Awal November lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPPI FHUI) bersama dengan Yayasan Tifa berkesempatan untuk menyelenggarakan kuliah umum internasional di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat.
Dalam kuliah umum ini, Presiden Open Society Foundations Christopher Stone hadir dan menyampaikan beberapa informasi terkait pengalaman negara-negara lain dalam reformasi sistem hukum. Chris yang merupakan ahli hukum pidana dan mantan Guggenheim Professor di Harvard University menyatakan bahwa tidak ada sistem peradilan pidana yang sempurna. Sistem peradilan pidana di negara manapun memiliki kekurangan. Untuk itulah reformasi perlu terus dilakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam sistem tersebut.
“Setiap kali kita melakukan reformasi untuk memperbaiki sistem peradilan pidana, percayalah bahwa perubahan yang kita lakukan pada suatu waktu tidak akan berjalan seperti yang kita harapkan. Akan tetap ada berbagai kekurangan di dalamnya. Untuk itulah, sistem peradilan pidana perlu untuk direformasi secara terus menerus,” ujar Chris.
Apa yang diucapkan Chris, menurut Yayasan Tifa, memang benar adanya.
Pada dasarnya sistem peradilan pidana di setiap negara tidak sama. Hal ini karena keadaan dan kondisi antara satu negara dan negara lainnya pun berbeda.
Meski begitu, dalam melakukan perbaikan sistem peradilan pidana, ada hal-hal yang bisa dipelajari dari pengalaman negara lain yang memiliki sistem peradilan serupa atau pernah berada dalam kondisi atau permasalahan serupa. Dengan begitu, negara tersebut akan terbantu dalam membentuk sistem peradilan pidana yang sesuai dengan kondisi mereka.
Hal lain yang krusial dalam reformasi sistem peradilan pidana adalah, baik pemerintah dan masyarakat perlu memahami bahwa penegakan hukum adalah kunci.
Seperti dijelaskan Chris, tujuan utama penegakan hukum adalah untuk mencapai keadilan. Untuk itu, setiap individu harus terlebih dahulu memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan keadilan.
John Rawls, seorang filsuf asal Amerika Serikat, mengartikan keadilan sebagai kejujuran (justice as fairness). Menurut Rawls, keadilan tercipta saat setiap orang atau warga negara mendapatkan hak yang sama dari keseluruhan sistem sosial dalam mendapatkan kebebasan paling hakiki yang ditawarkan pada manusia.
Lebih lanjut, Chris mengatakan, kebijakan publik adalah sebuah regulasi yang dibuat untuk mengatur setiap orang. Merujuk pada pengertian kebijakan publik itu, dapat disimpulkan bahwa keadilan juga dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah atau negara dalam melihat, mendengarkan, dan merespon berbagai tuntutan serta keluhan setiap individu melalui kebijakan publik yang dibuatnya.
“Setelah memahami apa itu keadilan, diharapkan kita dapat mewujudkan prinsip keadilan sebagai kejujuran. Pastikan secara spesifik bagaimana reformasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Dengarkan setiap individu untuk mewujudkan justice. Hal inilah prinsip utama dalam refromasi sistem peradilan pidana,” ungkap Chris.
Belajar dari Cina
Mereformasi sistem peradilan pidana secara keseluruhan memang bukan pekerjaan mudah. Sebuah negara perlu melakukan semacam percobaan skala kecil terlebih dahulu. Ini diperlukan agar sistem baru tersebut sudah cukup kuat dan baik saat diterapkan secara luas.
Salah satu hal yang bisa dilakukan, yakni dengan melakukan eksperimen di tingkat pemerintahan yang lebih kecil. Dalam bereksperimen, kita perlu mencoba berbagai hal. Kemudian, lihat percobaan mana yang berhasil. Teruslah melakukan pebaikan hingga melahirkan sebuah inovasi. Setelah menemukan inovasi baru, maka perubahan dapat dilakukan secara bertahap, tidak langsung dan tidak bersamaan.
Salah satu eksperimen untuk memperbaiki sistem peradilan pidana pernah dilakukan oleh Cina. Sejumlah akademisi Cina menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk melakukan percobaan kecil. Mereka memberikan empat pilihan cara kepada para tersangka kasus pidana dalam menjalankan proses pemeriksaan – pemeriksaan secara tradisonal, pemeriksaan dengan didampingi pengacara, pemeriksaan dengan menggunakan perekam suara, atau pemeriksaan dengan menggunakan perekam video.
Pada awalnya, banyak tersangka yang memilih didampingi seorang pengacara pada saat menjalani proses pemeriksaan. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka lebih memilih agar proses pemeriksaan dilakukan dengan direkam oleh kamera video. Setelah diujicobakan selama bertahun-tahun, hasil percobaan ini lalu dipresentasikan dan diinformasikan kepada jajaran penegak hukum Cina yang lebih tinggi. Kini, proses investigasi dan pemeriksaan tersangka di Cina dilakukan dengan perekaman video.
“Metode ini pada akhirnya diberlakukan pada semua kasus yang serius dan bahkan sampai ke daerah terpencil. Lebih hebatnya lagi, eksperimen ini dilakukan dengan menanyakan pilihan tersebut kepada tersangka, bukan kepada ahli ataupun masyarakat. Ini adalah model yang paling demokratis dalam mereformasi peradilan pidana,” ujar Chris.
Indonesia bisa belajar dari model eksperimen yang dilakukan oleh Cina. Kita dapat memulainya dari tingkat pemerintahan terendah dan mencoba menjalankannya selama beberapa waktu. Lambat laun jika berhasil, inovasi ini dapat digulirkan ke wilayah lain, bahkan hinggal ke tingkat yang lebih tinggi di level nasional.
Yayasan TIFA bersama dengan mitra melakukan dan mendukung kerja-kerja pemantauan dan penegakan hukum serta peradilan di Indonesia terutama bagi kelompok minoritas