Yayasan Tifa berkolaborasi dengan New Mandala menyelenggarakan sebuah konferensi bertajuk “Our Race to the Bottom? Civic Space, Human Rights, and the Trajectory of Democracy in ASEAN Country pada 8 Desember 2017 lalu. Konferensi yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun ke-17 Yayasan Tifa ini secara umum membahas situasi demokrasi dan masyarakat sipil di wilayah Asia Tenggara yang juga diangkat ke dalam sejumlah esai New Mandala.
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo mengatakan, konferensi tersebut merupakan konferensi pertama yang diselenggarakan Yayasan Tifa yang secara khusus membahas kondisi demokrasi di luar Indonesia. Darmawan menuturkan, ini dilakukan karena penting bagi Yayasan Tifa untuk mulai melihat upaya penyelesaian berbagai persoalan terkait demokrasi melalui perspektif regional. “Sebab wilayah Asia Tenggara kini menjadi lebih terintegrasi dan berbagai hal yang muncul di satu negara kian terhubung dengan dinamika isu di negara lain,” jelasnya.
Untuk itu, Darmawan menjelaskan, Konferensi 17 Tahun Yayasan Tifa tersebut diharapkan dapat menjadi wadah bertukar gagasan dan ajang untuk saling belajar, serta memulai dialog antar masyarakat sipil di Asia Tenggara mengenai masalah demokrasi dan solusinya. “Harapannya, konferensi ini dapat menjadi kontribusi sederhana Yayasan Tifa bagi masyarakat sipil (di Asia Tenggara, termasuk Indonesia) untuk mulai mencari solusi terkait persoalan demokrasi,” imbuhnya.
Arus Surut Demokrasi
Banyak perubahan dan kemajuan terjadi di negara-negara Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir. Reformasi Indonesia yang terjadi medio tahun 2000an ditengarai sebagai berakhirnya rezim otoriter yang digantikan dengan pemerintahan demokratis. Tak hanya Indonesia, perubahan serupa juga terjadi di Myanmar, ditandai dengan kemenangan mutlak Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi pada pemilihan umum tahun 2015. Setelah puluhan tahun dikuasai junta militer, Myanmar kini memiliki pemerintahan yang dipilih melalui cara yang demokratis.
Namun, perubahan yang terjadi tidak serta merta menjamin terlaksananya kehidupan pemerintahan yang lebih demokratis dan merakyat. Dr. Nicholas Farrelly dari Australian National University yang merupakan salah satu pembicara utama dalam Konferensi 17 Tahun Yayasan Tifa mengatakan, beberapa tahun terakhir, kemunduran demokrasi justru terjadi di kawasan Asia Tenggara.
“Sebagai contoh, Presiden Duterte mendapat kritik atas pembunuhan ekstra yudisial yang ia lakukan terhadap mereka yang dianggap menyalahgunakan narkoba,” tuturnya. Sementara di Thailand, kekuatan militer justru melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan di tahun 2014.
Kemunduran serupa juga terjadi di Indonesia dan Myanmar. Sektarianisme dan intoleransi terhadap keberagaman menjadi tantangan dalam pertumbuhan demokrasi di Tanah Air. Sedangkan di Myanmar, seperti disebutkan Rosalinn Zahau, Program Specialist Open Society Myanmar, demokrasi di negaranya “terancam oleh menguatnya gerakan ultra nasionalis”.
Melihat kemunduran yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan itu, Yayasan Tifa melihat bahwa demokrasi di negara-negara Asia Tenggara seakan tengah berlomba menuju kejatuhan. Meski begitu, bukan berarti usaha memperjuangkan demokrasi berhenti. Konferensi Our Race to Bottom? yang digagas Tifa ini pun dilakukan salah satunya sebagai upaya untuk mulai mendiskusikan solusi konkret mempromosikan tantangan demokrasi yang dihadapi tidak hanya oleh Indonesia, tapi juga negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Mempromosikan demokrasi adalah pekerjaan yang tidak akan dan tidak boleh berhenti karena akan selalu ada tantangan baru dalam setiap periodenya. Masyarakat sipil di ASEAN tidak seharusnya lagi hanya membahas masalah-masalah yang ada. Kita harus mulai mencari dan memberikan solusi konkret,” ujar Darmawan.
Hal senada diungkapkan oleh salah satu pembicara, Usman Hamid, Indonesia Director Amnesty International. Menurut Usman, tantangan yang muncul terhadap demokrasi tidak berarti habisnya ruang keterbukaan di masyarakat. “Kita (masyarakat sipil) hanya harus bekerja lebih keras melalui proses-proses demokrasi. Kita harus percaya pada demokrasi. Apakah kita kehilangan harapan? Tidak,” pungkasnya.