Perppu Ormas: Jalan Pintas yang Membahayakan Demokrasi

Jakarta, 18 Juli 2017 – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2017, tentang Perubahan atas Undang-undang (Perppu) nomor 17 tahun 2013, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dirilis  baru-baru ini bisa digunakan sebagai alat represi negara terhadap kebebasan berorganisasi sekaligus pengabaian terhadap hukum dan demokrasi.

Pekan lalu (12/07/2017), Menkopolhukam Wiranto mengumumkan dirilisnya Perppu Ormas dengan tujuan melindungi bangsa dari ancaman ideologis, terutama yang bertentangan dengan asas Pancasila dan UUD 1945. Perppu ini juga dimaksudkan untuk melengkapi undang-undang ormas yang dinilai tidak memadai.

Sebagai lembaga yang bekerja dalam isu-isu penguatan hak minoritas, pelanggaran ham masa lalu, serta akses keadilan bagi masyarakat marjinal, Yayasan Tifa menilai Perppu ini merupakan sebuah kemunduran dalam demokrasi dan bibit dari otoritarianisme.

“Terlepas dari niat awal pembuatannya, dalam jangka panjang, Perppu ini merupakan cek kosong bagi negara untuk merepresi organisasi warga yang tidak mereka sukai dengan label ‘Anti Pancasila’,” ujar Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa.

Beberapa lembaga masyarakat sipil yang merupakan mitra Yayasan Tifa seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 15 kantor LBH se-Indonesia serta AJI Indonesia menyatakan menolak dirilisnya perppu ini, dan Yayasan Tifa mendukung sepenuhnya pernyataan tersebut.

Dalam UU Ormas, tahapan pembekuan sebuah ormas yang dianggap meresahkan harus diawali dengan peringatan tertulis hingga tiga kali, penghentian bantuan dan atau hibah, penghentian sementara kegiatan dan atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum melalui pengadilan.

Dengan adanya Perppu Ormas ini, negara dapat secara langsung membekukan atau membubarkan sebuah lembaga masyarakat yang dianggap memiliki ideologi bertentangan dengan Pancasila, tanpa pengawasan ataupun proses peradilan.

Menurut Darmawan, ancaman organisasi intoleran telah terlihat sejak lama. Jika pemerintah antisipatif, mereka cukup punya waktu untuk menerapkan due process dengan tertib sesuai dengan UU Ormas. Namun kesadaran akan ‘bahaya’ ormas intoleran baru muncul sekarang, sehingga pemerintah merasa terjepit waktu, serta tidak yakin untuk mampu menjalani keseluruhan proses secara paripurna. Maka, diciptakanlah Perppu ini sebagai jalan pintas. “Ini akibat dari rezim pemerintahan yang menerapkan demokrasi rabuh jauh (myopic democracy) yang tidak menghitung dampak jangka panjang dari kebijakan yang dibuatnya dengan baik,” tambah Darmawan.

Yayasan Tifa menyayangkan langkah yang telah diambil oleh pemerintah Joko Widodo-JK ini. Jika ada kekurangan dalam undang-undang yang ada, sejatinya diadakan revisi atas undang-undang tersebut. Dirilisnya perppu yang memberi kuasa untuk membubarkan organisasi massa tanpa due process dan check and balance adalah sebuah langkah mundur dan tindakan yang bisa membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia.