Penulis: Roni, Program Assistant for Human Rights Yayasan Tifa
Penyunting: Brigita Rumung, Knowledge Management & Comms Officer Yayasan Tifa
Meskipun secara angka masih cukup rendah, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia wilayah tengah kerap terjadi di tahun politik, momentum demonstrasi, serta karya jurnalistik yang mengangkat isu agraria dan sumber daya alam atau kasus penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sayangnya, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis di wilayah tengah tidak dapat diselesaikan dengan tuntas.
Makassar sebagai Titik Temu
Makassar, 14 Juli 2022. Yayasan Tifa yang tergabung dalam konsorsium Jurnalisme Aman bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) menyelenggarakan Pertemuan Lintas Sektor Penanganan Kekerasan terhadap Jurnalis di Wilayah Tengah Indonesia, tepatnya di Kota Makassar. Tingginya angka kasus kekerasan terhadap jurnalis di kota ini, dibandingkan dengan daerah lain di wilayah tengah melatarbelakangi pemilihan Makassar sebagai titik pertemuan. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah, LBH Makassar, LBH Pers Makassar, LBH Bali Women Crisis Center, AJI Denpasar, AJI Gorontalo, AJI Kupang, AJI Balikpapan, AJI Makassar, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Kabar Makassar, dan akademisi dari Makassar.
Berangkat dari tingkat kerentanan kekerasan yang terjadi di wilayah tengah serta beberapa kasus pembunuhan jurnalis, pertemuan regional yang dikemas dalam focus group discussion (FGD) dengan metode world cafรฉ ini bermaksud untuk mendalami isu mengenai kasus kekerasan terhadap jurnalis dan mekanisme penyelesaiannya. Tujuan lainnya yakni mengumpulkan informasi mengenai gambaran pola kekerasan untuk melihat peta risiko dan potensi tindakan kekerasan yang dialami jurnalis maupun mekanisme penanganan kasus, baik secara hukum maupun di luar mekanisme hukum. Informasi yang dikumpulkan sebagai upaya mengisi kekosongan data prevalensi di tingkat provinsi mengenai keselamatan jurnalis.
Suara dari Para Jurnalis
Pertemuan yang diselenggarakan selama satu hari tersebut menghasilkan beberapa catatan penting yang bisa menjadi rujukan berbagai pihak yang memiliki andil dalam penyelesaian kasus kekerasan jurnalis.
(1) Pola Kekerasan dan Minimnya Kerjasama dalam Mekanisme Penyelesaian Kasus
Kondisi kekerasan terhadap jurnalis di wilayah tengah Indonesia dapat dikategorikan rendah. Namun tak dapat dipungkiri setiap tahunnya selalu terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis. Berdasarkan paparan yang disampaikan A. Fauziah Astrid, akademisi UIN Alauddin Makassar, tren kekerasan jurnalis di Indonesia wilayah tengah biasanya meningkat menjelang tahun politik, momentum demonstrasi, serta peliputan mengenai isu agraria, sumber daya alam, serta penyelewengan atau penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pola kekerasan di wilayah tengah didominasi oleh kekerasan dalam bentuk pengusiran jurnalis dari tempat peliputan, perampasan dan pengrusakan alat peliputan, intimidasi serta pelecahan seksual, bahkan kekerasan fisik yang berujung pada pembunuhan. Selain kekerasan fisik, kekerasan digital dan psikososial juga kerap terjadi meski angka kasusnya masih tergolong lebih rendah daripada kekerasan fisik. Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah menyatakan setidaknya 3 jurnalis mengalami kekerasan fisik dan penghancuran alat peliputan yang dilakukan oleh aparat saat meliput demonstrasi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Kasus-kasus lain yang semakin mencoreng keamanan jurnalis wilayah tengah antara lain, permintaan pemerintah daerah serta pihak kampus untuk mencabut atau menghapus hasil liputan yang dipublikasikan oleh jurnalis dan organisasi pers mahasiswa di Makassar, pembacokan jurnalis di Gorontalo, hingga pembunuhan jurnalis (Prabangsa) di Bali yang meliput kasus korupsi.
Kasus lain yang cukup menyita perhatian adalah adanya 6 media di Makassar yang digugat secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Desember 2021. Enam media tersebut antara lain, Antara News, Terkini News, Celebes News, Makassar Today, Kabar Makassar, dan Radio Republik Indonesia (RRI). Penggugat meminta 6 media tersebut melakukan ganti rugi sebesar 100 triliun atas pemberitaan yang menyebut M. Akbar Amir bukan keturunan Raja Tallo. Meskipun tidak secara langsung menyasar jurnalis, gugatan ini dianggap bermasalah karena tidak melibatkan Dewan Pers, adanya upaya pembungkaman kebebasan pers, serta menjadi bentuk kekerasan yang bersifat psikosial yang berdampak secara ekonomi.
Kasus lain yang tak luput dibicarakan dalam pertemuan ini adalah angka kasus kekerasan berbasis gender seperti pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh jurnalis perempuan. Pelaku pelecehan dan kekerasan umumnya merupakan narasumber, aparat penegak hukum, serta jurnalis laki-laki. Kekerasan berbasis gender yang sering dialami oleh jurnalis perempuan perlu mendapatkan perhatian khusus karena berdampak pada psikologis korban.
Sayangnya, beberapa kasus yang disebutkan banyak yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Penanganan yang lamban serta minimnya perhatian pemerintah dan penegak hukum terhadap keamanan jurnalis menjadi kendala utama. Perwakilan LBH Makassar menyampaikan bahwa beberapa kasus kekerasan, termasuk sekitar 3 sampai 4 kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak dapat diusut. Terdapat juga laporan kekerasan dicabut setelah proses mediasi meskipun dalam pandangan hukum, mediasi tidak dapat dijadikan sebagai bukti kuat sebagai pencabutan laporan. Mekanisme penanganan kasus kekerasan yang tidak terstruktur terutama di tingkat daerah menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sehingga tak dapat dipungkiri beberapa kasus mengalami kemandegan karena proses yang tidak baku dan cenderung lamban.
Menanggapi kondisi lambannya penanganan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis, penting membangun jejaring lintas sektor antar penegak hukum, pemerintah daerah, lembaga pers, organisasi masyarakat sipil, dan perusahaan media untuk membuat mekanisme penanganan dan penyelesaian kasus dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan jurnalis. Harapan ini muncul dari peserta pertemuan regional sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi para jurnalis.
(2) Pentingnya Peningkatan Kapasitas Jurnalis
Upaya meningkatkan keamanan dan keselamatan jurnalis juga dilakukan secara internal di kalangan para jurnalis. Pemberian pemahaman mengenai keamanan fisik dan digital bagi jurnalis sudah pernah dilakukan meskipun belum menyasar secara komprehensif elemen-elemen yang terlibat dalam jurnalistik. Berdasarkan paparan dari A. Fauziah Astrid, beberapa jurnalis telah mendapatkan capacity building mengenai keamanan digital. Peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui kolaborasi organisasi jurnalis seperti AJI daerah dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Pada Maret 2022, LBH Bali Women Crisis Center juga melakukan pelatihan untuk jurnalis perempuan muda di Bali. Selain membahas mengenai isu keamanan dan keselamatan bagi jurnalis perempuan, pelatihan tersebut juga memberikan pemahaman mengenai kode etik jurnalis. Namun, masih terdapat keengganan bagi para jurnalis perempuan untuk berani berbicara perihal kekerasan berbasis gender yang dialami. Sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan tidak terungkap. Berangkat dari tingginya kasus kekerasan berbasis gender, para jurnalis perempuan di Makassar membuat komunitas untuk melihat bentuk kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan. Kendati demikian, belum ada informasi mengenai pemberian pemahaman bagi jurnalis perempuan dalam menghadapi kekerasan berbasis gender baik secara daring maupun luring. Sehingga banyak dari mereka yang belum memahami mitigasi risiko serta mekanisme pelaporan ketika mendapatkan kekerasan seksual.
Perihal minimnya peningkatan kapasitas juga dialami oleh kalangan mahasiswa yang tergabung dalam pers mahasiswa. Beberapa pelatihan keamanan fisik dan digital yang diberikan kepada jurnalis ternyata masih minim sekali yang menyasar insan pers mahasiswa. Banyak dari mereka yang belum mendapatkan pengetahuan dasar jurnalistik, kode etik jurnalistik bahkan keamanan fisik, digital, dan psikososial. Berdasarkan paparan dari perwakilan PPMI Makassar, banyak anggota pers mahasiswa yang belum mengetahui bagaimana cara memitigasi kekerasan fisik maupun digital yang terjadi pada mereka. Pengetahuan soal tahapan-tahapan yang harus dilakukan saat mendapatkan kekerasan fisik dan serangan digital juga masih minim di kalangan mahasiswa. Peningkatan kapasitas mengenai keamanan fisik dan digital adalah hal yang krusial terutama bagi jurnalis muda serta pers mahasiswa. Minimnya pers mahasiswa yang memiliki pengetahuan baik kode etik dan keamanan jurnalis menuntut berbagai pihak yang fokus pada jurnalisme dan kebebasan pers untuk bersama-sama mengadvokasi keamanan dan keselamatan jurnalis, terutama jurnalis di tingkat daerah. Pengetahuan dasar yang komprehensif mengenai jurnalistik serta keamanan fisik dan digital sangat perlu dipahami oleh seluruh jurnalis baik jurnalis profesional, jurnalis warga, blogger, serta pers mahasiswa.
Kolaborasi Sinergis Salah Satu Kunci Penting Menuju Keamanan Jurnalis
Angka kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia wilayah tengah meski cukup moderat mempengaruhi ekosistem kebebasan pers di Indonesia. Beberapa rekomendasi yang muncul pada saat pertemuan regional ini antara lain:
- Mendorong penegak hukum dan lembaga perlindungan pers membuat jejaring kolaborasi dalam merancang mekanisme penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang efektif baik di tingkat nasional maupun daerah
- Mendorong agar isu keselamatan dan keamanan menjadi perhatian utama pemerintah pusat dan daerah
- Mendorong perusahaan media saling berkolaborasi dalam memperkuat SOP penanganan kasus kekerasan jurnalis termasuk kekerasan berbasis gender
- Mendorong organisasi masyarakat sipil yang fokus pada kebebasan pers membentuk forum untuk mitigasi ancaman, intimidasi serta resiko-risiko kekerasan terhadap jurnalis
- Memastikan semua insan jurnalis khususnya pers mahasiswa dan jurnalis perempuan memiliki pengetahuan komprehensif mengenai kode etik jurnalistik, keamanan fisik, digital, dan psikososial, serta mekanisme dan tahapan pelaporan ketika mengalami kekerasan