Potensi Politik Uang di Balik Kenaikan Dana Bantuan untuk Parpol

Dana bantuan keuangan dari Negara untuk partai politik (parpol) naik dari Rp. 108,- per suara menjadi Rp. 1.000,- per suara, meroket hingga seribu persen. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut kebijakan itu dilakukan untuk mencegah parpol main proyek.

Kebijakan menaikkan anggaran bantuan bagi parpol merupakan mandat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik yang ditandantangani Presiden Joko Widodo pada 4 Januari 2018. Meski niat baik pemerintah patut diapresiasi, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo mengatakan, keputusan itu perlu dibarengi dengan pembentukan mekanisme akuntabilitas yang memadai dan komitmen transparansi dari partai politik. “Mekanisme dan komitmen itu penting sebab sebelum dana bantuan untuk parpol naik, praktik korupsi dan politik uang sudah tinggi,” ucapnya.

Hasil Survei Pemahaman Masyarakat Terhadap Integritas Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2015 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, 75 persen masyarakat mengetahui adanya peristiwa politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada). KPK juga menemukan, 43 persen dari responden tetap menerima hadiah atau pemberian dari peserta pemilu, meski tidak akan memilih orang tersebut.

Sejak tahun 2011 hingga Juni 2017, ada 423 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. Sementara itu, sejak 2004 sampai 2007, sudah ada 18 gubernur dan 60 bupati/walikota dan wakilnya yang terlibat korupsi.

Sumber: KATADATA

Merujuk pada temuan-temuan tersebut, Darmawan menekankan, jika tidak ada mekanisme akuntabilitas dan transparansi, kenaikan dana bantuan untuk parpol berpotensi semakin menyuburkan praktik korupsi, politik uang, dan penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan politik pejabat publik. “Kalau tidak ada sistem yang dapat memastikan akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana parpol, semakin tinggi nanti kasus korupsi dan money politics,” jelasnya.

Berkaca pada potensi masalah yang mungkin ditimbulkan dengan naiknya dana bantuan untuk parpol tersebut, Yayasan Tifa pun memberikan dukungan kepada Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) untuk mengenali pola atau modus politik uang di Tanah Air melalui penelitian dan penyusunan peta jalan politik uang dalam pilkada dan pemilu.

Peneliti SPD Erik Kurniawan mengatakan, dalam penelitian tersebut, SPD akan mencari tahu, salah satunya, apakah musim panen berpengaruh pada politik uang saat penyelenggaraan pemilu. “Biasanya, politik uang pada saat panen raya tidak mempan, namun apabila waktu penyelenggaraan berbarengan dengan masa paceklik maka politik uang tumbuh subur. Pola seperti ini yang ingin kami lihat,” tuturnya.

Setelah mengindentifikasi pola-pola tersebut, SPD akan memberikan rekomendasi terkait strategi efektif yang dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mencegah terjadinya praktik politik uang.

Saat ini, setelah melalui serangkaian diskusi terfokus di Jawa Timur dan Lampung bersama akademisi, perwakilan Bawaslu, masyarakat sipil, dan media, penelitian peta jalan politik uang dalam pilkada dan pemilu yang dilakukan SPD sudah memasuki tahap penulisan awal hasil penelitian.

“Rencananya, awal Mei draft penelitiannya selesai dan diharapkan penelitian peta jalan politik uang ini jadi strategi jitu Bawaslu untuk mengikis praktik politik uang di Tanah Air,” pungkas Erik.