Survei persepsi warga mengenai ketimpangan yang dilakukan Indonesian NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menunjukkan bahwa persepsi warga akan ketimpangan meningkat dari 4.4 poin pada tahun 2016 menjadi 5.6 poin pada tahun 2017. INFID mengungkapkan, masyarakat di Indonesia bagian timur merasakan ketimpangan lebih tinggi dibandingkan wilayah Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tak hanya antara wilayah Indonesia Barat dan Timur, ketimpangan juga dirasakan antara masyarakat di wilayah perkotaan dan perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa angka kemiskinan penduduk di wilayah perdesaan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan perkotaan. Pada September 2017, presentase penduduk miskin desa mencapai 13.47 persen sedangkan penduduk miskin perkotaan hanya 7.26 persen. BPS juga menyebutkan, ketimpangan di perdesaan meningkat dari 0.316 pada Maret 2017 menjadi 0.320 pada September 2017.
Untuk itu, Peneliti Senior SMERU Research Institute Rahma Indah Nurbani mengatakan, selain kemiskinan, angka ketimpangan di wilayah perdesaan yang meningkat tersebut juga harus menjadi perhatian bersama. Meski masih lebih rendah dibandingkan dengan angka ketimpangan di perkotaan dan ketimpangan nasional, jika ketimpangan di perdesaan tak segera diatasi, upaya menurunkan tingkat kemiskinan di wilayah itu akan sulit dilakukan.
“Ketimpangan di perdesaan patut diperhatikan mengingat berbagai tingkat kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan desa yang lebih tinggi dibandingkan wilayah perkotaan dan nasional. Mengatasi masalah ketimpangan di perdesaan akan menjadi kunci penting dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan,” tutur Rahma.
Memang, pemerintah sudah mulai memberi perhatian pada upaya pengentasan kemisikinan di desa, salah satunya melalui penyaluran dana desa. Namun, Rahma menjelaskan, menggenjot pertumbuhan ekonomi desa melalui pemberian dana desa saja tidaklah cukup. Sebab, hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan tidak linier.
“Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak akan secara otomatis mengurangi ketimpangan dan kemiskinan,” jelas Rahma.
Selain kemiskinan, pemerintah juga perlu mengurangi ketimpangan kekuasaan yang juga menjadi sumber kesenjangan ekonomi di desa. Program Officer Yayasan Tifa Bidang Pengembangan dan Tata Kelola Ekonomi Sudaryanto mengatakan, proses politik di desa selama ini lebih banyak didominasi oleh elit desa sehingga keputusan-keputusan strategis yang dibuat sering kali tidak merefleksikan suara kelompok rentan dan terpinggirkan.
“Untuk itu, pemerintah desa harus membuat terobosan dan inovasi program untuk meningkatkan partisipasi kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan di perdesaan,” ujarnya.
Menurut Sudaryanto, pemerintah desa dapat mulai dengan memperkuat tata kelola kelembagaan ekonomi desa agar lebih responsif terhadap kelompok miskin dan rentan. Ini penting dilakukan karena lembaga ekonomi di desa belum mampu menyalurkan aspirasi sekaligus melibatkan kelompok miskin dan rentan dalam kegiatannya.
“Penting bagi pemerintah desa menciptakan lembaga ekonomi yang demokratis guna memastikan kontrol sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh para elit desa tetapi juga oleh kelompok-kelompok marjinal. Dengan begitu, ketimpangan ekonomi di desa dapat segera diatasi,” pungkasnya.
Agar Intervensi Tepat Sasaran
Sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa yang berkorelasi dengan pengurangan ketimpangan, Yayasan Tifa pun berinisiatif untuk mendorong perbaikan kondisi ekonomi perdesaan. Ini dilakukan dengan menciptakan tata kelola ekonomi yang demokratis, yang menjamin partisipasi dan kesempatan semua kelompok masyarakat untuk mendapat manfaat dari pembangunan desa.
Untuk dapat menghasilkan intervensi yang mampu menyasar dan mengatasi ketimpangan di desa, SMERU Research Institute atas dukungan Yayasan Tifa melakukan penelitian mengenai ketimpangan di wilayah perdesaan di Indonesia. Peneliti Senior SMERU Rahma Indah Nurbani menjelaskan, studi ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang kondisi sosial-ekonomi dan dinamika ketimpangan di perdesaan, serta faktor yang mempengaruhinya.
Studi ini terbagi ke dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama, SMERU melakukan analisis terhadap dinamika ketimpangan dan perkembangan penghidupan di perdesaan di Indonesia untuk menghasilkan statistik deskriptif yang memberikan gambaran tentang perkembangan penghidupan masyarakat desa dan dinamika ketimpangan di perdesaan.
“Tim peneliti menganalisis dan memetakan faktor-faktor yang diperkirakan memberi kontribusi terhadap penghidupan masyarakat serta kondisi ketimpangan. Ketimpangan yang dilihat adalah ketimpangan multi dimensi, yang meliputi indikator moneter seperti indeks Gini, Palma, Theils maupun non-moneter seperti ketimpangan pendidikan dan akses ke layanan kesehatan,” jelas Rahma.
Setelah mendapatkan data dinamika ketimpangan di perdesaan, SMERU akan melakukan melanjutkan ke studi tahap dua yaitu analisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan antar rumah tangga di perdesaan. Studi in kemudian akan dilanjutkan dengan studi tahap ketiga dimana SEMRU akan menganalisis kontribusi faktor-faktor terhadap perubahan ketimpangan di perdesaan.
“Hasil studi ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan, termasuk Yayasan tifa dan mitranya, dalam menentukan intervensi yang efektif dan inklusif untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di desa,” ucap Rahma.