Diskusi Project HEAL dalam Festival HAM 2021 “Kolaborasi Multipihak untuk Perlindungan Anak yang Inklusif dan Tangguh Pada Masa Pandemi”
Semarang, 18 November 2021 – Yayasan Tifa bersama Save The Children Indonesia, dengan dukungan Uni Eropa mendapat kesempatan berpartisipasi dalam acara Festival HAM 2021 melalui kegiatan diskusi bertema “Kolaborasi Multipihak untuk Perlindungan Anak yang Inklusif dan Tangguh Pada Masa Pandemi”. Diskusi ini adalah bagian dari upaya diseminasi informasi program HEAL yang telah diselenggarakan di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Secara garis besar, diskusi yang berlangsung secara daring dan luring di Hotel MG Setos Semarang ini bertujuan untuk menggali pemahaman akan pentingnya kolaborasi dalam pemenuhan hak-hak kelompok minoritas dan rentan, terutama anak-anak dari kelompok miskin, minoritas agama dan kepercayaan, anak difabel, dan anak perempuan.
Diskusi ini diawali dengan sambutan dari Bapak Thibaut Portevin, Head of Cooperation, European Union Delegation to Indonesia. Dalam sambutannya, Bapak Thibaut menggarisbawahi pentingnya diskusi ini bagi demokrasi dan hak asasi manusia, terutama terkait perlindungan hak anak dari kelompok-kelompok rentan. “Uni Eropa menyambut baik berlangsungnya diskusi ini karena kegiatan ini tidak hanya sejalan dengan prioritas Uni Eropa di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi juga relevan dengan upaya kami mendorong mekanisme perlindungan bagi anak-anak yang terdampak pandemi,” imbuh Bapak Thibaut.
Membuka sesi presentasi, Yayasan Tifa diwakili oleh peneliti dari HRWG, Ibu Alisya, memaparkan hasil temuan penelitian tentang pemenuhan hak-hak anak selama masa pandemi di sepuluh desa dari dua provinsi, yaitu Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini menemukan perubahan situasi dan perilaku anak-anak di kedua daerah tersebut selama pandemi. Perubahan tersebut antara lain mencakup kondisi anak yang cenderung menjadi lebih bingung dan sedih karena tidak bisa bermain ke luar rumah, dan semakin jenuh karena aktivitasnya terbatas. Tidak hanya itu, kerentanan anak di masa pandemi di dua daerah tersebut juga tercermin melalui angka putus sekolah dan perkawinan anak yang terrekam dalam penelitian. Pada kasus-kasus putus sekolah, ditemukan beragam latar belakang yang menjadi alasan, seperti tidak adanya biaya, anak yang memilih membantu orang tua untuk bekerja, serta tidak adanya gawai untuk mengikuti pembelajaran daring.
Ibu Elvi Hendrani, Asdep Perlindungan Anak Kondisi Khusus dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku pembicara kedua menekankan bahwa pemerintah Indonesia melalui segala instrumen yang dimilikinya terus berusaha untuk melindungi hak-hak anak, khususnya anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. Dalam praktiknya, pemenuhan hak ini menjadi tantangan tersendiri karena masih rawannya kelompok ini mengalami tindak-tindak kekerasan dan diskriminasi.
Indonesia sendiri, menurut pemaparan Ibu Elvi, sejatinya sudah memiliki regulasi tentang perlindungan anak yang tertuang dalam Pasal 20 UU 35 Tahun 2014. Pasal ini memandatkan negara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali untuk wajib dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dari sisi pemerintah, secara umum telah dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak melalui beragam kegiatan, seperti penyediaan sarana dan prasarana, melakukan upaya pencegahan kekerasan melalui edukasi dan koordinasi, hingga penyediaan saluran pengaduan.
Bapak Tata Sudrajat, Deputi Dampak Program dan Kebijakan Save the Children Indonesia melanjutkan sesi diskusi dengan menerangkan tentang strategi Save the Children di Indonesia dalam memastikan hak anak kelompok minoritas dan rentan terpenuhi dan mendukung kerja pemerintah. Pada paparannya, Bapak Tata menyebutkan bahwa tantangan-tantangan seperti stigmatisasi, tidak adanya akses, sensitivitas, hingga kriminalitas dapat menjadi penyebab bagi tidak terpenuhinya hak-hak anak di Indonesia. Pandemi COVID-19 membuat tantangan-tantangan tersebut semakin kompleks. Banyaknya anak yang kehilangan orang tuanya akibat pandemi ini telah meningkatkan risiko sekaligus mempersulit pemenuhan hak-hak mereka akibat adanya kekosongan peran dalam keluarga.
Menutup rangkaian paparan dalam kegiatan diskusi, dari sisi anak yang diwakili oleh Eka dari Forum Anak Kota Mataram dan Lika dari Forum Anak Kabupaten Pasuruan menambahkan bahwa penting bagi para pembuat kebijakan untuk memberikan ruang, mendengarkan langsung, serta mengajak anak-anak untuk berpartisipasi memetakan permasalahan dan kebutuhan anak di lapangan.
Yayasan Tifa sebagai organisasi yang konsisten mendorong kebijakan inklusif yang menghormati Hak Asasi Manusia dan memberikan akses keadilan bagi seluruh warga negara, mendukung sepenuhnya forum diskusi ini sebagai ruang dialog yang aman bagi semua pihak, termasuk anak dan anak muda, dalam pemenuhan HAM kelompok minoritas dan rentan. Yayasan Tifa berharap kolaborasi multipihak yang terjalin melalui kegiatan ini dapat menjadi pondasi dalam mewujudkan perlindungan anak yang komprehensif di Indonesia.
This article was produced with the financial support of the European Union. Its contents are the sole responsibility of TIFA Foundation, that implement HEAL Project with Save the Children and YLBHI, and do not necessarily reflect the views of the European Union.