Memupuk (Ulang) Harapan Terhadap Komnas HAM

Tanggal 6-9 Mei 2017 lalu, Vice President Open Society Foundation (OSF), Patrick Gaspard beserta Direktur OSF untuk Asia Pacific Regional Office, Binaifer Nowrojee berkunjung ke Jakarta.

Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka mempererat kerjasama antara OSF, Yayasan Tifa, sebagai bagian dari jejaring OSF di Indonesia, dan mitra-mitra Yayasan Tifa dalam mendorong penguatan demokrasi serta penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Salah satu mitra Yayasan Tifa yang dijumpai dalam kunjungan ini adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), salah satu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Dalam pertemuan tersebut, topik tentang perlindungan terhadap hak kelompok minoritas agama menjadi pembicaraan hangat antara OSF dan Komnas Ham yang diwakili oleh M. Imdadun Rahmat, salah satu Komisoner, dan Jayadi Damanik, Koordinator Bidang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), serta beberapa staf Bidang KBB lainnya.

Seperti tercantum dalam Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM Tahun 2016, jumlah pengaduan pada tahun 2016 mencapai 97 pengaduan. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun 2015 yang berjumlah 87 pengaduan. Peningkatan jumlah ini menjadi indikator dari meningkatnya tindak pelanggaran terhadap hak KBB. “Dalam 10 tahun terakhir, kita melihat peningkatan tindak intoleransi di Indonesia, dengan meningkatnya aktivitas kelompok muslim intoleran,” ujar Imdadun Rahmat.

Dalam laporan tersebut, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah pengaduan tertinggi (21 pengaduan), dan diikuti DKI Jakarta (19 pengaduan). Kasus pelarangan dan perusakan tempat ibadah merupakan kasus yang paling banyak diadukan (44 pengaduan), diikuti pembatasan dan pelarangan kegiatan ibadah. Permasalahan lain yang juga di catat oleh Komnas HAM adalah intimidasi dan ancaman terhadap kelompok keagamaan tertentu.

Masih dari laporan yang sama, pelarangan yang banyak terjadi adalah pelarangan pendirian masjid, termasuk masjid kelompok Muhammadiyah di Bireun, Aceh dan masjid Ahmadiyah di Jawa Barat. Korban terbanyak kedua adalah dari kelompok Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan terbanyak ketiga adalah umat Kristen terkait pelarangan tempat ibadah. Menanggapi deretan data ini, Imdadun mengatakan, bahwa mandat Komnas HAM terbatas pada upaya untuk memastikan akuntabilitas aparat dan lembaga negara dalam memenuhi hak perlindungan KBB bagi warga. “Tugas utama Komnas HAM adalah memastikan aparat negara memenuhi tugas dalam memberikan perlindungan kepada hak KBB warga negara. Kami tidak punya otoritas untuk melakukan intervensi terhadap aktor non-negara yang terlibat dalam pelanggaran hak KBB,“ ujarnya.

Dampak Dinamika Politik Nasional dan Lokal

Diskusi tersebut juga menyoroti pengaruh dinamika politik praktis, baik di tingkat nasional maupun lokal, terhadap kesuksesan kerja-kerja Komnas HAM.  “Pada kampanye presiden lalu, akses politik semakin terbuka bagi kelompok intoleran. Hal yang sama terjadi dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang menggunakan isu agama dalam narasi kampanye sebagai cara untuk menarik pemilih.  Dan hal ini berpengaruh tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lainnya. Inilah sisi gelap dari demokrasi,” ungkap Imdad.

Ia menambahkan bahwa ketika Komnas HAM berusaha untuk menyelesaikan permasalahan terkait pendirian tempat ibadah di Indonesia Timur, masyarakat yang mayoritas Kristen menolak dengan alasan rekan kristiani di Jakarta juga mengalami persekusi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas muslim. “Sebagian pemerintah lokal telah ‘dibajak’ oleh kelompok intoleran sehingga semakin sulit bagi mereka untuk memainkan peran dengan baik dalam menjamin perlindungan hak KBB bagi kelompok minoritas,” tambah Imdad.

Mengembalikan Kepercayaan

Selain persoalan politik, Komnas HAM juga mengalami persoalan internal dan tata kelola. Beberapa waktu lalu,  lembaga ini terindikasi kasus korupsi berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 24 Mei 2016.  Temuan ini tentu ironis untuk sebuah badan yang seharusnya menunjukkan reputasi tak tercela. Profil dan pandangan beberapa calon kandidat komisioner untuk periode 2017-2022 dalam proses seleksi yang sedang berlangsung saat ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa kalangan. Beberapa calon justru menunjukkan pandangan intoleran yang tidak sejalan dengan semangat penegakan HAM. Seperti dikutip Rappler sebelumnya, seorang calon komisioner menjelaskan dengan panjang lebar bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Calon lain mengatakan kekerasan seksual pada buruh migran terjadi karena cara berpakaian buruh tersebut.

Tidak mengherankan jika beberapa pihak mengeluarkan kritik tajam dan kekhawatiran terhadap lembaga ini. Kordinator YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Asfinawati yang tergabung dalam Koalisi Selamtkan Komnas HAM mengatakan, seperti dikutip Media Indonesia, bahwa sejak memasuki era reformasi, dalam melakukan penyelidikan dan menghentikan pelanggaran HAM, kinerja Komnas HAM mengalami penurunan.

Sejumlah kasus pelanggaran HAM terbangkalai seperti penyelidikan kasus Paniai 2014 yang melibatkan TNI-Polri, pelanggaran HAM di sektor agraria, peristiwa Wasior Wamena, hingga kasus vaksin palsu.

Kordinator desk KBB, Jaya Damanik, yang hadir dalam diskusi dengan OSF dan Yayasan Tifa, juga mengatakan bahwa banyaknya laporan kasus yang harus ditangani tidak sebanding dengan sumberdaya yang ada. “Saat ini ada sembilan orang staf di desk KBB, dimana hanya enam orang yang merupakan staf permanen. Kerja kami menjadi lambat, sedangkan kami juga melakukan kerja-kerja mendukung sub komisi maupun sebaliknya,” ujar nya.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi serta permasalahan yang kini tengah membelitnya, Banyak pihak menaruh harapan pada komisioner yang baru. Mereka diharapkan dapat memperbaiki kondisi dan kinerja Komnas HAM dan mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga ini. Karena, meski dipandang memilki penurunan kinerja, Komnas HAM masih dianggap sebagai satu harapan untuk penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak di masa lalu. Indonesia masih menjadi acuan bagi penanganan pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Meski sebagian besar pelaku telah dibebaskan, Indonesia berhasil menyelenggarakan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Abepura, Tanjung Priok dan Timor Timur, serta berhasil melembagakan pelatihan HAM bagi polisi dan militer.

Dari kunjungan Yayasan Tifa dan OSF kepada Komnas HAM, terlihat bahwa ruang untuk perbaikan masih terbuka lebar. Banyak pihak berharap komisioner yang berikutnya terpilih dapat mewujudkan kesetaraan, keadilan, dan kebhinekaan, mendorong perlindungan hak-hak kelompok minoritas dan memiliki komitmen tinggi dalam mendorong pengungkapan kebenaran kasus pelanggaran HAM demi tercapainya keadilan bagi para korban dan keluarga.

Bagikan artikel ini