Dalam sistem demokrasi, proses perencanaan dan revisi kebijakan tata ruang seharusnya melibatkan partisipasi warga. Namun, dalam praktiknya, warga sering kali tidak diikutsertakan dalam proses perencanaan tata ruang kota. Hal ini juga dialami oleh warga Kampung Sindang Anom dan pedagang di Pasar Limbangan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Garut berniat merevitalisasi Pasar Limbangan dengan menggandeng PT. Elva Primandiri, sebuah perusahaan pengembang, sebagai mitra pelaksana. Namun, pada prosesnya, warga dan pedagang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Bahkan, Basar Suryana, salah satu pedagang di Pasar Limbangan mengatakan tidak pernah mendapat informasi dari pihak pengembang tentang rencana revitalisasi pasar.
Para pedagang bertambah resah setelah pihak pengembang mengumumkan bahwa harga kios di Pasar Limbangan akan mengalami kenaikan paska revitalisasi dilakukan. Pengembang pasar mematok harga Rp 12 juta per meter untuk kios ukuran kecil dan Rp 22 juta per meter untuk kios yang lebih besar.
“Penawaran (harga) dari pengembang membuat semua pedagang merasa tercengang. Awalnya itu ditawarkan Rp 12 juta per meter. Nah, untuk kategori yang hook, itu 22 juta per meter. Nah dari situlah pedagang mulai merasa, bahwa revitalisasi pasar ini akan sangat mengganggu kemampuan si pedagang untuk membeli kios tersebut,” ungkap Basar.
Pedagang yang merasa dirugikan dan kecewa atas mahalnya harga kios pun menolak untuk menempati Pasar Limbangan paska revitalisasi. Pedagang lebih memilih menetap di pasar sementara yang terletak di seberang Pasar Limbangan. Sebagai bentuk kekecewaannya, pedagang pasar beberapa kali melakukan unjuk rasa dan memblokade Jalan Raya Limbangan yang menghubungkan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Tasikamalaya. Menurut Basar, blokade jalan dilakukan untuk menarik perhatian media nasional agar isu “perebutan” lahan di Pasar Limbangan menjadi perhatian publik.
Meski sempat diliput oleh media nasional, perubahan yang diharapkan tak kunjung terjadi. Rencana revitalisasi pasar terus berjalan. Sampai akhirnya, Basar mendapat kesempatan untuk mempelajari pengetahuan hukum di Sekolah Paralegal yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung atas dukungan Yayasan Tifa. Atas dasar pengetahuan hukum ini lah pedagang Pasar Limbangan membawa kasus ini ke ranah hukum. Pedagang menggugat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pasar ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung karena IMB diterbitkan sebelum pengembang memiliki dokumen AMDAL.
Bagaimana sebenarnya kronologi dan proses revitalisasi Pasar Limbangan? Dan, apa sajakah peran Sekolah Paralegal dan organisasi bantuan hukum dalam membantu warga dan pedagang mengatasi konflik perebutan lahan di wilayahnya?
Simak kisah Basar Suryana dan pedagang Pasar Limbangan dalam mempertahankan lahan pasar yang menjadi sumber penghidupan mereka di video dokumenter yang diproduksi oleh Yayasan Tifa dan Watchdoc Documentary Maker.