Melanggengkan Damai di Aceh

Dua belas tahun telah berlalu sejak Perjanjian Helsinki ditandatangani pada tahun 2005. Perjanjian ini menjadi tonggak awal perdamaian di Aceh selepas konflik berkepanjangan sejak tahun 1950-an. Namun, perdamaian tidak akan hadir jika kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tak diungkap dan hak para korban untuk sembuh dari trauma dan membangun kembali hidupnya tidak terpenuhi dan terlindungi. Untuk itulah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh diperlukan. Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 memandatkan dibentuknnya KKR Aceh untuk mengungkap kebenaran berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. Sebagai wujud keseriusan Negara, amanat Perjanjian Helsinki itu pun kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UU PA).

Dalam perjalanannya, pembentukan KKR Aceh mengalami banyak kendala. Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh baru terbit tujuh tahun setelah pengesahan UU PA. KKR Aceh pun baru bisa memulai kerjanya pada 24 Oktober 2016 setelah Gubernur Aceh Zaini Abdullah melantik tujuh orang komisionernya. Tak hanya itu, hingga satu tahun lebih setelah pembentukan KKR Aceh, Pemerintah Aceh belum juga menerbitkan peraturan tentang operasional dan kesekretarian KKR Aceh. Pemerintah pusat pun belum pernah menyatakan dukungannya terhadap kerja KKR Aceh. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri sempat menanyakan dan berniat mengevaluasi keabsahan KKR Aceh.

Oleh karena itulah Yayasan Tifa mendukung kerja konsorsium masyaraka sipil di Aceh dalam usaha mengawal kerja KKR Aceh melalui pembentukan mekanisme internal, cetak biru rencana kerja, dan penguatan kelompok korban dan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam kerja KKR Aceh.

Kolaborasi masyarakat sipil

Pelaksana Program Yayasan Tifa untuk Bidang Penegakan Hukum dan Reformasi Sistem Peradilan Syafirah Hardani mengungkapkan, hambatan dalam proses pengungkapan kebenaran yang menjadi mandat KKR Aceh tidak sedikit. Sebagai contoh, hingga saat ini KKR Aceh belum memiliki aturan internal kelembagaan. Selain itu, masih banyak lembaga Negara termasuk pemerintah di tingkat desa dan adat, para korban dan keluarga, serta organisasi masyarakat sipil di Aceh yang belum memahami betul mekanisme kerja KKR Aceh dan proses pengungkapan benaran.

“Untuk itu, organisasi masyarakat sipil harus ikut turun tangan dan bersama berusaha mengatasi masing-masing masalah itu”, katanya. Sebagai lembaga yang senantiasa berkomitmen memperjuangkan keadilan, Yayasan Tifa pun mendukung kerja sejumlah organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional yang tergabung di dalam Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, KontraS Aceh, Asia Justice and Human Rights (AJAR), dan KontraS.

Direktur LBH Banda Aceh Mustiqal Syah Putra mengungkapkan, LBH Banda Aceh akan mendampingi para korban yang telah teridentifikasi untuk membentuk komunitas masyarakat korban atau bergabung ke dalam komunitas masyarakat korban yang sudah ada. Mereka juga akan melakukan penyelenggaraan diskusi rutin tentang keadilan transisi, sekaligus memperkenalkan dan menyosialisasikan KKR Aceh. “Pengetahuan tentang Keadilan Transisi dan KKR Aceh sangat penting agar korban dapat mempersiapkan diri terhadap pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi”, tutur Mustiqal.

Pada Hari Hak Atas Kebenaran Internasional, pada 24 Maret 2017, Kontras Aceh bersama beberapa organisasi lain mengadakan pameran dengan tema “Lorong Ingatan 1998-2005: Menguak Kebenaran, Meredam Luka”. Dok. KontraS Aceh.

Selain itu, kerja yang tidak kalah penting adalah mempersiapkan pekerja KKR Aceh yang bertugas memfasilitasi diskusi rutin komunitas korban dan mencatat pernyataan korban tentang pelanggaran HAM yang dialaminya, dan memastikan adanya mekanisme perlindungan terhadap saksi dan korban. Para pegiat ini akan mendapat pelatihan sesuai dengan kurikulum pelatihan tentang keadilan transisi yang telah disusun LBH Banda Aceh.

Di sisi lain, KontraS Aceh memfokuskan kerjanya pada penguatan kelembagaan KKR Aceh dengan membantu penyusunan Rencana Strategis KKR Aceh 2016-2021, termasuk penyusunan panduan dan prosedur operasi standar lembaga untuk membantu KKR Aceh bekerja sesuai dengan mandat dan kewenangannya. “Ini penting dilakukan agar KKR Aceh bisa menjadi lembaga yang kuat dan mandiri, serta mampu mewujudkan keadilan bagi para korban,” ungkap Hendra Saputra, Koordinator KontraS Aceh.

Sementara, AJAR dan KontraS Jakarta memfokuskan kerjanya untuk menjalankan advokasi di tingkat nasional. AJAR akan mengambil peran membangun sistem pusat data pelanggaran hak asasi manusia. Nantinya, sistem data yang dibangun oleh AJAR akan menjadi pondasi bagi KKR Aceh dalam menganalisis pola kekerasan yang terjadi di Aceh dan  bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merancang mekanisme rujukan dan penanganan kebutuhan mendesak korban. Sedangkan, KontraS Jakarta akan memaksimalkan jalannya proses advokasi dengan melakukan rangkaian kerja dan analisa terhadap produk hukum dan dokumen terkait KKR Aceh sambil melakukan berbagai diskusi mengenai hasil analisa tersebut bersama masyarakat sipil dan perwakilan pemerintah.

“Harapannya, rangkaian kerja KontraS ini dapat menarik perhatian dan dukungan dari pemerintah pusat dan DPR, baik dalam bentuk produk hukum maupun komitmen politik, guna memperkuat eksistensi KKR Aceh,” ungkap Feri Kusuma, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Jakarta.

Keberadaan KKR Aceh penting untuk membantu Aceh membangun dan memelihara perdamaian. Karena, pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap korban merupakan titik penting dalam menyembuhkan trauma masa lalu dan membangun rekonsiliasi. Oleh karenanya, Negara bertanggung jawab untuk turut serta menguatkan KKR Aceh sebagai mandat politiknya dalam mewujudkan keadilan dan kedamaian di Aceh.