Revisi RKUHP, Buat Siapa? : Tanda Tanya di Balik Ketergesaan DPR

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada April 2018. Berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk Yayasan Tifa, menilai agenda tersebut terlalu terburu-buru sebab masih ada sejumlah pasal di dalam RKUHP yang tidak proporsional.

“Banyak pasal di RKUHP yang mengancam eksistensi masyarakat terbuka. Pasal-pasal itulah yang tak boleh buru-buru disahkan karena bisa berdampak buruk, khususnya kepada kelompok minoritas dan terpinggirkan,” kata Program Officer Yayasan Tifa Bidang Penegakan Hukum dan Reformasi Sistem Peradilan Syafirah Hardani.

Syafirah mengatakan, RKUHP seharusnya tidak direvisi secara menyeluruh dalam waktu bersamaan. “Seharusnya revisi dilakukan per bab agar pembahasannya mendalam dan tidak menimbulkan kegaduhan. Pasal yang sudah bagus bisa segera disahkan dan yang belum bagus tak perlu diburu-buru,” jelasnya.

Donny Ardyanto, Koordinator Program Pemberdayaan Hukum di Yayasan Tifa, mengungkapkan keinginan pemerintah untuk segera mengesahkan RKUHP memang kental muatan politisnya. “Sudah enam presiden “gagal” menggolkan revisi KUHP. Legacy yang dikejar Jokowi hanya sekedar menjadi presiden yang berhasil merevisi KUHP,” pungkasnya.

Aksi Tolak RKUHP Ngawur di depan Gedung DPR, Jakarta pada 12 Februari 2018. (Foto: LBH Apik/Instagram)

Upaya mengesahkan RKUHP di tahun politik ini disebut-sebut juga merupakan upaya para politisi di parlemen mendulang suara dari kelompok konservatif. “Ini (pasal tentang zina) terkait dengan kebutuhan partai politik dan para politisi di parlemen untuk mendulang suara dari kelompok pemilih konservatif, baik di pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018 maupun pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2019,” tambah Direktur Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo.

Sebagai lembaga yang bekerja untuk mewujudkan masyarakat terbuka di Indonesia yang menjunjung keberagaman, kesetaraan, dan keadilan, Yayasan Tifa menilai bahwa hukum dan sistem peradilan sebagai salah satu tiang tumpu demokrasi harus tunduk sepenuhnya kepada kepentingan rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, Yayasan Tifa pun mendukung kerja-kerja sejumlah masyarakat sipil salah satunya adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Atas dukungan Yayasan Tifa, ICJR tengah mendorong pengarusutamaan hak asasi manusia (HAM) dalam pembaruan kitab hukum pidana nasional itu. Secara umum, kerja sama Yayasan Tifa dan ICJR tersebut bertujuan untuk menginventarisasi masukan-masukan dari semua pemangku kepentingan dalam pembahasan RKUHP dan merumuskan perbaikan muatan-muatan pasal-pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, ICJR bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga bekerja untuk memperkuat jaringan di daerah untuk memberikan masukan dan mengawal pembahasan RKUHP dan membangun kesadaran masyarakat mellui kampanye publik.

Syafirah menuturkan, kerja sama Yayasan Tifa dan ICJR dalam mengarusutamakan HAM dalam RKUHP penting. Dari segi hukum, Indonesia sudah merativikasi Konvenan HAM Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. “Karenanya, Negara wajib untuk mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM termasuk prinsip non-diskriminatif di segala lini kebijakan,” pungkasnya.

Penting bagi masyarakat untuk terus memantau dan memastikan agar revisi KUHP yang tengah berjalan tidak mencederai hak-hak warga negara apapun afiliasi mereka. Untuk itu, Direktur Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo mengingatkan agar masyarakat tidak membiarkan supremasi hukum terkikis hanya karena hal itu dianggap tidak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya kelompok mayoritas.

“Ini adalah tanggung jawab kita semua. Jika kita berpangku tangan dan membiarkan supremasi hukum terkikis karena kita merasa bahwa hal tersebut tidak akan mempengaruhi kehidupan kita secara langsung (sebagai kelompok mayoritas), kita sedang hidup dalam ilusi. Pada akhirnya dalam jangka panjang, sistem hukum yang tidak kredibel akan mencederai semua warga,” tegas Darmawan.