Tanah Papua kaya akan keragaman hayati. Bagaimana tidak, luas hutannya saja mencapai 29,4 juta hektar atau 35 persen dari total hutan di Indonesia. Bumi Cendrawasih juga terkenal akan keindahan alamnya – ada Raja Ampat, Danau Sentani, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Teluk Cendrawasih, dan masih banyak lagi.
Ironisnya, alam Papua mulai rusak seiring masuknya investor dan gencarnya pembangunan. Hutan lindung lantas dialih fungsi menjadi lahan budidaya. Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat di dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2013-2033 hanya mengalokasikan masing-masing 7.8 juta dan 3.3 juta hektar untuk lahan hutan lindung – tak sampai setengah dari luas hutan di dua wilayah itu. Ini berpengaruh langsung pada kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada kekayaan alam. Hutan lindung yang selama ini menjadi lumbung pangan warga adat lenyap perlahan.
Tak sampai di situ, Mantan Koordinator Umum Papuan Voices Max Binur mengatakan, tatanan sosial masyarakat adat juga ikut rusak. “Setelah lahan-lahan masyarakat adat jatuh ke tangan investor atau, misalnya kelapa sawit, mereka akan pergi karena su tak ada lahan. Yang dari kampung pergi ke kota dan berubah menjadi masyarakat urban. Konflik di kota akan semakin banyak salah satunya karena tidak ada lapangan pekerjaan,” jelas Max.
Max menambahkan, masuknya investasi secara besar-besaran ke Bumi Cendrawasih juga mempengaruhi karakter masyarakat adat di sana. “Masyarakat mulai meninggalkan budaya gotong royong. Hilangnya hutan membuat masyarakat dari gunung pun berbondong turun ke pesisir,” katanya.
Melihat besarnya persoalan, Papuan Voices merasa perlu melakukan kampanye dan advokasi sebagai upaya memperkuat posisi masyarakat adat dan menarik perhatian publik atas situasi itu. Berbeda dengan organisasi advokasi di Papua pada umumnya, Papuan Voices lebih memilih media film untuk mengisahkan perjuangan masyarakat adat Papua di tengah arus investasi dan modernisasi.
Max berpendapat, advokasi dan kampanye melalui media video atau film dokumenter merupakan cara paling efektif untuk menyebar pesan dan informasi. “Melalui film, apa yang terjadi di Jayapura, misalnya kasus-kasus kerusakan lingkungan, bisa dilihat juga oleh masyarakat Sorong atau Merauke. Mereka lalu bisa belajar dari kasus yang ada di Jayapura sehingga dengan kesadaran sendiri bisa ikut untuk menjaga tanah dan lingkungan mereka,” tuturnya. Selain itu, media video atau film bisa lebih mudah disebarluaskan dan dapat disimpan sepanjang waktu untuk pembelajaran generasi muda Papua di masa mendatang.
Lagi pula, mengingat rendahnya tingkat kebebasan berekspresi di Papua, melakukan aksi atau demonstrasi beresiko tinggi. “Advokasi lewat film adalah cara yang lebih aman. Kalau kita melakukan aksi-aksi seperti yang selama ini dilakukan, itu resikonya terlalu berat dan khawatir justru berdampak negatif terhadap kami,” pungkas Max.
Untuk memperluas kampanye dan advokasi lewat produksi film, Papuan Voices pun menyelenggarakan Festival Film Papua (FFP) dan mengundang sineas muda Papua untuk membuat film dan mengikutsertakannya ke dalam festival. Sampai saat ini, Papuan Voices sudah dua kali mengadakan FFP, pada 7-9 Agustus 2017 dan 2018. Dari dua kali pelaksanaan festival, ada sekitar 50 film dokumenter yang dilombakan.
Pemilihan waktu pelaksanaan FFP tak sembarangan. Puncak penyelenggaraan festival film pada tanggal 9 Agustus bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional. Pada tanggal itu pula, aktivis dan masyarakat adat Papua memperingati Hari Korban Masyarakat Adat – yang menjadi korban investasi, kerusakan lingkungan, serta perubahan sosial, budaya, dan politik.
“Pada hari itulah kami ingin mempertontonkan film-film yang mendokumentasikan berbagai kasus pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup karena investasi atau pembukaan lahan baru untuk industri yang menjadikan masyarakat adat sebagai korban”, kata Max.
Pada tahun 2018, Papuan Voices mengangkat isu masyarakat adat di tengah arus modernisasi sebagai tema FFP ke-2. Selain untuk menjelaskan posisi dan kondisi masyarakat adat Papua di tengah arus investasi dan pembangunan yang kian gencar, tema itu dipilih untuk mengingatkan masyarakat adat Papua bahwa perubahan yang cenderung negatif itu perlu segera diatasi.
“Kami juga ingin mengingatkan masyarakat adat Papua untuk mempertahankan nilai-nilai budaya, bagaimana menjaga alam mereka dengan baik, bagaimana bernegosiasi dengan pemerintah, serta bagaimana bersiap dan memproteksi diri dari investasi agar tak terbawa arus perubahan yang cepat,” terang Max.
FFP ke-2 diselenggarakan pada 7-9 Agustus 2018 di Museum Negeri Papua, Kota Jayapura, Provinsi Papua. Lebih dari 300 orang, termasuk perwakilan pemerintah Kota Jayapura, masyarakat sipil, dan mahasiswa, hadir meramaikan festival selama tiga hari. Tak kurang dari 30 film diputar di dalam festival ini, termasuk 10 film karya sineas muda Papua yang ikut berkompetisi. Selain menonton film tentang Papua, ratusan masyarakat yang hadir juga ikut berdiskusi membahas isu-isu yang diangkat di dalam film seperti perempuan adat, hutan Papua, pangan lokal, pendidikan di pedalaman Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM, dan lainnya.
Seperti tahun sebelumnya, pada FFP tahun 2018, Papuan Voices juga membuka kelas media yang diikuti oleh mahasiswa, aktivis pro demokrasi, dan kelompok masyarakat sipil. Melalui kelas media itu, Papuan Voices ingin membagikan ilmu mengenai proses produksi film, mulai dari menulis cerita dan pengetahuan teknis lainnya.
“Kami ingin gerakan memproduksi media audiovisual semakin luas sehingga hasilnya dapat kembali digunakan untuk advokasi dan membantu meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia tentang Papua,” ujar Max.
Papuan Voices berkomitmen untuk terus menyelenggarakan FFP setiap tahunnya. Selain memberi wadah bagi generasi muda untuk berkarya, Papuan Voices berharap, melalui FFP, semakin banyak orang yang mengetahui cerita tentang kehidupan manusia dan alam Papua dan generasi muda kian tergerak untuk membangun tanah kelahirannya melalui film.
Sebagai lembaga yang mendukung keterbukaan, kesetaraan dan keadilan dan hak-hak kelompok minoritas, Yayasan Tifa memberikan dukungan penuh bagi pelaksanaan festival ini. Program Manager Yayasan Tifa Nova Silitonga megatakan pelaksanaan FFP merupakan terobosan kreatif untuk menyampaikan fakta atas berbagai peristiwa yang terjadi di Papua kepada publik Tanah Air. “Melalui gambar dan video, masyarakat mendapat gambaran lebih luas tentang situasi mesyarakat Papua dan bisa langsung mengetahui apa yang mereka alami. Hal ini bisa mengurangi stigma-stigma yang diberikan kepada masyarakat Papua, dan Pemerintah maupun masyarakat luas dapat membantu mencari solusi untuk masyarakat Papua,” ujarnya.