
Pemerintah akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dalam Tragedi Trisakti dan Semanggi 1-2 melalui rekonsiliasi. Hal ini dinyatakan oleh Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto bersama dengan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam jumpa pers 30 Januari lalu di Jakarta. Putusan mengambil jalur non-yudisial atau rekonsiliasi ini dilakukan dengan alasan Kejaksaan Agung menyatakan sulit untuk mencari bukti dalam kasus tersebut.
Hal senada dikonfirmasi oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. “Rencana itu sudah beberapa kali dibicarakan jadi daripada kita harus pro yustisia ya dicarilah jalan yang lebih baik, sebaiknya kita selesaikan dengan cara non yudisial,” ujar Yasonna seperti dikutip dari Kompas.
Menanggapi rencana ini, kelompok masyarakat sipil yang aktif bergerak dalam penanganan kasus HAM, seperti ELSAM, Kontras dan Human Rights Working Group (HRWG) mengecam langkah rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran karena meimbulkan kesan seolah rekonsiliasi dibuat untuk meniadakan kejahatan dan pertanggungjawaban pejabat negara. Langkah ini juga dianggap sebagai langkah keliru dan melawan asas keadilan publik, bias politik, dan merupakan keputusan yang pragmatis.
Penolakan serupa juga diungkapkan oleh Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute. Seperti dikutip dari CNN, menurut Ismail, jika Kejaksaan Agung menilai proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM tidak kredibel harus ada produk putusan penolakannya. Namun, yang terjadi sekarang, saat Kejaksaan Agung belum memutuskan, Menkopolhukam justru sudah mengambil keputusan.
“Ini kan laporan Komnas HAM belum dikaji Kejaksaan Agung, tiba-tiba loncat Pak Wiranto, Menkopolhukam mengambil keputusan itu,” kata Ismail.
Kurangnya Bukti?
Sementara, Kontras (Komisi Untuk untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menyayangkan sikap Kejaksaan Agung yang menjadikan penyertaan bukti sebagai alasan untuk mengambil langkah rekonsiliasi.
“Kejaksaan Agung mengatakan buktinya belum lengkap, tapi tidak secara terang tersampaikan kepada Komnas HAM dan juga keluarga korban, bukti seperti apa yang dibutuhkan oleh Kejaksaan Agung,” ujar Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri seperti dikutip dari BBC.
Seperti dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus dilakukan di lingkungan Peradilan Umum. Pemberlakuan UU ini memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Sebab, pasal 46 UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM berat tidak berlaku. Artinya, pasal ini juga memungkinkan pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu diadili sesuai jalur hukum.
Kontras pun kecewa karena keputusan pemerintah memilih jalur rekonsiliasi dan menampikkan mandat UU Pengadilan HAM. Kontras berpendapat hal ini dapat memberikan imbas pada penyelesaian kasus–kasus pelanggaran HAM lainnya.
“Masa kita punya UU, kita tidak pernah menguji? Ini akan memberikan imbas kepada kasus-kasus yang lain. Kalau ada kejahatan serupa terjadi hari ini atau di masa depan apakah kemudian pemerintah akan mengambil jalur rekonsiliasi untuk menyelesaikan semua masalah?”, ujar Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri.
Menindak lebih jauh, Kontras pun melaporkan Komnas HAM dan Memkopolhukam Wiranto ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi. Namun, Komnas HAM membantah pihaknya bersepakat dengan pemerintah untuk mengambil jalur rekonsiliasi.
Seperti dikutip dari Jawa Pos, Komnas HAM masih berupaya membangun kesepakatan dengan pemerintah untuk mencari solusi terbaik dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan belum ada keputusan apapun di antara kedua belah pihak.
#YayasanTifa terus mendukung upaya meraih keadilan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu. Tifa percaya bahwa keadilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak bisa dicapai tanpa pengungkapan kebenaran, meski jalan menuju pengungkapan kebenaran dan keadilan di Indonesia tidaklah mudah. Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 untuk membatalkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi karena dianggap pertentangan dengan UUD 1945 merupakan contoh dari sulitnya mencapai penyelesaian yang menyeluruh bagi pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Pembatalan undang-undang tersebut dianggap sebagai langkah mundur oleh banyak pihak.
Yayasan TIFA percaya bahwa terobosan-terobosan kebijakan yang menempatkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM dengan tetap mengedepankan pengungkapan kebenaran harus terus didorong. Namun, langkah pemerintah dalam memutuskan pendekatan rekonsiliasi merupakan langkah yang perlu ditinjau kembali, mempertimbangkan aspek hukum dan teknis penelusuran bukti, sesuai dengan mandat UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Adalah sebuah kepatutan, bahkan keharusan, bagi Kejaksaan Agung untuk menjelaskan kepada publik secara terperinci mengenai pernyataan sulitnya mendapatkan alat bukti terhadap pelanggaran HAM yang pernah terjadi sebelum rekonsiliasi ditetapkan sebagai solusi.