Pasal Penodaan Agama Cederai Demokrasi

Terpidana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melambaikan tangan saat tiba di rumah tahanan LP Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5/2017) (ANTARA/Ubaidillah)
Terpidana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melambaikan tangan saat tiba di rumah tahanan LP Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5/2017) (ANTARA/Ubaidillah)

Pada tanggal 9 Mei 2017 kemarin, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengadilan menggunakan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penodaan agama sebagai dasar pemberian hukuman.

Ahok bukanlah yang pertama. Ada sederet nama lain yang juga mendapat label sebagai penoda agama. Mereka adalah Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq dan kawan-kawan yang merupakan eks Pimpinan Gafatar, Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya, Yusman Roy, Mangapin Sibuea yang merupakan Pimpinan Sekte Kiamat.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, salah satu mitra Yayasan Tifa, mengecam sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang kembali menggunakan pasal 156a KUHP dalam menjatuhkan hukuman kepada masyarakat. Sebab, menurut LBH Jakarta, pasal penodaan agama merupakan ketentuan yang melanggar hak warga negara untuk menyatakan pendapat dan pikiran secara bebas seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan aturan lainnya.

Tak hanya melanggar kebebasan berekspresi, penggunaan pasal penodaan agama juga berpotensi mengancam eksistensi kelompok minoritas di Indonesia. Pasalnya, kelompok minoritas kerap kali menjadi korban kriminalisasi kelompok mayoritas karena dianggap menyalahi ketentuan agama yang dianut kelompok mayoritas seperti yang terjadi dengan kelompok Gafatar, Ahamdiyah, dan lainnya.

Bagaimana penjelasan dan sikap LBH Jakarta mengenai ancaman-ancaman yang ditimbulkan pasal 156a KUHP mengenai penodaan agama? Simak paparan selengkapnya di siaran pers berikut.


Siaran Pers

Putusan Ahok: Pasal Penodaan Agama Ancaman Bagi Kelompok Minoritas dan Demokrasi Bangsa

 

PERNYATAAN SIKAP LBH JAKARTA
Nomor: 625/SK-RILIS/V/2017

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun terhadap terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam persidangan sebelumnya, Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP dengan tuntutan penjara selama 1 tahun dan masa percobaan 2 tahun. Vonis ini menjadi pertanda mundurnya demokrasi dan negara hukum (rule of law) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Majelis hakim menggunakan Pasal 156a yang notabene merupakan ketentuan anti demokrasi yang secara jelas melanggar hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani, serta hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan berbagai aturan hukum lainnya.

Pasal 156a selama ini terbukti menjadi alasan pembenar negara dan pihak mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan dengan warga negara mayoritas sebagaimana yang menimpa Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq, dkk. (Eks Pimpinan Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (sholat bersiul), Yusman Roy (sholat mullti bahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat).

Selain itu, rumusan Pasal 156a KUHP tidak jelas, tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas legalitas, serta terlampau subjektif untuk diterapkan kepada masyarakat. Hal ini menjadikan rumusan pasal 156a bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sehingga juga mengancam prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) bagi masyarakat. Saat ini Ahok, di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim, menjadi korban. Hari kedepan bisa jadi yang menjadi korban kriminalisasi adalah individu muslim di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu atau Budha atau Kristen.

Majelis Hakim dalam putusannya juga tidak menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, uraian mens rea dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim terlalu mengada-ada dan gagal untuk dibuktikan. Majelis Hakim tidak melihat bahwa unsur menciderai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong Ahok masuk ke meja hijau. Majelis Hakim membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok seorang dan menghukumnya untuk itu. Putusan Majelis Hakim pada perkara ini justru memicu masyarakat untuk semakin giat menggunakan pasal penodaan agama yang anti demokrasi ini di kemudian hari.

Di sisi lain, Majelis Hakim juga abai dalam menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal 156a dengan sanksi pidana kepada Ahok. Ketidakpastian hukum yang coba diperbaiki oleh Mahkamah Konstitusi kembali diporak porandakan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Utara.

Dengan menghukum Ahok, dunia peradilan kembali mengulangi kegagalannya menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan yang sesungguhnya. Peradilan kembali tunduk kepada tekanan publik. Hal ini adalah preseden buruk penegakan hukum di Indonesia, seseorang bisa dihukum atas dasar tekanan publik padahal seharusnya pengadilan menjadi pihak yang independen dan hanya setia kepada nilai keadilan dan rule of law dan konstitusi. Rule of law dikorbankan serta digantikan dengan rule by mass (mobokrasi) sementara proses hukum serta fakta-fakta persidangan diabaikan.

Namun di tengah segala kebobrokan penegakkan hukum yang ada, proses hukum akhirnya tetap berjalan. Upaya hukum banding dapat menjadi langkah berikutnya yang ditempuh untuk mencari keadilan yang hakiki. Semoga pengadilan tingkat banding dan kasasi yang berada di bawah Mahkamah Agung masih bisa dijadikan rumah bagi hukum yang berkeadilan dimana masyarakat dapat menaruh harapannya akan keadilan, dan memutus rantai peradilan sesat hari ini.

Berdasarkan hal tersebut LBH Jakarta menyatakan:

  1. Putusan Majelis Hakim terhadap perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr tidaklah berkeadilan dan telah merusak hakikat hukum dan dunia peradilan yang menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan yang sesungguhnya dengan didasari oleh kepastian hukum, dan putusan Majelis Hakim juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yakni kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi, UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum serta Kovenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan UU No. 12/2005.
  2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada kasus Ahok telah tunduk pada tekanan massa atau intervensi dari ormas yang dinilai telah menggangu independensi hakim dalam memutus perkara berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan negara hukum, sehingga mengorbankan prinsip rule of law dan melegitimasi rule by mass yang dilakukan oleh massa aksi intoleran.
  3. Mendesak agar Pemerintah dan Pengadilan secara tegas menegakkan hukum sesuai dengan prinsip kepastian hukum, demokrasi, keadilan, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
  4. Mendesak Pemerintah dan DPR R.I. untuk meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini sedang berlangsung dalam pembahasan RUU KUHP di DPR R.I. dan menghapuskan pasal anti demokrasi tersebut demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia serta kepastian hukum di Indonesia.
  5. Mengajak masyarakat untuk menghargai perbedaan dan kebebasan berpendapat juga berekspresi, jika hal ini tidak kita jaga bersama maka siapa pun dan siapa saja bisa dipenjarakan semata karena berbeda pendapat atau ekspresinya dianggap melukai perasaa orang lain, sesuatu yang sulit diukur secara objektif.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, LBH Jakarta menyatakan dengan ini akan terus mengawal setiap penegakan hukum terutama bagi ‘korban’ yang kriminalisasi Pasal 156a KUHP demi tegaknya negara hukum, dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

 

Jakarta, 9 Mei 2017
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

 

Narahubung:
Alghiffari Aqsa (081280666410)
Yunita (08999000627)
Pratiwi Febry (081387400670)

Bagikan artikel ini