Memenuhi Hak Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh

WhatsApp Image 2017-03-23 at 09.56.01
Potongan berita di media massa ini adalah bagian dari Pameran Lorong Ingatan 1998-2005 yang diselenggarakan oleh KontraS Aceh dan beberapa organisasi lainnya untuk memperingati peristiwa pelanggaran HAM pada periode itu dan Hari Hak Atas Kebenaran Internasional. | Foto: KontraS Aceh

Saya dirugikan. Kaki saya lumpuh dan saya sering kesakitan. Saya sulit berjalan. Yang membuat saya sedih, di dalam tubuh saya masih ada serpihan peluru yang meracuni. Selama ini, saya menyusui anak-anak saya dengan darah beracun. – Rosmiati, korban Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh di Aceh, 1999[1].

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang telah lama dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Tindak kekerasan di Aceh dimulai pada tahun 1950-an silam, diawali dengan periode DI/TII (1953-1963), lalu diikuti dengan kekerasan akibat konflik politik pada tahun 1965 sampai 1970, pemberlakuan pra-DOM (Daerah Operasi Militer) (1976-1989), dan pemberlakuan DOM (1989-1998). Pada tahun 1998, gerakan reformasi di Indonesia juga berdampak pada Aceh. Pada 7 Agustus 1998, status Aceh sebagai DOM resmi dicabut. Jenderal Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemananan yang kala itu menjabat sebagai panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun menarik pasukan non-organik dari Bumi Serambi Mekah.

Rosmiati bukanlah satu-satunya korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Pada tahun 1990-an saat Aceh berstatus sebagai DOM, Muhammad Yusuf, warga Keude Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen pun menjadi korban kekerasan piihak militer. Yusuf menceritakan, kala itu, ia dan beberapa kawannya ditangkap dan dibawa ke pos militer. Di sana, para tentara bertanya mengenai keberadaan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Alih-alih dibebaskan, Yusuf dan kawan-kawan yang tak tahu-menahu soal keberadaan anggota separatis itu justru malah mengalami penyiksaan. “Saya disuruh tiarap di tanah bersama  teman-teman, lalu para tentara menginjak-injak punggung setiap orang. Kemudian saya disuruh berkelahi sesama korban yang ditangkap hingga saya tidak sadarkan diri lagi,” tutur Yusuf[2].

Pada tahun 2006-2007, Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh membantu memberdayakan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu dan keluarga di seluruh penjuru Aceh. Kemudian pada tahun 2009, KPK Aceh menyusun draft Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang dipelopori oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Pembentukan peraturan tersebut merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Baru pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi Aceh mensahkan rancangan peraturan tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang KKR Aceh. Peresmian undang-undang itu menjadi tanda dibentuknya KKR Aceh dan pada Oktober 2016 tujuh orang komisioner dipilih. Namun, tugas para komisioner tersebut untuk memulihkan kebenaran belum dapat dilakukan karena kendala administrasi dan ketiadaan sekretariat.

Bersamaan dengan kerja-kerja membangun institusi KKR Aceh, Yayasan Tifa bersama KontraS Aceh terus terlibat dalam upaya mendukung para korban kekerasan di Aceh mempersiapkan diri mereka untuk nantinya berhubungan langsung dengan KKR Aceh.

Keberadaan KKR Aceh memberikan harapan kepada para korban dan keluarganya yang telah lama menunggu keadilan. Keadilan yang dimaksud oleh para korban tidak hanya mengenai kompensasi dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk upaya untuk melindungi hak-hak mereka seperti memberikan kepastian mengenai penyelesaian pelanggaran HAM yang mereka alami. Mengungkap kebenaran harus menjadi poin utama yang diperhatikan oleh KKR Aceh dalam melakukan kerja-kerjanya demi mencapai kesuksesan.

Salah satu korban pelanggaran HAM di Aceh, Abdullah, yang merupakan warga Tambue Barat, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen mengatakan bahwa sudah banyak lembaga yang melakukan pendataan terhadap keberadaan korban konflik di Aceh. Namun, tidak pernah ada kejelasan dan tindak lanjut dari pendataan tersebut.

“Selama saya tidak pernah mendapatkan bantuan sebagaimana yang sudah dijanjikan. Saya sangat berharap hadirnya lembaga ini (KKR Aceh) dapat melakukan pengungkapan kebenaran. Sebab, saya juga menyalami penyiksaan pada masa konflik. Hampir semua penduduk pernah mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara,” ungkapnya[3].

Selain mengungkap kebenaran dari berbagai kasus pelanggaran HAM, KKR Aceh juga harus menjadi bagian dari solusi untuk bagaimana kita bisa bergerak maju demi menciptakan sebuah sistem yang lebih baik bagi negara. KKR pun harus dapat membawa perubahan kepada lembaga-lembaga negara agar lebih mengedepankan integrasi perspektif HAM dan penndekatan keadilan transisi. Misalnya, perubahan di sektor pendidikan, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Keberadaan KKR Aceh penting untuk membantu Aceh dalam membangun dan memelihara perdamaian demi generasi mendatang dengan belajar dari masa lalu dan dokumentasi kekerasan berkepanjangan yang terjadi agar di masa depan konflik di Aceh tak kembali terulang.


[1] Menemukan Kembali Indonesia. Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas. Laporan Tahun Kebenaran KKPK. 2014. Halaman 144-145

[2] Pernyataan korban diperoleh dari Koordinator Komisi untuh Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh Hendra Saputra

[3] Idem