Jakarta, 4 April 2025 – Konsorsium Jurnalisme Aman mengecam keras Pasal 5 Ayat (1) Huruf b Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing yang mewajibkan jurnalis dan peneliti asing mengantongi Surat Keterangan Kepolisian (SKK) untuk beraktivitas di “lokasi tertentu”. Kebijakan ini secara terang-terangan melanggar Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 yang melarang penyensoran dan pembatasan pra-izin (prior restraint), serta bertentangan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan menjadi UU No. 12 Tahun 2005 yang telah menjamin kebebasan berpendapat.
Kewajiban SKK merupakan alat kontrol sepihak yang berpotensi diskriminatif, mengancam kemerdekaan pers, dan membatasi riset akademis. Aturan ini menciptakan standar ganda yang tidak masuk akal: jurnalis asing dipaksa mendapat izin polisi sebelum meliput, padahal Pasal 5 UU Pers menjamin hak berekspresi bagi “setiap orang” tanpa memandang kewarganegaraan.
Ketidakjelasan definisi “lokasi tertentu” juga melanggar prinsip kepastian hukum dan Prinsip Siracusa, yang mensyaratkan pembatasan hak harus jelas, proporsional, dan tidak berlebihan.
Lebih jauh, kebijakan ini berisiko membungkam investigasi jurnalis asing terhadap isu-isu krusial yang menyangkut kepentingan publik seperti korupsi, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan. Kolaborasi riset internasional pun terancam terganjal, merugikan kemajuan ilmu pengetahuan.
Dengan peringkat kebebasan pers Indonesia yang kini berada di posisi 108 dari 180 negara (Reporters Without Borders), kebijakan ini dapat memperburuk citra global Indonesia dan mengembalikan bayang-bayang praktik otoritarian Orde Baru yang mengontrol informasi. Indeks Keselamatan Jurnalis di Indonesia tahun 2024 yang masuk kategori agak terlindungi dengan pilar Negara dan Regulasi mendapatkan skor 64,39, cenderung akan menurun di tahun 2025 dengan adanya aturan baru yang membatasi kebebasan pers ini. “Jurnalis asing bukan ancaman, melainkan mitra transparansi. Korupsi, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan adalah ancaman sesungguhnya. SKK adalah langkah mundur yang mencoreng demokrasi kita,” ujar Daniel Awigra, Direktur Eksekutif HRWG.
“Aturan ini cacat hukum. UU Pers sudah tegas: tidak ada ruang untuk izin khusus. SKK hanya melemahkan fondasi demokrasi dan supremasi hukum,” tambahnya.
Kewenangan polisi dalam menerbitkan SKK rentan disalahgunakan untuk membatasi akses informasi publik, terlebih lagi tanpa mekanisme pengawasan independen. Konsorsium Jurnalisme Aman mendesak Kapolri segera mencabut Perpol No. 3 Tahun 2025, khususnya pasal-pasal bermasalah terkait SKK. Kami juga menyerukan pelibatan Dewan Pers dan Komnas HAM dalam proses revisi kebijakan ini, serta mendorong uji materiil ke Mahkamah Agung untuk memastikan supremasi hukum ditegakkan.
Konsorsium akan terus mendorong jaringan jurnalis, akademisi, dan organisasi HAM internasional untuk memastikan kebijakan ini dibatalkan. Kebebasan pers dan akses informasi adalah salah satu pilar demokrasi yang tidak bisa dibatasi oleh pihak manapun.
Narahubung Konsorsium Jurnalisme Aman
Daniel Awigra: 0817 6921757
Zico Mulia: 0812-8134-7346
email: JA@tifafoundation.id
web: www.jurnalismeaman.com