Polusi Plastik, Marjinal Tercekik

Memperingati Hari Lingkungan Internasional – 5 Juni 2025
#BeatPlasticPollution

Polusi Plastik: Konsekuensi dari Industri yang Tidak Terkendali

Plastik (polimer sintetik buatan manusia) pertama kali dikembangkan sejak pertengahan 1800-an, beriringan dengan Revolusi Industri. Ia diciptakan dengan tujuan mulia: menggantikan bahan alami (yang selama itu diekstraksi berlebihan) dengan material yang ringan, kuat, tahan lama, murah, dan dapat diproduksi massal.  

Namun, keunggulan itu menjadi bumerang. Dalam ekonomi modern yang digerakkan oleh kecepatan dan efisiensi, plastik menjadi pilihan utama. Konsumsi meningkat tajam, sementara sifatnya yang tidak mudah terurai menjadikannya ancaman lingkungan jangka panjang. Butuh ratusan tahun hingga plastik benar-benar terurai.  

Menurut data OECD, dunia diproyeksikan mengonsumsi 516 juta ton plastik pada 2025, bahkan bisa mencapai 1,2 miliar ton pada 2060. Limbah ini menyebar ke tanah, udara, air, hingga tubuh manusia. Limbah plastik ditemukan dari Palung Mariana hingga puncak Everest, plastik mikro dalam perut ikan hingga pembuluh darah, paru-paru, otak manusia bahkan Air Susu Ibu (ASI)

Baca: World Environment Day

Dampak di Indonesia: Sudah Timpang, masih Bergelimpang Polusi 

Indonesia kini tercatat sebagai penghasil polusi plastik terbesar ketiga di dunia. Masalahnya tidak hanya berhenti pada jumlah konsumsi dan limbah, tetapi juga menyentuh ketimpangan struktural yang memperparah dampaknya. 

Baru-baru ini, viral sebuah kasus industri tahu rumahan di Sidoarjo yang menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar. Praktik ini menghasilkan polusi udara beracun yang tak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berisiko tinggi masuk ke dalam makanan yang diproduksi. Industri semacam ini tumbuh karena realitas ekonomi: bahan bakar alternatif lebih murah daripada sumber energi bersih. 

“Sulit mendapatkan kayu dengan harga terjangkau,” ujar Gufron (Produsen). 

Baca: Dilema Pengusaha Tahu Rumahan, Pakai Limbah Plastik Sebagai Bahan Bakar Produksi 

Di sini kita bertanya: apakah regulasi kita cukup kuat dan adil untuk melindungi mereka yang terdampak, sekaligus memberi ruang hidup bagi pelaku usaha kecil? 

Kemiskinan dan Konsumsi 

Lebih dari 50% limbah plastik sekali pakai global dihasilkan oleh perusahaan besar, terutama industri barang konsumsi cepat habis (FMCG). Audit oleh Break Free from Plastic (BFFP) yang menganalisis lebih dari 330.000 potong sampah plastik di 40 negara menunjukkan dominasi merek-merek besar—yang juga mendominasi pasar Indonesia. 

Plastik murah memang memudahkan distribusi, tapi di sisi lain, ia menjebak konsumen kelas bawah dalam ekosistem konsumsi berisiko tinggi, yang merugikan lingkungan mereka sendiri. Di sinilah ketimpangan akses dan informasi menjadi lubang besar dalam sistem kita. Warga yang paling minim pilihan justru menjadi kelompok yang paling terdampak. 

Sudah Ada Aturan, Bagaimana dengan Penerapan? 

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerbitkan Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Namun, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaannya masih lemah. Tak banyak masyarakat yang tahu apakah produsen benar-benar taat, dan sedikit ruang yang tersedia bagi publik untuk mengawasi. 

Solusi yang dilakukan produsen selama ini pun dinilai kurang tepat dan dapat berpotensi menghasilkan masalah baru yang sifatnya destruktif atau merusak. 

“… Publik harus menekan agar produsen menaati aturan ini dengan beralih dari produksi produk plastik sekali pakai menuju sistem pengiriman produk yang dapat diguna ulang atau diisi ulang. Produsen jangan berdalih menjadikan daur ulang sebagai cara pengurangan sampah plastik, terutama daur ulang yang menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada lingkungan, seperti plastic to fuel atau daur ulang kimia lainnya,” jelas Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL. 

Saat masyarakat tak diberi informasi, tak dilibatkan, dan tak dilindungi dari praktik yang merusak, di mana letak prinsip keterbukaan dan keadilan? 

Lihat infografis selengkapnya di: Polusi Plastik, Marjinal Tercekik 

Polusi butuh Solusi Bersama 

#BeatPlasticPollution bukan hanya ajakan bersih-bersih plastik. Ini adalah ajakan untuk: 

  • Mengakhiri praktik industri yang tidak bertanggung jawab,
  • Memastikan regulasi berjalan adil dan transparan,
  • Membuka akses bagi warga untuk terlibat dan dilindungi, dan
  • Menjamin hak dasar atas udara bersih, air sehat, dan makanan aman

Saat plastik mencemari tubuh dan lingkungan hidup kita, ia tak hanya meninggalkan polutan—ia meninggalkan ketidakadilan.

#KitaMasyarakatTerbuka 
Karena dalam masyarakat terbuka, polusi bukan hanya soal lingkungan. Ia adalah soal hak untuk hidup sehat, adil, dan bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *