Selain presiden dan wakil presiden, pada 17 April 2019, masyarakat Indonesia juga akan memilih wakil-wakilnya untuk duduk di kursi legislatif, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meski sering teralihkan oleh pertarungan antara dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, kampanye para calon legislator (caleg) tak boleh luput dari pengawasan.
Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz menyebutkan, bahwa pemilu legislatif (pileg) tahun 2019 masih akan berbasis pada sisi popularitas dan personalitas calon legislator, seperti pileg tahun 2014. Setiap caleg akan berupaya mengejar popularitasnya dengan cara meningkatkan aktivitas kampanye yang dibiayai secara pribadi. “Ini terlihat dari Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) tahun 2019. Sebanyak Rp427,1 miliar (79,1 Persen) dana kampanye bersumber dari sumbangan para caleg, sedangkan partai politik hanya berkontribusi 20,9 persen,” tuturnya.
Meski sama-sama berorientasi pada personal caleg, perbedaan pembiayaan kampanye yang berasal dari sumbangan caleg pada pileg 2019 lebih rendah dibandingkan pileg lima tahun lalu. Besaran dana kampanye dalam LPSDK pileg tahun 2019 hanya seperlima dari LPSDK pileg tahun 2014 yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp2,1 triliun. Padahal, August memproyeksikan, para caleg akan merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai aktivitas dan kebutuhan kampanyenya mengingat semakin kompetitifnya sistem pemilu dan kian menguatnya orientasi personal.
Sikap partai politik yang membebankan biaya kampanye kepada calegnya ditambah kian mahalnya ongkos kampanye justru memperbesar celah terjadinya korupsi politik. Para caleg pun rentan melakukan kesepakatan di bawah meja dengan donatur yang biasanya berasal dari sektor bisnis. Janji memberikan kemudahan perizinan dan keleluasaan berusaha diberikan dengan imbalan dana untuk kampanye.
“Oleh karena itu perlu kesadaran bersama seperti KPU, Bawaslu, PPATK, KPK dan pihak-pihak lain melakukan pengawasan pembiayaan kampanye pileg mengingat dimensi kompetisi pileg yang luas dan melibatkan banyak caleg terutama dengan sumber pembiayaan yang sangat beragam, termasuk yang bersifat ilegal,” tegas August.
Keterlibatan pebisnis di dalam proses elektoral diamini oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah. Ia menuturkan, untuk memenuhi modal politik, para caleg kerap meminta dukungan dari pengusaha. Tanpa pikir panjang, para pengusaha pun akan memenuhi permintaan dana tersebut dengan imbalan mendapat izin usaha terutama di sektor tambang jika si kandidat terpilih.
Mengutip hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015, Merah mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang bupati atau walikota mencapai Rp20 miliar sampai Rp30 miliar, sedangkan biaya untuk menjadi seorang gubernur mencapai lebih dari Rp100 miliar. Untuk menjadi seorang presiden, biayanya tentu lebih tinggi lagi. Sementara, laporan kekayaan penyelenggara rata-rata hanya mencapai enam sampai tujuh miliar.
“Celah itu merupakan ruang gelap yang dimanfaatkan sponsor politik untuk melakukan ijon politik,” kata Merah. Ia menjelaskan, ijon adalah kata yang biasa dipakai di dalam sosiologi pertanian. “Jadi orang beli dulu sebelum hasilnya ada. Kemudian petani kena jerat hutang, lalu harus menebus hutangnya dengan segala cara,” paparnya.
Merah pun mengungkapkan, pemilihan umum mungkin tak lagi jadi pesta demokrasi melainkan pesta transaksi korupsi terutama di sektor pertambangan.
Selain dengan calon pimpinan daerah, para pelaku usaha tambang juga menjalin hubungan dan memberi dukungan kepada dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Di kubu pasangan nomor urut satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, ada Luhut Binsar Pandjaitan menteri koordinator yang memiliki enam belas perusahaan batu bara maupun sawit. Ada juga Erik Thohir selaku Ketua Tim Kampanye Nasional yang turut ia sebut berhubungan dengan salah satu pemilik saham tambang batu bara terbesar di Indonesia saat ini. Sementara itu, di kubu pasangan nomor urut dua, ada Prabowo Subianto, pemilik grup Nusantara Energi, perusahaan tambang batu bara, yang ada di Kutai Timur, Kalimantan Timur dan Sandiaga Uno yang memiliki saham di sejumlah perusahaan tambang di Tanah Air. Maka, jangan heran pada debat calon presiden pada Minggu, 17 Maret 2019, kedua capres memaparkan visi-misi dalam isu lingkungan yang normatif.
Sebagai organisasi yang menjunjung keterbukaan serta bekerja untuk memajukan demokrasi di Indonesia, Yayasan Tifa berkomitmen untuk mendorong organisasi masyarakat sipil untuk berperan aktif mewujudkan politik elektoral yang bersih. Sebab, proses politik elektoral yang bersih adalah instrumen yang efektif bagi warga untuk melakukan koreksi dan mendorong perubahan atas kebijakan atau keputusan politik yang dinilai salah. Jika tidak, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo menilai, maka politik elektoral hanya akan berfungsi sebagai gincu demokrasi.
“Jika mekanisme ini diciderai oleh praktik-praktik buruk dan penyimpangan, seperti korupsi dan maraknya konflik kepentingan dalam tubuh lembaga penyelenggara pemilu, maka politik elektoral hanya akan berfungsi sebagai gincu demokrasi,” tuturnya.
Darmawan menambahkan, jika itu terjadi, politik elektoral hanya akan menjadi rutinitas kosong karena tidak akan mampu membuat warga pemilih menjadi berdaulat atas proses yang mereka jalani.
Sebagai kontribusinya, Yayasan Tifa pada tahun politik ini akan memfokuskan kerjanya, salah satunya, pada upaya mendorong organisasi masyarakat sipil untuk berperan aktif mewujudkan politik elektoral yang bersih. Setidaknya, ada empat agenda yang coba didorong oleh Yayasan Tifa antara lain mencegah korupsi politik dan penggunaan politik uang, mendorong akuntabilitas dan transparansi penyelenggara pemilu, meredam penggunaan ujaran dan hasutan kebencian terhadap kelompok minoritas, dan menjaga netralitas militer dan kepolisian dalam proses pemilu.
Pada tahun 2018, SPD atas dukungan Yayasan Tifa melakukan riset terhadap tipologi dan pendanaan partai politik serta peta jalan partai politik di Indonesia. Riset yang dilakukan SPD bekerja sama dengan Yayasan Tifa ini merupakan kontribusi dari masyarakat sipil agar penyelenggara pemilu dapat lebih memahami ketentuan hukum yang tersedia di Indonesia sehingga dapat mencegah perkembangan praktik politik uang pada pemilu di Tanah Air.
Selain itu, pada tanggal 28 Januari 2019, Yayasan Tifa bersama SPD berkolaborasi dengan Koalisi Bersihkan Indonesia yang terdiri dari Greenpeace, ICW, Auriga, JATAM menyelenggarakan Transformative Dialogue bertema “Pembiayaan Gelap dan Korupsi Politik di Pemilu 2019: Ongkos Mahal Demokrasi Indonesia?” di Jakarta. Hadir sebagai pembicara di diskusi itu Fritz Siregar dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), August Mellaz dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Mada Sukmajaya selaku pengamat politik dari Fisipol Universitas Gajah Mada, Merah Johansyah dari JATAM, Tata Mustasya dari Greenpeace Indonesia, dan Adinda Tenriangke Muchtar dari The Indonesian Institute. Klik tautan ini untuk mengunduh materi yang dipaparkan oleh para pembicara.