Perlindungan Lemah, Kasus Buruh Migran Makin Tinggi

Buruh migran dipromosikan sebagai pahlawan devisa oleh Negara. Hanya saja, kisah para buruh migran acapkali diwarnai kepiluan dan kisah tragis seperti tak menerima pembayaran, menjadi korban penganiayaan, bahkan sampai kehilangan nyawa. Mengapa demikian?

Terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan di tanah air memaksa masyarakat untuk menguji peruntungan di luar negeri. Sayangnya, lemahnya perlindungan dari sistem tata kelola migrasi di dalam negeri mempersulit posisi para buruh migran Indonesia di negara penempatan.

Menurut Jaringan Buruh Migran (JBM) yang merupakan konsorsium dari 28 organisasi yang bergerak di isu perlindungan buruh migran, sistem tata kelola migrasi saat ini belum maksimal, baik dari tingkat desa hingga pusat. 70 persen masalah yang dialami buruh migran masih bermuara dari permasalahan yang ada dalam negeri.

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani mengatakan, hal itu berakibat pada makin tingginya kasus yang menimpa buruh migran, khususnya buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik. “Dari data BNP2TKI selama 2017 menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kasus buruh migran tidak berdokumen,” ungkapnya seperti dinyatakan dalam siaran pers JBM.

Tak hanya itu, berdasarkan data yang dihimpun JBM dari Kementerian Luar Negeri, sepanjang tahun 2014 hingga tahun 2017, ada lebih dari 7.300 kasus overstay (melewati batas waktu izin tinggal), seribu lebih kasus tindak pidana perdagangan orang, dan 1.700-an kasus pembayaran gaji yang tidak dipenuhi.

Tuntutan JBM di Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018. Foto: Savitri Wisnuwardhani

Bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2018 lalu, JBM pun menagih komitmen Negara untuk melindungi dan memenuhi hak buruh migran Indonesia, termasuk Anak Buah Kapal (ABK), dan pekerja sektor domestik memperoleh hidup, kerja, dan upah layak seperti diatur dalam Konvensi ILO 189 dan Konvensi 188 mengenai Perlindungan Anak Buah Kapal Ikan. Namun hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi konvensi-konvensi tersebut.

Selain itu, JBM juga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan menyelesaikan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) di tingkat daerah.

Lebih lanjut, Bobby Alwy, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang merupakan bagian dari konsorsium JBM, juga menyoroti perjanjian bilateral untuk menjamin perlindungan terhadap buruh migran, termasuk perjanjian bilateral dengan Malaysia yang sekarang sudah kadaluwarsa. Bobby menegaskan, perjanjian bilateral seharusnya mencakup kondisi kerja layak agar tidak terjadi kasus kerja paksa, kasus perdagangan orang, pelecehan seksual bahkan perkelahian yang mengakibatkan buruh migran atau majikan meninggal dunia.

“Contoh kasus Daryati buruh migran asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya, ini diduga kuat penyebabnya adalah kondisi kerja yang buruk,” ungkap Bobby seperti dikutip dari siaran pers JBM.

Selain menuntut pemerintah meratifikasi konvensi internasional dan mengesahkan rancangan undang-undang, JBM juga meminta pemerintah untuk memastikan agar layanan migrasi yang telah ada khususnya di daerah harus menjamin akses bagi para calon buruh migran, bebas pungli, transparan, dan non-diskriminatif.

Program Officer Yayasan Tifa Bidang Kesetaraan dan Keadilan Syafirah Hardani mengatakan, Yayasan Tifa selama ini mendukung kerja-kerja JBM dalam advokasi UU PPMI untuk memastikan agar rekrutmen dalam negeri memenuhi standar yang tercakup dalam Konvensi ILO 189.

Syafirah menambahkan, “Karena, di UU sebelumnya, mekanisme perlindungan buruh migran masih lemah. UU PPMI yang baru telah memasukkan Kovensi 189 menjadi konsideran. Harapannya, implementasi UU PPMI ini akan membentuk mekanisme rekrutmen buruh migran yang lebih baik yang akan berlanjut pada meningkatnya perlindungan terhadap buruh migran.”

Hal ini sejalan dengan nilai keadilan dan kesetaraan yang di usung oleh Yayasan Tifa, di mana setiap warga negara berhak mendapatkan akses yang sama terhadap perlindungan hukum dan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan. Harapannya, melalui dukungan yang diberikan Yayasan Tifa terhadap JBM, pelaksanaan UU PPMI ini akan konsisten dengan klausul yang tercakup dalam standar internasional sehingga perlindungan terhadap buruh migran dapat maksimal dan buruh migran yang terlibat kasus semakin berkurang jumlahnya.