Pembakaran masjid, penangkapan demonstran damai, pelarangan liputan media asing di Papua, dan eksekusi mati terpidana narkoba hanyalah sebagian dari tantangan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Lalu, bagaimana Indonesia berjalan ditengah tantangan ini?
Sebagai negara yang demikian pluralistik, beragam, dan besar, isu HAM bukanlah hal baru bagi Indonesia. Bahkan belakangan, isu HAM di Indonesia justru semakin mencuat.
Dalam World Report 2016 dari Human Rights Watch, di tahun 2015, tidak terdapat perubahan kebijakan signifikan terkait HAM yang dihasilkan pasangan Jokowi-JK sejak terpilih. Ini berbanding terbalik dengan kondisi sarat konflik dan intoleransi yang justru semakin marak.
Bulan Mei 2015 lalu misalnya, atas desakan berbagai pihak termasuk di tingkat internasional, Presiden Joko Widodo (Joko Widodo) mencabut pembatasan akses media asing ke Papua yang sudah berlangsung lama. Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah langkah terobosan.Namun sayangnya, tak banyak tindak lanjut dari pernyataan ini sehingga membuka peluang sejumlah pejabat pemerintah untuk menentang aturan tersebut tanpa konsekuensi apapun.
Pada bulan Agustus 2015, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua untuk mengusut sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Bumi Cendrawasih dalam 50 tahun terakhir. Sayangnya, rencana tersebut dibiarkan tanpa rincian jelas.
Isu HAM di Indonesia yang juga mendapat sorotan dunia Internasional adalah eksekusi mati. Pada tahun 2015 lalu, pemerintahan Jokowi mengeksekusi mati 14 bandar narkoba. Sebagai respon atas tindakan presiden, pada Januari 2015, Pemerintah Brazil dan Belanda menarik duta besar mereka dari Indonesia setelah warga dua negaranya dieksekusi mati karena terlibat kejahatan narkoba. Australia juga menarik duta besarnya setelah Indonesia mengeksekusi dua warga Australia terpidana kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada 29 April.
Senada dengan meningkatnya kasus pelanggaran HAM, dalam hal kebebasan beragama, kasus intoleransi juga semakin terlihat sepanjang tahun 2015 dan 2016. Salah satu kasus yang cukup besar adalah pemberian label sesat pada penganut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pengadilan Banda Aceh memvonis pemimpin Gafatar dan lima anggotanya dengan pasal penistaan agama dan hukuman penjara selama tiga hingga empat tahun. Diskriminasi ini berakibat pada hancurnya aset dan hak ekonomi para eks Gafatar.
Pada 17 Juli 2015, kelompok Kristen militan Papua meminta sebuah masjid di Kabupaten Tolikara, Papua, tak menggunakan pengeras suara saat sholat Idul Fitri. Karena permintaah itu tidak diindahkan, kemudian kelompok tersebut membakar masjid dan sejumlah kios milik warga muslim. Pada tragedi ini, tindakan represif aparat keamanan membunuh satu dan melukai 11 orang.
Kasus-kasus di atas belum termasuk kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum juga terselesaikan, kasus kematian aktivis HAM Munir misalnya. Aktivis dan pegiat HAM masih terus mendorong agar dokumen Tim Pencari Fakta kasus Munir dibuka ke publik.
Dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tingkat Aceh telah berhasil dibentuk pada Agustus 2016. Terbentuknya KKR Aceh tingkat provinsi ini merupakan langkah awal penyelesaian sejarah panjang konflik dan kekerasan di Aceh. Meski telah terbentuk, tugas rumah pemerintah belum selesai dan masih perlu membuat petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang akan memandu KKR melaksanakan kerja-kerja mereka.
Selain kasus Munir dan Aceh, masih banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang antri untuk diselesaikan. Meski Pemerintah Jokowi-JK telah menjanjikan dalam nawacitanya bahwa hal ini akan mejadi prioritas dalam kepemimpinan mereka,namun, usaha-usaha pemerintah menyelesaikan kasus ini masih terlihat lambat.
Mencegah Pewarisan Kasus
Pada awal November 2016 ini, Presiden Open Society Foundation Chris Stone berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan ini, ia sempat menghadiri diskusi yang membahas berbagai isu terkait HAM, ketimpangan ekonomi, dan isu terkini lainnya di Indonesia.
Dalam kesannya, Chris menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang paling terbuka dan demokratis di wilayah Asia Tenggara. Banyak pihak yang berusaha dan bekerja keras untuk mempromosikan demokrasi, masyarakat terbuka, dan keadilan di masyarakat.
Memiliki masyarakat yang plural, beragam, dan besar seperti Indonesia, tantangan terhadap aspek-aspek HAM semakin nyata. Dengan kondisi seperti itu, konflik dan gesekan di tengah masyarakat tentunya bukan keanehan. Untuk bisa mencegah konflik berkembang besar dalam masyarakat yang majemuk diperlukan sebuah kepercayaan diri dan keinginan untuk mendengar dan saling memahami.
Agar konflik dan intoleransi tidak semakin berkembang, kemampuan dan kesadaran bahwa Indonesia merupakan bangsa majemuk perlu digaungkan kembali di kalangan generasi muda. Generasi ini tumbuh di tengah kepungan teknologi dan informasi dan mengikuti perkembangan terkini. Sayangnya, kepungan informasi dan akses yang luar membuat generasi ini cenderung mudah terdistraksi. Untuk itu, memberikan pemahaman berulang mengenai makna perlindungan HAM dan kebinekaan kepada mereka perlu dilakukan.
Momen peringatan hari HAM Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember bisa menjadi waktu tepat bagi berbagai kalangan untuk kembali menilik dan saling mengingatkan bahwa masih banyak kerja-kerja yang perlu dieksekusi terkait perlindungan HAM. Jangan sampai kasus-kasus yang lalu pun terbengkalai dan kembali menjadi warisan anak cucu kita.
Yayasan TIFA dan mitra berkomitmen untuk mendukung kerja-kerja penegakan HAM di Indonesia dan penuntasan kasus pelanggaran HAM