Politik Elektoral Harus Bersih Agar Tak Jadi Gincu Demokrasi

Masyarakat di 171 daerah di Tanah Air pada tanggal 27 Juni 2018 akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Pada saat yang sama, proses politik menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2019 juga dimulai.

Merespon dua peristiwa besar tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil peduli demokrasi, termasuk Yayasan Tifa, pun menyerukan agar proses elektoral yang bersih senantiasa dikedepankan. Sebab, proses politik elektoral yang bersih adalah instrumen yang efektif bagi warga untuk melakukan koreksi dan mendorong perubahan atas kebijakan atau keputusan politik yang dinilai salah. Jika tidak, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo menilai, maka politik elektoral hanya akan berfungsi sebagai gincu demokrasi.

“Jika mekanisme ini diciderai oleh praktik-praktik buruk dan penyimpangan, seperti korupsi dan maraknya konflik kepentingan dalam tubuh lembaga penyelenggara pemilu, maka politik elektoral hanya akan berfungsi sebagai gincu demokrasi,” tuturnya.

Darmawan menambahkan, jika itu terjadi, politik elektoral hanya akan menjadi rutinitas kosong karena tidak akan mampu membuat warga pemilih menjadi berdaulat atas proses yang mereka jalani.

Untuk menghindari hal tersebut, Yayasan Tifa pada tahun politik ini pun memfokuskan kerjanya, salah satunya, pada upaya mendorong organisasi masyarakat sipil untuk berperan aktif mewujudkan politik elektoral yang bersih. Setidaknya, ada empat agenda yang coba didorong oleh Yayasan Tifa antara lain mencegah korupsi politik dan penggunaan politik uang, mendorong akuntabilitas dan transparansi penyelenggara pemilu, meredam penggunaan ujaran dan hasutan kebencian terhadap kelompok minoritas, dan menjaga netralitas militer dan kepolisian dalam proses pemilu.

Simak seruan bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Bersih selengkapnya di siaran pers di bawah ini.


Seruan Bersama

Politik Elektoral yang Bersih dan Demokratik untuk Pilkada, Pilpres, dan Pileg

Bilik Suara. (Ilustrasi: Istimewa)

Pada Juni 2018, kita akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] serentak di 171 daerah, dan pada saat yang bersamaan menjalani proses politik menjelang Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada tahun 2019. Politik elektoral ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada warga pemilih [citizen voters] untuk menagih akuntabilitas dari para wakil dan pemimpinnya, namun juga peluang untuk memprkokoh pelembagaan demokrasi di Indonesia. Namun, perhelatan politik elektoral ini tidak akan menjadi instrumen yang efektif bagi demokratisasi jika integritas proses dan pengelolaannya dinodai oleh berbagai praktek buruk yang terus-menerus berlangsung, khususnya:

  • Politisasi SARA
  • Kriminalisasi lawan politik
  • Penyebaran berita bohong, ujaaran kebencian, dan intimidasi
  • Tidak netralnya aparatur negara (Polisi, TNI, ASN, PNS, Intelijen) maupun penyelenggara Pemilu [KPU dan Bawaslu];
  • Praktik politik uang dan penyuapan;
  • Pemalsuan dokumen dan manipulasi prosedur penyelenggaraan pilkada, pilpres dan pileg

Mengingat seriusnya ancaman dari praktek-praktek buruk tersebut, kami menyampaikan seruan sebagai berikut:

  1. Masyarakat sebagai warga pemilih harus mengambil peran untuk secara aktif memantau dan mengawal berlangsungnya politik elektoral agar berjalan selaras dengan prinsip supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagai pemilih yang bertanggung jawab, masyarakat diharapkan ikut memikirkan masa depan bangsa ini dengan memilih pemimpin yang menghargai demokrasi, menerima dan merawat keberagaman, mendukung pemberantasan korupsi, dan tidak mengedepankan identitas kesukuan dan agama.
  2. Aparat negara, khususnya TNI dan Polri, maupun intelijen harus netral dan profesional. Kapolri dan Panglima TNI harus memastikan setiap calon Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri tidak menggunakan kekuatan, sumber daya, jejaring teritori TNI/Polri dalam kontestasi Pilkada. Tindakan yang tegas, terbuka dan transparan harus dilakukan terhadap anggota TNI/Polri yang terbukti berpolitik praktis dan atau memberikan dukungan [terbuka atau diam-diam] kepada calon tertentu. Hal ini ini harus diwujudkan dengan independensi dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Di sisi lain, para birokrat, khususnya para petahana yang akan maju lagi dalam kontestasi politik tidak boleh menggerakan Aparat Sipil Negara [ASN] serta memanfaatkan fasilitas negara untuk menggalang suara.
  3. Para kontesntan yang akan bersaing dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres harus tunduk pada aturan main yang berlaku dan tetap memperhatikan nilai-nilai etika. Praktik kampanye kotor dan tidak bermartabat dengan mempolitisasi suku, agama, ras, dan antar golongan [SARA] guna mendulang suara; mengadu domba dan memecah belah masyarakat dengan menyebarkan kebencian dan berita bohong; dengan sengaja menerjang aturan dan menabrak nilai kepantasan, kesopanan, kerukunan, dan keharmonisan, tidak boleh dilakukan.
  4. Para tokoh agama hendaknya mendorong umat agar tetap bersaudara satu-sama lain meskipun pilihan politiknya berbeda-berbeda. Saat  agama sering dipolitisasi seperti sekarang ini, agama benar-benar direndahkan  karena hanya dijadikan sarana untuk mendulang suara dan alat meraih kemenangan. Dalam keadaan seperti ini, para tokoh agama  bertugas untuk mengembalikan kedaulatan  agama, sebagai pencerah, pendamai, pemegang otoritas moral, dan pengkritik terhadap hal-hal  yang merendahkan martabat kehidupan dan memecah belah bangsa. Tokoh agama bertugas  membuat politik mempunyai nilai dan benar-benar menjadi sarana untuk membangun kesejahteraan bersama.
  5. Partai Politik sebagai salah satu mesin demokrasi untuk secara serius menjaga marwah demokrasi yang merupakan amanat serta cita-cita reformasi. Di dalam negara demokrasi, sudah semestinya partai politik tidak memberikan ruang bagi anggota TNI dan Polri yang masih aktif untuk melakukan langkah-langkah politik dalam Pilkada. Pembiaran atas langkah-langkah anggota TNI dan Polri merupakan bentuk kemunduran reformasi sektor keamanan yang menjadi agenda dari reformasi 1998.
  6. KPU dan Bawaslu melakukan pengawasan atas potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyimpangan fasilitas jabatan dan tindakan-tindakan pelanggaran hukum lainnya. Penyelenggara pemilu harus benar-benar berpegang teguh norma dan aturan hukum yang berlaku serta tidak terpengaruh, baik oleh tekanan atau intimidasi dari pihak-pihak yang ingin menceredai pesta demokrasi.
  7. Lembaga – lembaga independen negara yang memiliki mandat untuk melakukan tugas dan fungsinya di bidang pengawasan, pemantauan, dan perlindungan seperti Komnas HAM, ORI, Kompolnas memaksimalkan mandat dan kewenangannya dalam pencegahan dan penanganan terjadinya kerawanan Pilkada serentak yang dapat merugikan hak – hak warga negara dan potensi penyalagunaan kewenangan lembaga negara. Dalam hal ini KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] juga tetap harus berani membuka dan menangkap para calon kepala daerah yang bermasalah dalam kasus korupsi.

 

Jakarta, 25 Maret 2018

 

YLBHI, KontraS, Imparsial, Perludem, Kode Inisiatif, Yayasan Pulih, Komisi Kerawaman KWI, Setara Institute, Yayasan TIFA, Ma’arif Institute, Jaringan Antar Iman Indonesia, LBH Jakarta, ELSAM, HRWG, SEJUK, Interfidei, IKOHI, PBHI, Fahmina Institute Cirebon, LAPAR Makasar, LK3 Banjarmasin.

Bagikan artikel ini