Korupsi Itu Anomali, Bukan Tradisi

 

Foto: Dok. Kompas/Lucky Pransiska
Foto: Dok. Kompas/Lucky Pransiska

 

Awal November 2016 ini, Presiden Open Society Foundation Chris Stone melakukan kunjungan ke Indonesia dan berkesempatan berdiskusi dengan berbagai pihak mengenai isu-isu utama di Indonesia. Salah satu topik yang menjadi perbincangan dalam diskusi yang dilakukan adalah isu korupsi.

Dalam wawancara yang dilakukan oleh Chris Stone bersama Metro TV News mengenai korupsi, Chris, yang merupakan mantan Guggenheim Professor Harvard University menyatakan, bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang sukses mewujudkan keterbukaan masyarakat. Selama ini, pemerintah dan berbagai pihak bekerja sama untuk menguatkan demokrasi dan masyarakat secara keseluruhan, termasuk memberantas korupsi.

Menurut Chris, dalam menghadapi maraknya kasus korupsi, seluruh pihak perlu menciptakan sebuah budaya yang melihat  korupsi sebagai sebagai sebuah anomali, alih-alih tradisi yang dapat ditoleransi. Korupsi seharusnya tidak dianggap sebagai bagian dari praktik keseharian. Karena, meski ada sejumlah pihak di dalam masyarakat yang cenderung korup, tetap ada bagian lain dari masyarakat yang senantiasa terus berusaha memerangi korupsi.

Dalam kasus korupsi, penting untuk mempertanyakan dimana terjadi, apakah ada semangat tertentu yang melatarbelakangi, dan apakah negara, penegak hukum, pimpinan masyarakat  mengambil keputusan-keputusan untuk mengurangi bahkan memberantas sumber-sumber korupsi.

Dalam banyak konteks, memberantas korupsi secara utuh merupakan hal yang hampir mustahil. Meski demikian, berbagai upaya pengentasan korupsi perlu tetap dilakukan dan diarahkan untuk membentuk budaya dimana perilaku korupsi dianggap sebagai pelanggaran hukum, bukan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma di masyarakat semata.

Selain pentingnya membangun budaya anti korupsi, Chris juga menyoroti sejumlah mitos tentang korupsi yang kerap muncul.

Korupsi acap kali dikatakan hadir akibat minimnya pendapatan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Banyak pihak beranggapan, korupsi terjadi akibat pendapatan yang rendah. Sementara menurut Chris, berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, jika korupsi terjadi di tingkat bawah (pada staf berpenghasilan rendah), maka hampir bisa dipastikan ada korupsi di level atas, bahkan dalam tingkat pendapatan yang tinggi.

Berdasarkan pengalaman di berbagai tempat dan negara, korupsi hadir karena pelaku tergoda untuk melakukan korupsi lebih besar. Korupsi terjadi lebih karena budaya yang ada. Pemahaman seperti “korupsi itu lumrah”, “korupsi bisa ditoleransi”, dan “semua juga melakukannya”, membuat banyak orang ikut terlibat dalam tindak korupsi.

Lalu bagaimana langkah paling baik untuk mengurangi atau mencegah korupsi? Chris menyebutkan, kunci penyelesainnya ada di sosok pemimpin. Menurutnya, jika sosok yang duduk di kursi kepemimpinan menjalankan tugas dengan jujur dan menindak dengan tegas perilaku korupsi, maka sebagian besar institusi akan dapat lepas dari jerat korupsi.

Selain membahas isu korupsi, dialog bersama Chris juga mendiskusikan isu hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan ketimpangan ekonomi. Untuk menyaksikan wawancara Chris selengkapnya, kunjungi tautan berikut:

http://video.metrotvnews.com/indonesia-now/ybJy68AN-interview-with-the-open-society-foundation-s-president

 


Yayasan TIFA bersama dengan mitra-mitranya berupaya melakukan kerja-kerja untuk mengurangi dan mencegah korupsi terutama di sektor pelayanan publik dan peradilan.

 

 

Bagikan artikel ini