Mewujudkan Tata Kelola Media Sosial yang Bertanggungjawab di Asia

Topik tanggung jawab internet intermediary (perantara internet) tengah menjadi bahasan hangat dalam isu tata kelola internet. Perantara internet sendiri sederhananya dapat diartikan sebagai platform yang memfasilitasi komunikasi atau interaksi antar penggunanya melalui jaringan internet. Contoh dari perantara internet yang banyak kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah aplikasi e-commerce (lokapasar) dan media sosial. Namun, di samping gambaran sederhana tersebut, dalam perkembangannya mendefinisikan apa itu perantara internet beserta tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada mereka masih menjadi tantangan tersendiri.

Media sosial sebagai salah satu perantara internet juga telah memunculkan banyak diskursus. Salah yang menarik adalah apakah media sosial harus diperlakukan sebagai publisher atau non-publisher. Sebagai publisher, media sosial secara otomatis bertanggung jawab atas konten yang dibuat penggunanya, sementara sebagai non-publisher tanggung jawab ini masih dalam perdebatan.

Untuk itu, pada acara Southeast Asia Internet Governance Forum (SEA-IGF) 2021 yang difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Yayasan Tifa menggelar diskusi Tanggung Jawab Perantara Internet: Tata Kelola Media Sosial (publisher vs. non-publisher) di Asia. Diskusi ini menghadirkan ​​Roxana Radu (Center Associate, Oxford Media Law), Shita Laksmi (Direktur Eksekutif Yayasan Tifa), Amrita Choudhury (Direktur CCAOI, India), dan Pirongrong Ramasoota (Professor di bidang komunikasi, Universitas Chulalongkorn Thailand) sebagai pembicara. Diskusi yang berlangsung secara virtual ini dimoderatori oleh Dinita Putri, perwakilan dari Luminate.

Yayasan Tifa sebagai organisasi yang terus mendorong perbaikan akuntabilitas pengelolaan data melihat bahwa perantara internet, terutama media sosial, memainkan peran yang vital dalam ekosistem demokrasi digital. Tidak hanya sebagai sarana hiburan, media sosial telah menjelma jadi sumber informasi dan corong kebebasan berekspresi. Media sosial juga memungkinkan kita berpartisipasi dalam diskusi publik dan pengawasan kinerja pemerintahan. Namun, lain konten-konten sensitif yang menyangkut SARA, ujaran kebencian, hingga eksploitasi anak dan terorisme digital yang masih ada dalam platform ini menegaskan kebutuhan akan tata kelola media sosial yang komprehensif.

Diskusi ini dibuka dengan penjelasan dari Roxana Radu mengenai tiga hal penting terkait tanggung jawab perantara internet, terutama media sosial. Ketiga hal tersebut adalah sejarah dan perkembangan regulasi, upaya moderasi konten, dan regulasi-regulasi di Uni Eropa yang mengatur perantara internet.

Dalam melakukan moderasi, ada beberapa upaya yang selama ini menjadi praktik umum perusahaan media sosial, yaitu menggunakan kecerdasan buatan, memanfaatkan inisiatif user (pengguna) untuk menandai konten-konten yang tidak sesuai standar komunitas, dan melibatkan tenaga kerja untuk melakukan verifikasi dan menyaring secara manual konten-konten yang berbahaya. Dari sisi moderasi ini, masih perlunya perusahaan media sosial atau perantara internet untuk menyesuaikan standar komunitasnya dengan konten dan konteks lokal agar penyaringan dapat dilakukan dengan lebih baik patut lebih diperhatikan. Tidak hanya itu, praktik kerja tenaga review konten yang masih jauh dari kondisi ideal juga menjadi hal yang tidak boleh dilewatkan dalam bahasan ini.

Kembali ke tataran peraturan, jika kita menengok Uni Eropa, saat ini di sana tengah berlangsung diskusi mengenai regulasi yang mengatur layanan digital. Regulasi ini nantinya akan mendorong perantara internet untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap konten-konten yang tayang di dalam platform mereka. Bagaimana cara perantara internet memitigasi risiko dari konten-konten tersebut juga akan diaudit berdasar regulasi ini. Tidak hanya itu, aspek transparansi dalam regulasi ini nantinya juga akan mewajibkan perantara internet untuk terbuka mengenai bagaimana cara algoritma mereka bekerja.

Melanjutkan diskusi, Shita Laksmi dari Yayasan Tifa memaparkan tentang regulasi-regulasi di Indonesia yang relevan dengan isu perantara internet ini, mulai dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU ITE, dan peraturan-peraturan lainnya. Di Indonesia, perantara internet ini dapat diartikan sebagai penyelenggara sistem elektronik yang mencakup platform publik dan privat, penyedia dan pembuat konten, individu-individu, serta usaha-usaha yang menyelenggarakan bisnisnya melalui internet. Cakupan isu yang berhubungan dengan bahasan perantara internet di Indonesia sendiri juga cukup luas, mulai dari hak cipta, hoaks, penghinaan terhadap lembaga negara, sampai perlindungan data pribadi.

Setelah membahas isu dan peraturan-peraturan di Indonesia, diskusi dilanjutkan Amrita Choudhury dari India. Amrita menerangkan tentang masalah-masalah umum yang muncul seiring dengan kehidupan kita yang semakin terintegrasi dengan dunia digital. Sebagai contoh, isu-isu misinformasi, hoaks, dan berita palsu telah menjadi bagian dari isu-isu global yang mengkhawatirkan di era digital. Amrita menambahkan bahwa dengan basis pengguna internet yang cukup besar, India masih berjuang mengendalikan kekuatan perusahaan-perusahaan perantara internet yang cukup besar. Lebih jauh, dalam pengaturan tata kelola konten perantara internet dan media sosial, pemerintah di sana juga masih berupaya mendorong perusahaan-perusahaan untuk tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di India.

Seperti Indonesia dan India, Thailand menurut pemaparan Pirongrong Ramasoota juga telah memiliki regulasi yang mengatur perantara internet. Terkait dengan peraturan-peraturan yang menyasar para perantara internet, secara umum perantara-perantara internet lokal telah patuh, namun beberapa perusahaan media sosial berskala besar seperti Facebook dan Twitter cenderung memilah regulasi yang dipatuhi. Hal lain yang juga menjadi perhatian di Thailand adalah upaya penyensoran konten-konten media sosial oleh pemerintah yang masih terjadi, khususnya pada situasi konflik politik dan pandemi saat ini.

Dalam diskusi ini, secara garis besar seluruh pembicara sepakat bahwa bahasan perantara internet dan pengelolaan media sosial akan menjadi isu yang terus berkembang dan membutuhkan aksi kolektif untuk menanggapi segala tantangannya. Dibutuhkan sebuah diskusi global untuk memperjelas ruang lingkup isu perantara internet ini sebelum kita bisa merumuskan pendekatan dan langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mengelola perantara internet lebih lanjut. Memberi akses dan otoritas lebih kepada pengguna juga menjadi kebutuhan tersendiri dalam isu ini. Dengan otoritas yang memadai, di masa yang akan datang pengguna diharap bisa berpartisipasi dan berkontribusi dalam pengambilan kebijakan.

Rekaman diskusi Tanggung Jawab Perantara Internet: Tata Kelola Media Sosial (publisher vs. non-publisher) di Asia dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=6_pHK05hYNk

Bagikan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *