Penulis: Cresti Eka Fitriana, Project Officer Jurnalisme Aman Yayasan Tifa
Penyunting: Brigita Rumung, Knowledge Management & Comms Officer Yayasan Tifa
Meskipun sudah ada upaya terus-menerus dalam membangun kesadaran akan keselamatan jurnalis di tingkat nasional dan regional di Indonesia, jurnalis terus menghadapi pelecehan, kekerasan, dan risiko ancaman baik daring maupun luring.
Perwakilan Dewan Pers Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers di wilayah barat Indonesia dan para jurnalis berkumpul dalam Pertemuan Lintas Sektor Penanganan Kekerasan terhadap Jurnalis Wilayah Barat yang diselenggarakan oleh Yayasan Tifa pada Kamis, 16 Juni 2022. Pertemuan ini bagian dari program Jurnalisme Aman yang mempertemukan perwakilan wilayah Indonesia bagian barat untuk mendalami isu kekerasan terhadap jurnalis serta memahami pola kekerasan yang terjadi pada jurnalis. Harapannya mampu mendorong mekanisme penanganan pengaduan di wilayah masing-masing untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi pemangku kebijakan.
Setiap tahun, Aliansi Jurnalis Independen mencatat kasus penyerangan dan kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia. Dari catatan tersebut belum terdapat data prevalensi nasional sehingga menjadi tantangan untuk menentukan wilayah dengan jumlah kekerasan tertinggi di Indonesia. Namun, berdasarkan laporan Dewan Pers Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis di wilayah barat banyak terjadi di daerah Jabodetabek, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Banten. Isu krusial lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah kasus serangan yang dihadapi jurnalis perempuan. Berdasarkan laporan PR2Media (2022), Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Utara merupakan daerah tertinggi jumlah kekerasan terhadap perempuan. Temuan-temuan ini menjadi salah satu landasan menghidupkan diskusi pada pertemuan ini.
Pertemuan multi-pihak ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama berupa diskusi panel yang dipimpin oleh Zico Mulia, Project Manager Jurnalisme Aman Yayasan Tifa dan Ignatius Haryanto, akademisi dari Universitas Multimedia Nusantara sebagai narasumber. Sesi diskusi panel memberikan gambaran konteks situasi keamanan jurnalis baik secara fisik maupun digital yang ada di wilayah barat. Lebih lanjut dalam sesi diskusi, Ninik Rahayu, Ketua Komisi Riset, Data, dan Pengesahan Pers di Dewan Pers Indonesia mengungkapkan bahwa kebebasan pers merupakan hak asasi manusia serta hak pers nasional yang perlu dilindungi. Sayangnya, kasus kekerasan terhadap jurnalis cukup tinggi terutama pada jurnalis perempuan serta minimnya tindak lanjut atas laporan kekerasan yang dihadapi oleh jurnalis. Sehingga ia menekankan pentingnya memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk terus meningkatkan mekanisme penanganan pengaduan yang efektif di tingkat nasional dan lokal.
Pada sesi kedua, dilakukan diskusi world café mengenai situasi keselamatan jurnalis di wilayah barat serta mekanisme penanganan dan pengaduan yang efektif sebagai upaya mencegah dan menangani kekerasan yang dihadapi jurnalis. Diskusi tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya kasus kekerasan jurnalis di daerah serta minimnya proses pengaduan dan proses hukum yang efektif. “Wartawan di luar wilayah Jabodetabek cenderung menghadapi risiko serangan fisik dan digital yang lebih besar untuk melakukan pekerjaan jurnalisme mereka. Oleh karena itu, diperlukan adanya mekanisme penanganan yang efektif baik formal maupun informal untuk menjamin keselamatan jurnalis,” papar Haryanto.
Dalam sesi diskusi world café ini, peserta dibagi dalam 3 kelompok untuk mendiskusikan secara mendalam mengenai situasi dan tren keamanan jurnalis, efektivitas mekanisme penanganan, serta kolaborasi dalam rangka meningkatkan penanganan. Diskusi yang dibagi dalam dua sesi ini menghasilkan informasi penting sebagai berikut:
- Kasus kekerasan fisik merupakan jenis kekerasan yang kerap dialami oleh jurnalis di wilayah barat. Di samping itu terdapat pula kekerasan daring yang mayoritas terjadi di Yogyakarta
- Bentuk kekerasan fisik antara lain penggunaan kekerasan untuk menghalangi jurnalis bekerja/meliput, serangan fisik, penghinaan profesi, dan perundungan. Jurnalis perempuan kerap mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual
- Belum adanya mekanisme baku penanganan kekerasan terhadap jurnalis di masing-masing daerah. Mekanisme yang sering digunakan adalah mediasi serta minimnya penggunaan mekanisme dewan pers
- Perlu adanya kolaborasi bersama mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan melibatkan dewan pers, kementerian terkait, organisasi jurnalis dan perusahaan media, tokoh adat dan tokoh agama, serta unsur-unsur penting lainnya di daerah
- Pentingnya pembentukan Komite Keselamatan Jurnalis di tingkat daerah serta penguatan pengetahuan jurnalis mengenai risiko dan mitigasi kekerasan baik fisik maupun digital
Harapannya pertemuan ini bisa menjadi forum multi-sektor yang mampu mendorong mekanisme penanganan yang lebih efektif dalam merespon kekerasan terhadap jurnalis di tingkat daerah. Pertemuan ini masih akan terus berlanjut ke wilayah tengah dan timur Indonesia untuk memperkuat kolaborasi menuju jurnalisme aman di Indonesia