“Gender equality is more than a goal in itself.
It is a precondition for meeting the challenge of reducing poverty,
promoting sustainable development and building good governance.” – Kofi Annan
Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional yang ditetapkan oleh PBB untuk merayakan capaian perempuan di segara lini baik di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Perayaan Hari Perempuan Internasional ini juga kerap digunakan sebagai momen untuk mengajak berbagai pihak untuk mengangkat isu-isu ketimpangan gender serta membangun kondisi yang lebih terbuka bagi semua pihak apapun jenis kelaminnya.
Di Indonesia, ketimpangan gender masih menjadi polemik di antara berbagai kalangan. Marak dan dalamnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan menyebabkan sberbagai lapisan masyarakat mulai mendesak pemerintah agar mengeluarkan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain kekerasan seksual, perempuan juga rentan terhadap kekerasan yang terkait dengan hak-hak hukum dan ekonominya, seperti yang dialami buruh migran perempuan (BMP). Menurut data Penempatan dan Perlindungan TKI Indonesia 2016 yang dirilis BNP2TKI, sejak tahun 2011 hingga 2016, ada ratusan ribu buruh migran dikirim ke luar negeri setiap tahunnya yang mayoritas bekerja di sektor informal dimana setengahnya adalah perempuan.
Lembaga bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK yang merupakan mitra kerja TIFA dalam pemenuhan hak buruh migran perempuan mencatat, hak ekonomi dan hukum BMP korban perdagangan manusia (trafficking) yang seringkali dijadikan budak seksual atau kerja paksa justru sering diabaikan. Sepanjang tahun 2014-2016 misalnya, terdapat 12 kasus trafficking yang didampingi oleh APIK NTT hanya diputus pidana penjara bagi pelaku, sedangkan kompensasi atau restitusi tidak didapatkan oleh korban[1].
Masalah-masalah di atas tidak hanya terjadi di Indonesia. Secara global, potret ketimpangan gender yang ada pun cukup muram, meski terdapat beberapa kemajuan. Seperti tertuang dalam World Economic Forum 2016 Global Gender Gap report, bahwa berkaca pada tempo kemajuan yang kita capai hingga saat ini, dan dengan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, ketimpangan gender secara global baru akan bisa ditutup dalam 170 tahun kedepan! Laporan tersebut menyatakan, dari pengukuran yang dilakukan terhadap 144 negara, kesenjangan yang paling kentara ada pada partisipasi ekonomi dan penguatan politik. Secara global hanya 59% kesenjangan yang berhasil dijembatani dan sekitar 23% dalam hal kesenjangan politik, yang menunjukkan tren kenaikan namun dalam tempo yang sangat lambat.
Indonesia sendiri berada di peringkat 88 dari total 144 negara yang diikutsertakan dalam pengukuran. Peringkat ini masih dibawah Filipina yang termasuk sepuluh besar negara dengan performa paling baik dalam hal menutup ketimpangan gender (ranking 7). Peringkat ini juga masih dibawah rekan sejawat di Asia Tenggara seperti Laos (43) dan Vietnam (65). Hal ini menunjukkan Indonesia masih tertinggal di banding negara lainnya dalam mengatasi ketimpangan gender. Dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia, misalnya, hanya satu orang perempuan. Bandingkan dengan Filipina dan Thailand yang mencatat masing-masing empat orang perempuan.
Representasi politik dari perempuan di Indonesia juga masih tersendat, seperti terlihat dari jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi dewan perwakilan. Dalam periode 2014-2019, sebagai hasil pemilu legislatif di tahun 2014, jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota DPR kabinet 2014-2019 hanya 97 orang, atau 17,32 persen dari total jumlah anggota DPR. Hal ini menurun dari kabinet sebelumnya dimana ada 103 perempuan yang menjadi perwakilan di DPR.

Kondisi tadi mengindikasikan masih adanya halangan bagi perempuan untuk secara lebih jauh berkiprah dalam sektor ekonomi dan politik. Riset ADB menemukan bahwa partisipasi tenaga kerja perempuan muda Indonesia di area urban memang meningkat, terutama bagi tenaga kerja bergaji (wage employment). Sementara tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan di area pedesaan cenderung menurun dikarenakan keputusan untuk meninggalkan kerja-kerja informal dan tak berbayar.
Dalam temuan ADB, perempuan di Indonesia lebih meminati kerja-kerja bergaji, yang umumnya didominasi oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan tinggal di area perkotaan. Para perempuan ini juga secara umum lebih berdaya— memiliki otoritas lebih dalam keputusan rumah tangga dan cenderung lebih bersuara dalam menghadapi kekerasan dari pasangan. Hal ini berlaku bahkan dalam spektrum demografi dan ekonomi yang bervariasi.
Meski demikian, dibanding lelaki, perempuan masih belum terepresentasikan dalam posisi-posisi kepemimpinan dan manajerial. Hal ini mengindikasikan adanya diskriminasi dalam pemilihan posisi pimpinan atau manajer yang lebih cenderung kepada kaum lelaki ketimbang perempuan, terlepas dari produktivitas maupun kemampuan si individu.
Yayasan TIFA sendiri percaya bahwa kerja-kerja pemberdayaan dapat meningkatkan akses perempuan terutama dalam sektor ekonomi dan politik. Oleh karena itu, TIFA bersama dengan mitra bekerja untuk peningkatan akses ekonomi, politik dan juga akses bantuan hukum. Kerjasama dengan Sekolah Politik Perempuan Maupe (SPPM) di Maros, Sulawesi Selatan, misalnya, telah berhasil meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan tekad perempuan untuk memperjuangkan kepentingan dan hak politik mereka. “Bukan hanya itu, mereka, terutama yang mengikuti pendidikan sebaya yang mengupas tema demokrasi, perspektif kesetaraan gender, pilkada, kini tak lagi ragu bicara hak saat perhelatan Musrenbangdesa hingga Kabupaten,” ujar Kamaruddin Azis yang merupakan evaluator program SPPM[2].
Kerja-kerja mitra yang didukung Yayasan TIFA dalam perluasan akses keadilan melalui sekolah paralegal juga menunjukkan bahwa pendidikan hukum yang diberikan bukan hanya membuka akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan minoritas, tetapi juga perluasan akses politik dan ekonomi bagi perempuan. Seperti kisah Aprilni yang merupakan paralegal asuhan LBH Padang yang kini juga menjabat sebagai Kepala Jurong, sebuah posisi yang amat jarang diampu oleh perempuan dalam konteks masyarakat Padang, Pariaman,
Jadi, harapan untuk menutup ketimpangan gender di Indonesia sangat terbuka dengan terus menghalau tantangan yang ada lewat kerja-kerja yang berkelanjutan. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan pemberdayaan untuk mengubah pandangan mengenai pembagian kerja lelaki-perempuan, atau bahwa perempuan cenderung lebih lemah dan lebih rendah kemampuan kerjanya dibanding lelaki. Data BPS menunjukkan, hampir setengah dari penduduk Indonesia adalah perempuan. Dengan demikian, kelalaian dalam mengatasi ketimpangan gender yang ada berpotensi meningkatkan kerentanan kemiskinan kepada setengah dari penduduk di Indonesia, yang tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap ketahanan ekonomi negara secara keseluruhan.
[1] Disarikan dari proposal program LBH APIK 2016-2017
[2] Disarikan dari laporan akhir program Yayasan Maupe 2012-2013