Menangkal Ujaran Kebencian

new-piktochart_548_c6d0d8a3b1efe57ec2a52c103c293d67c9dd0caa
Ilustrasi Ujaran Kebencian

Diskriminasi dan represi terhadap kelompok minoritas agama masih marak di Indonesia. Riset Setara Institute yang dirilis pada akhir Januari 2017 menunjukkan bahwa jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengalami peningkatan dalam periode tahun 2014 hingga 2016. Pada tahun 2014, ditengarai telah terjadi setidaknya 134 peristiwa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan. Angka ini naik cukup signifikan menjadi 197 pada tahun 2015 dan kembali bertambah menjadi 208 peristiwa pada tahun 2016. Penelitian tersebut juga mengungkap bahwa salah satu bentuk tindakan yang kerap diterima oleh para korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah ujaran kebencian.

Di Indonesia, istilah ujaran kebencian belum terlalu dipahami. Banyak pihak yang kerap kesulitan membedakan apakah suatu ucapan atau ekspresi termasuk ke dalam kategori ujaran kebencian. Lantas, apa itu sebenarnya ujaran kebencian? Secara umum, ujaran kebencian dapat diartikan sebagai ucapan yang bertujuan untuk menyinggung, menghina, mengintimidasi, atau mengancam seseorang atau suatu kelompok tertentu berdasarkan agama, etnis, ras, gender, kedisabilitasan, atau orientasi seksual.

Ujaran kebencian yang saat ini marak terjadi mempunyai potensi untuk menciderai penghormatan terhadap kemajemukan dan keberagaman yang menjadi nilai pokok masyarakat Indonesia. Seperti yang diidentifikasikan oleh Komnas HAM, ujaran kebencian membuka peluang bagi berkembangnya praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama, ras, dan etnis minoritas, bahkan jika dibiarkan tanpa kendali bisa mendorong tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas.

dampak ujaran kebencian
Sumber: Buku Saku Penanganan Ujaran Kebencian, Komisi Nasional HAM

Pesan kebencian akhir-akhir ini dapat dengan mudah ditemui di ranah maya. Program Koordinator ICT Watch Eddy Prayitno dalam Pelatihan Pencegahan dan Penyelesaian Ketegangan dan Konflik Antar Umat Beragama yang diselenggarakan oleh International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) dan Yayasan Tifa mengatakan bahwa, selain pornografi dan perjudian, internet kini juga menjadi tempat berkembangnya industri kebencian.

Pernyataan Eddy tersebut agaknya tidak berlebihan dan senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Gusdurian. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada medio  September hingga Oktober 2016, ada 28 ribu cuitan yang berkaitan dengan kata “sesat” di Twitter. Bahkan, satu minggu menjelang Aksi Bela Islam pada 4 November 2016, ada 19 ribu kata “kafir” ditemukan di Twitter.

Karena keberadaannya yang mengancam penghormatan terhadap kemajemukan dan keberagaman masyarakat Indonesia, upaya untuk menangkal meluasnya ujaran kebencian, khususnya yang beredar di ranah maya dan media sosial merupakan langkah penting dalam mendorong masyarakat terbuka di Indonesia.

Yayasan Tifa percaya bahwa penegakan hukum untuk menangkal ujaran kebencian memang dibutuhkan. Namun, diperlukan kerangka hukum yang memadai agar dalam prosesnya tidak mengganggu kebebasan berekspresi setiap individu seperti yang disampaikan oleh Todung Mulya Lubis, salah seorang pendiri Yayasan Tifa. Selain membuat kerangka hukum baru yang lebih baik, pemerintah juga perlu meningkatkan pemahaman penegak hukum terhadap batasan dan definisi ujaran kebencian karena Todung menilai kemampuan penengak hukum masih meragukan.

Melihat kasus-kasus yang beredar belakangan ini, selain pemerintah, peran masyarakat termasuk para pemuka agama menjadi pentiing. Dalam Pelatihan Pencegahan dan Penyelesaian Ketegangan dan Konflik Antar Umat Beragama, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina Irsyad Rafsadi mengatakan, perlawanan terhadap ujaran kebencian harus dimulai sejak dini dan masuk hingga ke wilayah keluarga. Masyarakat pun harus mau dan bersedia membuka pikirannya terhadap perbedaan yang ada. “Mesti ada kegigihan tertentu untuk melawan ujaran kebencian. Misalnya gabung bersama kelompok-kelompok yang berbeda. Tujuannya adalah untuk membuka pikiran. Fenomena kebencian dan pengelompokkan khusus (diri) mengemuka di banyak belahan dunia. Eklusifisme harus kita dobrak, galang kekuatan, bersama melawan hoax, dan saling ketemu untuk saling mengenal,” pungkas Irsyad.