Semai Phala, Kisah Kehidupan Korban Tragedi 65 Kini

Negara menciptakan hantu untuk dirinya sendiri,” – Rinto, Peneliti ISSI.

Pada Rabu, 9 Agustus 2017, atas dukungan Yayasan Tifa, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) menyelenggarakan diskusi dan pemutaran perdana fim Semai Phala, sebuah dokumenter yang berkisah tentang kehidupan para korban Tragedi Pembantaian Tahun 1996/1966 saat ini. Acara yang dibuat untuk kalangan terbatas ini dihadiri oleh para korban beserta keluarga, individu dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap upaya penuntasan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, khususnya Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965/1966.

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) telah mengubah kehidupan banyak pihak secara drastis. Banyak orang dianggap sebagai ‘penjahat’ hanya karena dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), walaupun sebelumnya, mereka dipandang sebagai kelompok intelektual, penggerak masyarakat, dan tokoh yang dihormati

Setelah Rezim Orde Baru tumbang, sebagian dari korban berhasil bangkit dan menata ulang kehidupan mereka bahkan memegang peran penting di lingkungan tempat tinggalnya. Dalam film Semai Phala dikisahkan, salah satu tokoh yang berhasil membangun hidupnya kembali adalah Natar, mantan aktivis yang menjadi korban pengasingan di Pulau Buru dan kini menetap di Bali. Setelah kembali ke Pulau Dewata, Natar yang kala itu beralih profesi sebagai petani mulai membangun kehidupannya kembali dengan mengorganisir para petani di wilayahnya dan membagikan pengetahuan yang ia miliki di bidang pertanian. Berkat Natar, hasil pertanian desanya mengalami peningkatan. Karena kegigihannya membangun desa, Natar pernah ditunjuk menjadi Saba Desa, pejabat di pemerintahan adat Bali yang bertugas mencarikan jalan keluar sesuai adat untuk warganya. Sampai kini pun, Natar dianggap sebagai sesepuh di desanya.

Menurut hasil penelitian ISSI di tiga daerah yaitu Kota Solo, Kabupaten Pati, dan Provinsi Bali yang menjadi dasar pembuatan film Semai Phala, para penyintas Tragedi Pembantaian Tahun 1965 saat ini tak lagi menghadapi kesulitan dalam bergaul dengan masyarakat. “Di Provinsi Bali misalnya, sejumlah penyintas yang kami temui saat ini aktif dalam bidang pertanian dan kesenian. Ada juga yang aktif dalam pemerintahan desa,” ungkap Peneliti ISSI M. Fauzi.

Namun ironisnya, seperti tergambar dalam dokumenter tersebut, saat masyarakat sudah menerima keberadaan para korban dengan sepenuhnya, justru Negara dan aparat keamanan baik polisi maupun militer kerap menghambat rekonstruksi sosial para korban Tragedi 65.

Seperti dikisahkan Sumini, penyintas asal Pati. Hingga saat ini, tiap kali Sumini hendak mengadakan pertemuan di rumahnya, ia masih harus meminta izin tertulis kepada Ketua RT setempat. “Pertemuan apapun yang ada di rumah saya, saya harus membuat surat keterangan sedangkan masyarakat lain tidak,” tutur Sumini. Tak hanya itu, gerak-geriknya hingga saat ini masih diawasi. Ia kerap dihubungi polisi dan tentara jika tidak terlihat barang sehari saja dirumahnya, untuk diketahui dimana keberadaannya.

Melihat kondisi itu, Rinto Tri Hasworo, salah seorang peneliti ISSI, mengatakan, “Negara terutama (melalui) aparat keamanan menciptakan hantu untuk dirinya sendiri”.

Di Balik Layar

Diskriminasi oleh Negara yang diterima para korban, diakui oleh Sutradara Semai Phala Yayan Wiludiharto turut menghambat proses produksi film. Dibandingkan dengan Kota Solo dan Provinsi Bali, menurut Yayan, hambatan paling besar ia rasakan di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Yayan mengungkapkan, ia tidak bisa menetap lama di tempat tinggal Supardi untuk menggali informasi dari salah satu penyintas yang kini menjadi Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Bulu Mulyo, Juwana, Pati, Jawa Tengah itu. “Ketika ada orang baru yang datang, akan dipertanyakan. Bukan oleh masyarakatnya, tapi aparatur keamanannya. Yang paling sering menanyakan itu Babinsa (Bintara Pembina Desa),” ungkap Yayan.

Yayan menuturkan, rencanya untuk mengambil gambar saat Supardi menggunakan hak suaranya pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada April 2017 gagal karena saat itu Babinsa sedang gencar memantau desa, termasuk Supardi. Yayan pun harus sigap dan siap untuk mengambil gambar secara candid, khususnya saat berada di ruang publik. “Ini karena saya takut itu dapat menghentikan semua proses (produksi film). Jadi saya mengakalinya dengan mengambil gambar candid saja,” ujarnya.

Terlepas dari hambatan yang dialami Yayan selaku sutradara, film Semai Phala mendapat respon positif dari peserta pemutaran film dan diskusi. “Setelah menonton film ini saya senang karena bertambah lagi dokumentasi tentang Tragedi 65 yang dapat dinikmati masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) Anik Wusari. Tak hanya itu, pujian kepada Yayan dan ISSI juga diberikan langsung oleh Irene salah satu korban yang kini aktif di Dialita, kelompok paduan suara para penyintas tahun 1965. “Saya mengapresiasi film ini dan semoga bisa mewakili suara dan penderitaan kami yang menjadi korban,” ucapnya.

Taat Ujianto, penanggung jawab program dari ISSI mengatakan, produksi film Semai Phala adalah salah satu upaya ISSI yang didukung Yayasan Tifa untuk merefleksikan kembali bagaimana konstruksi sosial para korban Tragedi Pembantaian Tahun 1965/1966 baik sebelum maupun sesudah Peristiwa G30S. Refleksi ini diharapkan dapat menyajikan sisi lain dari tragedi 1965/1966 dimana ribuan warga menjadi korban. “Melalui refleksi tersebut, kita berharap mampu memberikan persepsi baru khususnya dalam rangka mencegah terjadinya tragedi serupa,” ujarnya.