Reporting Religion in Asia: Ketika Pimpinan Media Bicara Peliputan Agama

Bad news is good news.

Kita mungkin tidak asing dengan frase ini. Berita buruk adalah berita yang baik, karena berita buruk mudah dijual. Lalu bagaimana dengan peliputan isu agama, apakah frase yang sama turut berlaku?

Dalam masyarakat yang beragam seperti di Indonesia dan Asia pada umumnya, meliput isu dan konflik agama menjadi tantangan tersendiri. Inilah yang diungkapkan para pengambil kebijakan media di Indonesia saat Konferensi Reporting Religion in Asia di Universitas Multimedia Nusantara tanggal 17-19 Oktober 2017, yang diselenggarakan oleh International Association of Religion Journalists (IARJ) bekerjasama dengan Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dengan sebagian dukungan dari Yayasan Tifa.

Dalam salah satu sesi yang membahas kebijakan media atas pemberitaan isu agama, para editor media di Indonesia menceritakan dilema yang mereka hadapi sebagai sebuah entitas bisnis sembari memegang teguh ideologi jurnalisme.

M. Taufiqurrahman dari Jakarta Post menyampaikan, sebagai satu-satunya koran berbahasa asing, ada tekanan untuk memastikan agar tidak ada kesan yang salah terhadap Indonesia. “Karena audience kami sebagian besar orang asing, kami tidak mau ada wrong impression, maka pemberitaan harus baik dan proporsional meski ada ideologi dan pemahaman yg mempengaruhi pemberitaan,” katanya.

Dalam meliput isu agama, Jakarta Post selama ini lebih mengedepankan aspek politik dibandingkan aspek agama. Justru, isu agama sebagai bagian dari identitas budaya yang selama ini ditinggalkan perlu untuk lebih dikedepankan. “Kadang kita lupa Islam (dan agama lain) adalah kekuatan budaya yang harus diperjuangkan. Kadang kita take it for granted.”

Lain lagi dengan cerita Irfan Junaidi, pemimpin redaksi harian Republika yang menargetkan pemberitaannya pada komunitas muslim di Indonesia. Selama 20 tahun malang melintang bersama Republika, Irfan mengisahkan proses perjalanan Republika dalam mencari bentuk dan posisi di tengah masyarakat Indonesia.

Selama ini Republika lebih dikenal sebagai harian Islam. Meski demikian, Irfan menekankan bahwa keragaman dalam redaksi maupun pemberitaan selalu dijaga. “Kami masih terus berproses dan tidak menyatakan diri telah berada dalam posisi yang pas. Meski target pada pembaca muslim, tidak semua tim redaksi adalah muslim. Kami melayani semua spektrum,” ungkap Irfan.

Untuk pemberitaan, Irfan menyatakan kebijakan Republika lebih mengarahkan Islam sebagai nilai. Hal ini terlihat dalam perspektif yang muncul di pemberitaan.

“Pendekatan isu nya bukan Islam ritual tapi Islam sebagai nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kami mengangkat bagaimana Islam memandang korupsi dan lingkungan. Jadi, tidak melulu bicara soal sholat dan zakat, tapi lebih pada islam sebagai perspektif,” tambah Irfan.

Dalam liputan kebakaran hutan tahun 2015 lalu, Republika juga berhasil mendapatkan penghargaan. “Kami juga mengangkat hadist pelarangan buang air kecil di air mengalir dan mengaitkannya dengan bagaimana Islam memerintahkan menjaga lingkungan.”

Irfan bercerita bahwa Republika juga mengangkat isu korupsi dan pernah menampilkan banner khusus mengenai perlawanan terhadap korupsi. “Ada hadis yang menyatakan bahwa Nabi sendiri akan memotong tangan Aisyah jika kedapatan mencuri, Ini menunjukkan bahwa Islam melarang pencurian, apalagi korupsi yang bahkan lebih masif,” ujar Irfan.

Selain Jakarta Post dan Republika, perwakilan dari Tempo, Detik, dan Rappler Indonesia juga turut hadir sebagai panelis.

Sejumlah pimpinan media di Indonesia membahas kebijakan media atas pemberitaan isu agama. Foto: Dok. Yayasan Tifa.
Sejumlah pimpinan media di Indonesia membahas kebijakan media atas pemberitaan isu agama. Foto: Dok. Yayasan Tifa.

Isu agama sebagai komoditas pasar

Meski perspektif lain bisa diangkat dalam meliput isu agama, namun, tidak dipungkiri bahwa isu agama di media diliput dalam konteks konflik karena hal itu lah yang menjual. Hal ini diungkapkan oleh wartawan kawakan Uni Lubis yang mewakili Rappler Indonesia.

“Islam misalnya, banyak diliput karena newspeg nya besar, karena mayoritas penduduk Indonesia muslim. Sedangkan untuk agama lain, diliput ketika ada konflik (karena menjual). Misal agama kristen diliput ketika konflik, Sunda Wiwitan diliput ketika konflik tanah adat. Harus ada newspeg nya,” ujar Uni.

Hal senada dinyatakan Hermien Kleden, pemimpin Redaksi Tempo English.  Karena bagaimana pun, media harus bekerja dengan aspek nilai berita, kesesuaian magnitudo berita, termasuk untuk isu agama. Meski demikian, ia menambahkan, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan liputan dalam bentuk human interest dan soft news. “Tapi harus ada angle beritanya, kaitannya dengan newspeg. Isu pluralisme dan antar-kepercayaan Tempo terus dukung dan balut dalam newspeg,” ungkap Hermien.

Lalu bagaimana pandangan para kelompok agama terhadap pemberitaan media mengenai isu agama? Romo Haryanto yang mewakili komunitas katolik menyatakan dalam salah satu sesi, bahwa masih banyak kesalahpahaman dalam pemberitaan media ketika menyajikan informasi tentang komunitas agama tertentu. “Kalau tidak ada pemberitaan soal gereja katolik kami senang karena biasanya berita yang muncul tidak baik. Kalaupun ada yg baik, seringkali tidak diberitakan dengan benar,” ujar Romo Haryanto.

Ia pun menambahkan, berita tidak perlu mendalam, tapi penting disajikan dengan benar. Untuk itu, wartawan perlu kritis dan aktif mencari sumber-sumber informasi. Sebelumnya, komunitas tempatnya bekerja kerap menyelenggarakan konferensi media untuk isu antar-kepercayaan. Namun kini, mereka lebih suka menyebarkan rilis media. “Konferensi pers kami hentikan karena apa yang kami sampaikan tidak ditanyakan lagi dan pertanyan yang keluar justru tidak relevan. Kami juga kerap didatangi wartawan bodrek. Jadi kami memutuskan hanya melemparkan rilis media,” ujar nya.

Pemahaman dan ketertarikan terhadap isu agama juga menjadi tantangan bagi media. Banyak wartawan yang meliput isu agama tidak memahami apa yang harus digali dan kemana mencari sumber informasi. Media juga acapkali masih abai terhadap konteks sehingga perspektif yang keluar masih sekedar mengikuti arus.

Hal tersebut di benarkan oleh Yendra Budian, juru bicara dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia.“Ketidakpahaman (terhadap isu) ini kemudian menimbulkan publikasi tidak tepat. Media perlu punya perspektif sebagai salah satu aktor yg mempengaruhi publik, dan bagaimana membangun Indonesia yg berketuhanan dan berkeadilan sosial. Pemberitaan jangan hanya soal agama semata, tapi lihat juga nilai keadilan sosialnya, “ ungkap Yendra.

Kapasitas dan Profesionalisme Media

Masih menurut Yendra, kapasitas dan profesionalisme jurnalis juga perlu diperhatikan. Jangan hanya karena mengejar nilai berita, maka tidak memberikan ruang yang seimbang bagi pihak-pihak yang berseberangan nilai.

“Media justru terlibat aktif memberi kesempatan pada kelompok intoleran. Seharusnya, media juga menampilkan lebih banyak tokoh-tokoh seperti Buya Syafii dan tokoh NU, membangun jurnalisme damai. Kita paham media butuh berita, maka kami juga belajar memberitakan berita unik untuk media. Misalnya, kisah biarawati dan muslimah yang bersama menyeberang jalan, itu bukti bahwa good news bisa jadi good news, tambah Yendra.

Oleh karena itulah, Yayasan Tifa turut mendukung SEJUK yang terus menyebarkan perpspektif jurnalisme damai dan keberagaman di kalangan jurnalis di Indonesia. Dengan begitu mudahnya informasi tersebar saat ini, media punya peran untuk meluruskan informasi dan memiliki kepekaan dalam membaca situasi, bukan malah memperbesar konflik.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Dewi Kanti, perwakilan dari kelompok penganut kepercayaan leluhur. “Dalam kasus perampasan tanah adat misalnya, itu bukan isu agama, Tapi, ada kepentingan ekonomi politik di situ. Jurnalis seharusnya peka akan kepentingan politik lokal, bukan hanya fokus pada soal tanah sekian meter, “ kata Dewi.

Menanggapi persoalan kapasitas dan peran media, seluruh panelis sepakat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Selain peningkatan kapasitas dan penegakan etika jurnalistik, pelatihan perspektif damai dalam peliputan konflik bagi jurnalis menjadi penting. Hal ini bisa bisa diawali dengan pembuatan Panduan Jurnalisme Keberagaman yang akan berguna sebagai acuan jurnalis di Indonesia.