Jakarta, 9 Februari 2023 – Problem dalam penyaluran bantuan sosial pemerintah yang tidak tepat sasaran, proses pendataan yang tidak mutakhir, dan tidak terintegrasi dari level desa hingga provinsi masih ditemukan selama beberapa tahun terakhir. Dalam konteks pandemi, temuan dari riset yang dilaksanakan oleh Tifa pada akhir tahun lalu terkait Akses Perlindungan Sosial Bagi Kelompok Rentan di Provinsi Jawa Timur dan NTB pada akhir tahun 2022 mengonfirmasi sejumlah persoalan tersebut. Temuan riset melihat persoalan mulai dari aspek akses terhadap informasi, akses terhadap pendataan, akses terhadap distribusi, akses terhadap efektivitas hingga mekanisme pengaduan di kedua Provinsi. Untuk mengatasi sejumlah persoalan tersebut, sejumlah rekomendasi telah ditujukan khususnya kepada Dinas Sosial mulai dari level lokal (kabupaten dan provinsi) hingga pemerintah pusat. Sebagai upaya advokasi atas problem tata kelola dan sistem perlindungan sosial tersebut, Yayasan Tifa menggelar dialog kebijakan level nasional pada 9 Februari 2023 di Hotel Ashley Wahid Hasyim Menteng Jakarta Pusat.
“Kegiatan dialog nasional ini merupakan rangkaian proses yang sudah kami lakukan di tingkat kabupaten dan provinsi. Kegiatan ini sangat relevan dengan kondisi saat ini yang masih dalam situasi krisis yang bertujuan agar kelompok rentan harapannya dapat teradvokasi,” ungkap Oslan Purba, Direktur Eksekutif Ad Interim Yayasan Tifa pada saat membuka kegiatan tersebut. Dialog ini hadir untuk menyampaikan hasil temuan dan rekomendasi penelitian atau monitoring desa terkait akses kelompok rentan kepada perlindungan sosial di 10 desa yang telah dilakukan pada September-Desember 2022, serta memfasilitasi pemangku kepentingan di tingkat nasional untuk mendiskusikan persoalan-persoalan terkait perlindungan sosial yang dihadapi oleh warga di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur.
“Dalam Undang-Undang Desa sebagai bagian dari percepatan dalam SDGs Desa, desa wajib peduli dengan perlindungan sosial kelompok rentan dan ada upaya desa untuk mencegah risiko di desa” ungkap Ibu Lilis Yuliana, SP, M.Si, Sub Koordinasi Pelayanan Kependudukan dan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian Desa dan PDTT. Ia menambahkan melalui pendataan SDG’s Desa dan Desa Inklusif, untuk tatanan masyarakat, desa wajib menghormati, melayani untuk kelompok marjinal dan rentan, yang didasari oleh pasal 67 UU Desa yang mengatur hak masyarakat desa. Ibu Lilis Yuliana juga menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi gayung bersambut dan kolaborasi antar kementerian terhadap perlindungan sosial untuk kelompok rentan.
Komnas HAM menyampaikan apresiasi dan sepakat atas apa yang dipaparkan dalam hasil riset Yayasan Tifa. Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM menyatakan dalam penanganan pandemi, HAM harus menjadi perspektif program yang dibuat oleh pemerintah baik dalam akses perlindungan sosial, dan pelibatan kelompok rentan sebagaimana inisiatif yang dilakukan Tifa bersama Forum Desa Inklusif (FDI). Memastikan hak akses informasi untuk masyarakat harus dipenuhi hak atas pemulihan yang berkelanjutan dengan bentuk pemberdayaan. Program perlindungan sosial harus dapat mencegah keluarga yang berpenghasilan rendah tidak makin jatuh kebawah,” jelas Anis Hidayah.
“Mainstreaming gender, pencegahan dan penanganan kelompok rentan seperti perempuan dan anak korban kekerasan, membantu memberikan akses terhadap perlindungan perempuan dan anak sehingga FDI selaras dengan program Kemen PPPA (DRPPA),” ungkap Dian, perwakilan Kementerian PPPA. Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Marike Hutabarat menyampaikan bahwa mekanisme complaint harus berbasis kelompok rentan. Perlu dimaksimalkan layanan kesehatan maupun layanan pengaduan sehingga tidak mengurangi biaya yang diberikan dalam bantuan PKH, maupun yang lain, karena bansos yang telah diberikan ditujukan untuk pemenuhan bantuan sosial pemenuhan kebutuhan pokok.
Rekomendasi Tifa, Kementerian Sosial diharapkan melakukan evaluasi data sesuai dengan Permensos Tahun 2021 terkait pendataan dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), meninjau kembali keberadaan aplikasi data tingkat kabupaten dan desa, agar operator desa mendapatkan notifikasi saat terjadi penolakan seseorang sebagai penerima bansos. Kementerian juga diharapkan mampu memaksimalkan pola penyebaran informasi, baik informasi program, pendataan, hasil verifikasi dan validasi dan waktu pencairan ataupun keterlambatan pencairan. Selain itu penting untuk menyusun petunjuk teknis (juknis) bagi Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) guna menyempurnakan pedoman umum Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dengan penguatan terhadap pusat kesejahteraan sosial (Puskesos) dan mendorong kabupaten membentuk Pusksesos atau FDI. Menjadikan DTKS sebagai acuan data untuk seluruh pihak dalam menjalankan program perlindungan sosial dan menyusun pedoman penanganan permasalahan ataupun kecurangan.
Ombudsman menyampaikan apresiasi atas inisiatif Tifa bersama stakeholder di desa lewat FDI terkait persoalan penyaluran bansos ke kelompok rentan. “Kami juga memiliki inisiatif atas prakarsa sendiri terkait penyaluran bansos dan telah memberikan tindakan korektif pada Menteri Sosial, meliputi adanya tindakan maladministrasi, dan penyimpangan prosedur. Pengaduan juga perlu jemput bola tidak hanya melalui aplikasi maupun hanya laporan saja, namun juga penyelesaian persoalan terkait bansos,” terang Berlinda, Keasistenan Utama VI Ombudsman.
Kementerian Sosial menyampaikan tentang langkah-langkah yang sudah pernah dilakukan dalam perbaikan program (PKH), yaitu pemutakhiran data, perkembangan dan progress KPM di desa, E-PKH diintegrasikan ke SIKNG. Pemerintah daerah yang mengusulkan ke pusat, pada dasarnya data berasal dari daerah. Sulitnya updating data, serta adanya politik desa. ”Data diintegrasikan dengan dukcapil namun ada perbedaan waktu update antara Dukcapil dan Kemensos. DTKS update data per bulan, dukcapil update data per enam bulan. Lima modul untuk peningkatan penguatan KPM. Graduasi terminologinya adalah keluar dari program, di tahun 2022-2023 ini diarahkan agar tidak adanya ketergantungan pada bansos karena selama ini 80 % pengalokasian anggaran Kemensos diperuntukkan untuk bansos,” tutur Jaswadi, Pejabat Pembuat Komitmen Bansos, Kementerian Sosial RI.
***
Tentang Yayasan Tifa
Yayasan Tifa adalah organisasi yang mempromosikan terwujudnya masyarakat terbuka melalui kerja sama di isu-isu strategis dengan berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal. Sejak berdiri, Tifa terus berupaya mendorong penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan marjinal, perluasan hak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat, advokasi bagi perwujudan media yang bebas, perbaikan tata kelola pemerintahan serta transparansi dan akuntabilitas dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik, serta sejumlah program lain yang selaras dengan upaya mewujudkan masyarakat terbuka di Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut seputar Program Perlindungan Sosial Yayasan Tifa (HEAL) hubungi:
Lorensia Berlian: lorensia@tifafoundation.id
Project Officer for HEAL