Revisi UU ITE: Mengejar target legislasi?

Fadhli Rahim, PNS asal kabupaten Gowa Sulawesi Selatan tersandung kasus UU ITE akibat ucapannya di grup LINE. Fadhli terbukti sengaja mengeluarkan perkataan yang mencemarkan nama baik bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Fadhlipun sudah terbukti sengaja mentransmisikan dan mendistribusikan pernyataan itu ke grup LINE sehingga dapat dibaca dan diakses oleh penghuni grup lainnya.

Di tempat lain, Muhammad Arsyad, aktivis Garda Tipikor Makassar dijerat pasal pencemaran nama hanya karena status “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!” yang terpasang di BlackBerry Messenger (BBM)-nya. Ia kemudian dilaporkan oleh Abdul Wahab, anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar, yang juga orang dekat Nurdin Halid. Ia bahkan sempat mendekam di penjara selama 7 (tujuh) hari sebelum tuduhan terhadap nya dinyatakan tak terbukti.

UU ITE telah menjadi polemik sejak kelahirannya. Jangkauan penanganan UU yang luas serta ketidaksiapan aspek-aspek pendukung dalam pelaksanaan UU ini justru menyebabkan pembatasan kebebasan berekspresi. Dalam penerapannya, penegak hukum berprinsip sepanjang peralatan informasi dan komunikasi dapat ditafsirkan sebagai benda elektronik, maka menjadi subyek dari UU ITE.

Data dari Safenet menunjukkan, dari sejak disahkan tahun 2008 hingga 2015, UU ITE telah digunakan untuk mengkriminalisasi sedikitnya 127 netizen, mayoritas diancam dengan tindak pidana pencemaran nama baik, yang diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3). Selain dua contoh diatas, kasus kriminalisasi terkenal lainnya adalah kasus Florence Sihombing yang menulis status yang dianggap menghina kota Yogyakarta di media social nya. Florence pun dikenai hukuman 6 tahun penjara.

Berita baiknya, UU ITE saat ini tengah direvisi dan menjadi prioritas penyelesaian tahun 2015. Teknologi internet yang memiliki skala global dan tanpa batas membutuhkan suatu regulasi dan tata kelola yang mampu melindungi masyarakat. Karena sifatnya yang lintas batas, kerangka hukum yang mengatur teknologi internet juga harus merupakan sintesa atas berbagai disiplin ilmu dan focus kepada tiga hal: 1) Pengaturan prosedur, 2) penyesuaian terhadap pemanfaatan internet (missal perlindungan merk dagang), 3) Pemanfaatan internet yang melindungi kepentingan umum (misal perlindungan hak).

Ada dua frase utama yang dipermasalahkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU yakni      “mendistribusikan”,   mentransmisikan,      membuat       dapat   diaksesnya”,  serta  “muatan penghinaan    dan/atau        pencemaran   nama  baik”. Cakupan dan definisi frase tersebut terlalu luas sehingga melahirkan banyak interpretasi yang berujung pada ketidakpastian hukum.

Selain kriminalisasi warga, UU ITE juga dianggap menyebabkan kemunduran dalam hukum acara pidana, tidak adanya pengaturan mengenai prosedur penyadapan/intersepsi komunikasi, serta belum jelasnya ruang ihwal prosedur pemblokiran konten internet.

ELSAM yang merupakan mitra Tifa terus melakukan kampanye dan advokasi untuk perbaikan UU ITE. Melihat dampak yang terjadi di lapangan, revisi UU ITE merupakan hal yang mendesak. Revisi ini membuka harapan bagi perbaikan tata kelola internet di Indonesia. Namun, revisi UU tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan aspek lintas ilmu dan harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat, alih-alih mengejar target legislasi semata.


Yayasan TIFA mendukung mitra dalam advokasi revisi UU ITE demi memastikan undang-undang yang berpihak dan melindungi warga. Yayasan TIFA tersu melakukan kerja-kerja untuk melindungi hak asasi manusia dan mendorong terbentuknya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kebinekaan dan keterbukaan.