Peran Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Akses Terhadap Keadilan dan Bantuan Hukum

Oleh: Donny Ardyanto

Agenda akses terhadap keadilan sudah ditetapkan sebagai agenda nasional dengan diterbitkannya Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (SNAK) 2016-2019 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Bantuan hukum secara khusus masuk dalam Strategi 3 dari empat Strategi dalam SNAK, yaitu “Memperkuat Akses Keadilan pada Bantuan Hukum”, yang kemudian diperinci dalam 4 Program: (1) Program perbaikan kebijakan bantuan hukum yang mengakomodasi masyarakat miskin dan kelompok rentan; (2) Program penguatan kapasitas tata kerja, administrasi penyelenggaraan, dan penguatan sistem informasi bantuan hukum; (3) Program peningkatan kapasitas dan kualitas organisasi bantuan hukum; dan (4) Program pemberdayaan masyarakat terhadap hak-hak hukum dan hak atas bantuan hukum melalui sosialisasi informasi dan pendidikan.

Sebelumnya program bantuan hukum telah diakui dan dijamin oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sejak diberlakukannya UU tersebut, Indonesia sudah memiliki 405 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), yang digawangi oleh 2,070 pengacara bantuan hukum dan 2,130 paralegal. Dari segi layanan yang diberikan, baik yang bersifat litigasi maupun nonlitigasi, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 12,000 layanan dalam kurun waktu satu tahun.

Sebagai bagian dari Strategi Nasional, perluasan jangkauan bantuan hukum juga perlu dilakukan dengan memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran bantuan hukum sesuai dengan Pasal 19 UU Bantuan Hukum, sehingga dapat berkontribusi bagi anggaran bantuan hukum nasional yang masih terbatas. Alokasi anggaran bantuan hukum pusat tahun 2016 hanya sekitar Rp. 45 milyar. Jika dihitung per kapita penduduk miskin, maka Indonesia hanya memberikan bantuan hukum senilai ±Rp 1.700,- per kapita penduduk miskin. Bandingkan dengan program bantuan hukum Afrika Selatan yang dananya mencapai 1,5 milyar Rand (Rp 1,5 trilyun) dengan jumlah penduduk miskin sekitar 22 juta jiwa (±Rp 68.000,- per kapita penduduk miskin).

Sejak diberlakukannya UU Bantuan Hukum, baru ada 13 peraturan daerah (perda) mengenai bantuan hukum tingkat provinsi dan 39 perda bantuan hukum tingkat kabupaten/kota. Secara kuantitas, ini masih jauh dari memadai untuk dapat memperluas layanan dan menjangkau seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Berdasarkan hasil Konsultasi Nasional mengenai Perda Bantuan Hukum yang diselenggarakan Yayasan Tifa bersama BPHN, BAPPENAS, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 2016, rendahnya inisiatif pemerintah daerah untuk membuat perda bantuan hukum banyak berkaitan dengan isu pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta kemauan politik pemerintah daerah.

Bantuan Hukum sebagai Kewenangan Konkuren

2239035Ilustrasi-Pengadilan780x390Meskipun sudah diatur dalam Pasal 19 UU Bantuan Hukum, masih muncul keraguan di pemerintah daerah berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah di ranah bantuan hukum ini. Keraguan ini muncul disebabkan oleh adanya anggapan bahwa bantuan hukum merupakan bagian dari 6 urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini urusan pemerintahan dalam bidang yustisi (berdasarkan Pasal 10 huruf (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Padahal dalam bagian Penjelasan dari pasal tersebut dinyatakan:

“Yang dimaksud dengan “urusan yustisi” misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.”

Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa keterlibatan pemerintah daerah dalam program bantuan hukum, tidak termasuk dalam urusan pemerintahan absolut. Dan apabila dilihat lebih mendalam, bantuan hukum dapat dimasukkan sebagai urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib dan berkaitan dengan pelayanan dasar, khususnya Perlindungan Masyarakat (Pasal 12 ayat (1) huruf e UU Pemerintahan Daerah). Sikap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai isu ini juga sudah jelas dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2017, dimana dalamnya diatur mengenai anggaran bantuan hukum dalam APBD. Meskipun demikian, tetap diperlukan sebuah produk kebijakan dari Kemendagri yang dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam membentuk Perda Bantuan Hukum dan mengalokasikan anggaran bantuan hukum dalam APBD. Dalam kerangka yang lebih strategis, program bantuan hukum ini juga harus masuk ke dalam penjelasan rinci mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota (Lampiran UU Pemerintahan Daerah).

Kemauan Politik Pemerintah Daerah

Di samping adanya hambatan berkaitan dengan keragu-raguan dalam hal kewenangan pusat-daerah, kemauan politik pemerintah daerah untuk menerbitkan Perda Bantuan Hukum juga terlihat masih rendah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman dalam melihat relasi antara agenda utama pembangunan (khususnya pemberantasan kemiskinan) dengan bantuan hukum. Sebagian Perda Bantuan Hukum merupakan implementasi dari janji kampanye pada saat kampanye pemilihan kepala daerah. Kesadaran untuk menempatkan bantuan hukum sebagai program politik ini biasanya muncul karena latar belakang pimpinan daerah yang berasal dari lingkungan organisasi masyarakat sipil, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), atau pengacara. Sementara, sebagian lagi merupakan hasil advokasi masyarakat sipil, khususnya LBH.

Oleh sebab itu, advokasi masyarakat sipil perlu terus memperkuat wacana dan argumentasi bahwa kemiskinan dan kesenjangan harus juga diatasi melalui pendekatan sistem keadilan. Akses terhadap keadilan musti disadari memiliki peran yang instrumental di dalam pembangunan dan memperkuat keberdayaan masyarakat. Dengan program bantuan hukum, masyarakat miskin dapat memperoleh akses terhadap hak-hak mereka seperti layanan publik, layanan kesehatan dan pendidikan; dan dapat mengubah kebijakan yang merugikan mereka melalui class action serta advokasi. Selain itu bantuan hukum juga dapat membantu masyarakat miskin untuk mempertahankan tempat tinggal mereka, termasuk juga membantu bernegosiasi ketika mereka mengalami penggusuran sehingga dapat memiliki posisi tawar yang lebih baik. Khusus bagi kelompok perempuan, layanan bantuan hukum secara khusus juga merupakan cara paling efektif untuk membantu perempuan miskin yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari berbagai kajian mengenai program bantuan hukum, terbukti bahwa semakin banyak layanan bantuan hukum maka akan semakin rendah angka KDRT. Bantuan hukum dapat melindungi mereka dari kekerasan labih lanjut, membantu dalam memperoleh hak asuh, serta dalam pembagian harta gono-gini, sehingga kelompok perempuan ini dapat terus membangun kehidupan mereka.

Pendekatan yang lebih bersifat top down juga dapat dilakukan untuk mendorong kemauan politik pemerintah daerah dengan mengacu pada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan 2016-2019, Agenda Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta melalui penempatan bantuan hukum sebagai urusan konkuren yang bersifat wajib bagi pemerintah daerah. Untuk itu sinergi dan koordinasi antar Kementerian dan Lembaga, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, BAPPENAS dan Kementerian Dalam Negeri, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, harus diperkuat sehingga agenda pemenuhan akses terhadap keadilan dapat segera tercapai.