Silang sengkarut klaim atas kebenaran selalu terjadi dalam setiap periode sejarah, termasuk dalam masa konflik di Aceh. Oleh karena itu, mencatat pengalaman para pihak, khususnya korban, menjadi penting sebagai basis untuk meluruskan sejarah dan mencegah terulangnya konflik serupa.
Sejak berakhirnya konflik Aceh melalui Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005, kebenaran atas rentetan peristiwa kelam pada masa konflik belum sepenuhnya terungkap. Keadilan bagi para korban pun tak kunjung dapat didekap.
Kesempatan mengubah kondisi itu muncul, setelah Pemerintah Aceh melantik tujuh Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pada 24 Oktober 2016. Meski sempat terkendala, Ketua KKR Aceh Afridal Darmi mengatakan bahwa lembaganya telah memulai proses pengungkapan kebenaran salah satunya melalui pengambilan pernyataan saksi dan korban. “Perlu kami sampaikan bahwa dalam rangka pengungkapan kebenaran, KKR Aceh sedang melakukan pengambilan pernyataan kepada saksi dan korban yang berada di wilayah kabupaten/kota di Aceh,” kata Afridal.
Proses pengambilan pernyataan tak mudah. Masih banyak diantara para korban yang beranggapan bahwa hal itu hanya akan mengorek luka lama. Namun, proses itu sesungguhnya justru untuk mengobati dan mencegah luka serupa muncul lagi di kemudian hari.
Seperti dikatakan Program Officer Yayasan Tifa untuk Keadilan dan Kesetaraan Syafirah Hardani, pengambilan pernyataan korban maupun pelaku merupakan salah satu cara dalam pengungkapan kebenaran. Tanpa pengungkapan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu, masyarakat tidak dapat mengetahui narasi yang sebenar-benarnya atas peristiwa yang terjadi.
“Menyediakan narasi yang benar, salah satu tujuannya adalah untuk membuat masyarakat paham akan kehilangan, kerugian, dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa pelanggaran HAM berat. Harapannya, masyarakat akan lebih paham dan tersadarkan supaya (kejadian serupa) tidak berulang lagi,” ucapnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Yus, seorang pengambil pernyataan. Tak hanya mengungkap kebenaran dan membuat generasi muda Aceh mengerti sejarah, pengambilan pernyataan merupakan langkah awal bagi KKR Aceh mendorong Negara agar memenuhi hak-hak korban.
“(Proses) Ini bertujuan memperjuangkan hak-hak korban yang selama ini tidak diperdulikan. Biar orang juga tahu sebenarnya di Aceh ini apa yang terjadi, model pelanggaran HAM apa yang terjadi,” tutur Yus.
Mengingat pentingnya proses pengambilan pernyataan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Aceh turut mendampingi KKR Aceh agar senantiasa konsisten, serius, dan fokus dalam menjalankan tugas dan perannya sebab lembaga ini memiliki tanggung jawab moral yang besar kepada korban.
“Jika proses ini hanya berhenti pada pengambilan pernyataan dan tak ada perubahan bagi pemenuhan hak korban, kepercayaan mereka nanti hilang dan tak mau lagi beri kesaksian. Kalau sudah begitu, kebenaran akan sulit terungkap,” kata Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra.

Pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap korban merupakan hal krusial dalam menyembuhkan trauma masa lalu dan membangun rekonsiliasi dan mengembalikan harkat dan martabat korban. Untuk itu, pemerintah pusat perlu bertanggung jawab untuk turut serta menguatkan KKR Aceh sebagai mandat politiknya dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Aceh.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan, ada beberapa bentuk dukungan yang bisa diberikan oleh pemerintah pusat pada KKR Aceh. Misalnya, menurut Feri, pejabat pemerintah maupun anggota legislatif dapat memberikan dukungan kepada KKR Aceh dengan memberikan pernyataan terbuka di media massa dan membangun diskursus guna meningkatkan pemahaman publik mengenai peran dan pentingnya KKR Aceh. Dukungan politik saja tentu tak cukup. Feri berpendapat, pemerintah tetap perlu menerbitkan kebijakan yang dapat menjadi dasar hukum kerja KKR Aceh. “Kebijakan itu bentuknya bisa peraturan presiden yang diikuti dengan kebijakan turunan di tingkat kementerian seperti Kemendagri, KemenpanRB, dan Kemenkumham. Ini bisa menjadi dasar hukum dan mempermudah kerja KKR Aceh,” ujarnya.
Selain itu, lembaga kuasi negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan) juga perlu ikut memberikan dukungan dengan menerbitkan kebijakan di tingkat internal. “Misalnya, Komnas HAM membuat kebijakan yang memungkinkan adanya sharing dokumen dengan KKR mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh yang pernah mereka tangani,” kata Feri.
Yayasan Tifa sadar bahwa keberadaan KKR Aceh penting untuk membantu Aceh membangun dan memelihara perdamaian. Untuk itu, Yayasan Tifa mendukung kerja konsorsium masyarakat sipil di Aceh dalam usaha mengawal kerja KKR Aceh melalui pembentukan mekanisme internal, cetak biru rencana kerja, dan penguatan kelompok korban dan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam kerja KKR Aceh.