Jakarta – 28 Juli 2017 – Aksi diam keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu atau Aksi Kamisan, memasuki pelaksanaan ke-500 kalinya. Hal ini merupakan indikasi serius untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memenuhi hak keadilan para korban dan keluarga kasus pelanggaran HAM.
Paguyuban keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu beserta para aktivis HAM melangsungkan Aksi Kamisan yang ke-500 kalinya tanggal 27 Juli 2017. Aksi yang dilaksankan setiap hari Kamis sore ini merupakan upaya dari para keluarga korban dalam memperjuangkan pengungkapan kebenaran dan menuntut keadilan, serta usaha untuk terus menjaga ingatan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Meski demikian, hingga saat ini pemerintah masih abai terhadap tuntutan para keluarga korban.
Semenjak Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjabat sebagai presiden dan wakil presiden tahun 2014 lalu, ada lebih dari 100 Aksi Kamisan digelar di seberang pagar Istana. Namun, tidak sekalipun Presiden dan wakilnya menemui para penggelar aksi yang hanya berjarak sekian ratus meter dari pagar Istana. Bandingkan dengan kegiatan ‘blusukan’ Jokowi yang telah merambah hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dalam tiga tahun masa jabatannya, Jokowi telah melakukan lebih dari 300 kunjungan ke lokasi yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
Sementara, keluarga korban yang menggelar Aksi Kamisan di pagar istana bahkan masih harus dipaksa menjauh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aksi unjuk rasa hanya boleh dilakukan 100 meter dari objek vital. Aturan itu membuat aksi kamisan kehilangan tempat di Istana. Sebab, jarak 100 meter dari pagar Istana sudah terhalang pagar taman Monumen Nasional (Monas).
Memperbandingkan kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo menyatakan masyarakat patut mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap penegakan dan perlindungan HAM, khususnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Ketika Presiden Joko Widodo terpilih, ada harapan bahwa beliau bisa membuat perbedaan. Namun setelah dua tahun, harapan tersebut pelahan berubah menjadi ilusi. Alih-alih menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM, negara justru makin abai terhadap hak warga, termasuk dalam hal berserikat dan berekspresi,” ujar Darmawan.
Aksi damai dalam diam yang dilakukan keluarga korban seperti Aksi Kamisan bukan satu-satunya di dunia. Gerakan Mothers of Plasa de Mayo di Argentina merupakan gerakan yang dipelopori oleh para ibu yang kehilangan anaknya secara paksa pada masa pemerintahan militer periode 1976-1983. Pada periode tersebut, militer diduga telah menewaskan lebih dari 22 ribu orang. Para ibu yang mengenakan kerudung putih dalm aksinya menjadi simbol keberanian hingga akhirnya pada tahun 2016, lebih dari seribu personel yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan diadili dan tujuh ratus diantaranya dijatuhi hukuman.
Darmawan menambahkan, Aksi Kamisan adalah tuntutan nyata kepada negara mewujudkan pengungkapan kebenaran dan keadilan, tidak hanya kepada keluarga korban yang melakukan aksi diam di depan Istana, tapi juga kepada seluruh korban dan keluarga yang terdampak kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Hal (aksi kamisan) ini adalah suara warga negara yang selayaknya tidak diabaikan. Respon Presiden Joko Widodo terhadap aksi ini melambangkan bagaimana komitmen pemerintah saat ini terhadap penuntasan kasus pelanggaran kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” ujar Darmawan.
Yayasan Tifa mendorong pemerintah Joko Widodo-JK untuk melaksanakan komitmen negara dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan memnuhi hak warga atas keadilan dan pengungkapan kebenaran. Pemerintah perlu berhenti mengabaikan hak warga dan keluarga korban dan secara aktif mendukung gerakan-gerakan dan lembaga pengungkapan kebenaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh ataupun lembaga akuntabilitas seperti Komnas HAM.