Menghapus Diskriminasi Terhadap Buruh Migran Indonesia

TKI-740x357
Sumber Foto: Poskota News

Dalam sidang tahunan PBB di New York, September 2016 lalu, ada sosok perempuan Indonesia yang ikut memberikan suaranya dan mengangkat isu eksploitasi dan diskriminasi yang menimpa buruh migran. Dia adalah Eni Lestari, seorang mantan buruh migran asal Kediri yang kini tergabung dalam Internasional Migrant’s Alliance.

Dalam pidatonya dihadapan para petingi PBB, Eni menceritakan bahwa dorongan ekonomi memaksanya menjadi buruh migran pekerja rumah tangga di Hongkong. Eni berkisah bahwa saat masih menjadi pekerja rumah tangga migran, ia tidak dibayar sesuai standar, tidak diberikan hari libur dan bahkan paspornya ditahan oleh agen penyalur hingga akhirnya ia melarikan diri karena tidak tahan atas perlakuan tersebut.

Bertahun-tahun setelah kejadian tersebut, Eni berkembang menjadi aktivis yang kerap menyuarakan perlindungan buruh migran. Dalam pidatonya di hadapan sidang PBB, Eni menyatakan bahwa suara buruh migran kerap tidak didengar dan terdiskriminasi saat menyuarakan eksploitasi yang mereka alami. Seperti dikutip dari kabartki.id:

Eni berharap kehadirannya di hadapan sidang umum PBB bisa membuka mata masyarakat. “Kami tampil di tingkat ini karena putus asa. Karena bicara dengan pemerintah di level nasional, baik pemerintah negara asal maupun negara tujuan, belum tentu mereka mau mendengarnya,” kata Eni. Kepada pemerintah Indonesia, Eni mendesak agar TKI diperlakukan selayaknya manusia, bukan sekedar sumber devisa berdasarkan data dan angka

Kisah Eni Lestari diatas menunjukkan bahwa buruh migran adalah kelompok yang rentan eksploitasi dan terdiskriminasi, bahkan ketika teriakan pertolongan telah menggema ke banyak pihak. Kisah Eni pun hanyalah pucuk gunung es dari sekian kasus diskriminasi terhadap buruh migran terutama buruh migran perempuan.

Adanya eksploitasi dan diskriminasi yang dialami oleh buruh migran Indonesia (BMI) memang kerap dikaitkan dengan profil buruh migran yang mayoritas perempuan, berpendidikan rendah, dan bekerja di sektor informal. Menurut data Penempatan dan Perlindungan TKI Indonesia 2016 yang dirilis BNP2TKI, sejak tahun 2011 hingga 2016, ada ratusan ribu buruh migran dikirim ke luar negeri setiap tahunnya yang mayoritas bekerja di sektor informal. Sesungguhnya, setiap tahunnya BNP2TKI mencatat sedikit penurunan jumlah BMI yang dikirim ke luar negeri. Untuk tahun 2016 misalnya, ada lebih dari 234 ribu buruh migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri dimana hampir setengahnya bekerja di sektor informal (sektor domestik). Jumlah ini menurun kecil dibanding tahun 2015 yang mencapai lebih dari 275 ribu BMI.

Hal yang tak berubah dari tahun ke tahun adalah lebih dari setengah BMI yang diberangkatkan ini berjenis kelamin perempuan dengan mayoritas pendidikan akhir dasar.

Untitled
Tabel 1. Data Buruh Migran Indonesia yang bekerja di sektor formal dan informal sepanjang tahun 2011 hingga 2016.
2
Tabel 2. Data Perbandingan Buruh Migran Perempuan dan Laki-Laki sepanjang tahun 2011 hingga 2016.
3
Table 3. Data Pendidikan Buruh Migran Indonesia

Profil mayoritas buruh migran berdasarkan data diatas serta minimnya perlindungan terhadap buruh migran menjadi sebab BMI rentan eksplotasi dan diskriminasi. Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani mengatakan, penanganan kasus dan bantuan hukum bagi BMI pekerja rumah tangga pun tidak jelas skemanya.

“Tidak sedikit BMI pekerja rumah tangga jika ingin mengadu harus ke tiga instansi pemerintah dan harus mengulang skema pengaduannya. Penyediaan jasa pengacara di kedutaan juga lebih difokuskan pada kasus-kasus berat seperti terancam hukuman mati dengan jumlah anggaran terbatas,” ujar Savitri.

Dari data BNP2TKI, dua kasus tertinggi yang ditangaani berdasarkan pengaduan adalah kasus BMI minta dipulankan dan gaji yang tidak dibayarkan. Menurut Savitri, berdasarkan kasus yang selama ini dipantu oleh JBM, umumnya KBRI akan menempuh jalur mediasi terlebih dahulu. Disinilah diskriminasi kerap muncul.

“KBRI kerap tidak memperlakukan PRT migran setara dengan majikan dan menstigma PRT bahwa inginnya dapat uang banyak tapi kerja sedikit tidak mau. Model penanganan kasusnya pun tidak pro gender (memperhatikan situasi dan kondisi sebagai perempuan terlebih bila mengalami kekerasan dan penganiayaan) – pendekatannya masih patriarki.”

Kondisi ini menjadi dasar bagi Yayasan TIFA untuk bersama dengan mitra bekerja dalam aspek perlindungan buruh migran Indonesia. Hal ini diimplementasikan melalui kerja-kerja penyadaran hak buruh migran dan mendorong litigasi terhadap kasus-kasus yang menimpa buruh migran bersama dengan LBH APIK sejak tahun 2016 lalu.­­­

Lebih lanjut, bersama dengan mitra, TIFA juga fokus pada usaha mengubah perspektif penanganan buruh migran yang birokratis-administratif menjadi berbasis hak melalui perbaikan standar operasional dan penanganan buruh migran di negara asal dan tujuan.

Di luar itu, Yayasan TIFA juga bekerja untuk memperkuat pekerja migran dalam mengawasi PPTKIS di lingkungannya melalui platform penilaian online lewat www.pantaupjtki.com. Platform yang terhubungan dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ini memungkinkan pekerja migran untuk memberikan penilaian secara langsung terhadap PPTKIS dimana penilaian ini digunakan sebagai dasar oleh pemerintah dalam mengevaluasi kinerja PPTKIS. Harapannya, platform ini dapat menjadi media pengawasan PPTKIS yang komprehensif dan partisipatif.

Pemerintah Jokowi-JK telah memasukkan revisi undang-undang Nomor 39/2004 ke dalam daftar prioritas (prolegnas) tahun 2017. Hal ini membuka kesempatan lebih luas untuk memastikan agar undang-undang ini nantinya benar-benar menempatkan hak dan perlindungan buruh migran sebagai fokus. Oleh karena itu, pengawalan terhadap proses revisi undang-undang ini perlu dilakukan untuk memastikan aturan yang termaktub tidak lagi membuka peluang terjadinya diskriminasi dan eksploitasi terhadap buruh migran.