar tidak terjadi saling tumpang tindih, overlappingimplementasi kebijakan, yang justru akan merugikan pekerja migran mulai dari masa sebelum bekerja hingga pekerja migran Indonesia pulang ke daerahnya.
- Memasukkan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia (RUU PPRT) kedalam Prolegnas Prioritas agar RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan sebagai bentuk pengakuan terhadap pekerjaan rumah tangga
- Segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan
Jakarta, 30 April 2017
Jaringan Buruh Migran (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah
Narahubung :
Savitri Wisnu : 0821 24714978 / Hariyanto : 085259307953 / Nursalim : 08118163691