Mat Rofik, warga Tambakrejo, Kecamatan Duduksampeyan, Kabupaten Gresik harus berhutang untuk menutup biaya perawatan putrinya, Ayunda Maulidia. Lelaki yang bekerja sebagai kuli bangunan itu mengatakan tidak tahu menahu soal BPJS Kesehatan “Tidak punya (jaminan kesehatan). Tidak tahu bgaimana prosedur daftarnya,” ungkapnya. – Jawa Pos, 15 Januari 2017
Masih banyak masyarakat Indonesia, terutama warga miskin seperti Mat Rofik yang belum mendapat akses pelayanan kesehatan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Hingga Desember 2016, baru sekitar 171.67 juta penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dari total target 255 juta penduduk. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, BPJS Kesehatan harus mampu mengejar sekitar 80 juta kepesertaan lagi. Jika tidak, BPJS Kesehatan dinyatakan gagal mencapai target untuk mewujudkan jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) pada 1 Januari 2019.
Berdasarkan pantauan dan evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), masih rendahnya tingkat kepesertaan JKN tersebut terjadi karena beberapa hal. Penyebab pertama adalah masih banyaknya warga yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan, setidaknya ada 20 juta warga Indonesia yang belum memiliki NIK dengan penyebab yang beragam. Di Ponorogo, misalnya, warga tidak memiliki NIK karena enggan mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kepala Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Ponorogo, Endang Retno Wulandari, mengatakan bahwa sebagian warga menilai kepemilikan NIK tidak ada gunanya bagi mereka, apalagi yang telah berusia tua dan tak akan bersentuhan lagi dengan berbagai keperluan. Selain itu, warga juga enggan mendaftar BPJS Kesehatan karena beranggapan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan buruk.
MediaLink, salah satu mitra Yayasan Tifa, menyebutkan bahwa rendahnya partisipasi warga juga terjadi karena minimnya keterbukaan informasi mengenai pelaksanaan program jaminan kesehatan tersebut. Padahal, hasil pantauan Medialink tahun 2014-2015 terhadap keterbukaan data dan informasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Sidoarjo, Wonosobo, dan DKI Jakarta, menunjukkan bahwa keterbukaan informasi yang sangat spesifik justru dapat menggerakkan partisipasi warga.
Minim Informasi
Dalam sistem JKN, kelompok fakir miskin dan tidak mampu digolongkan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang iurannya dibiayai oleh anggaran negara, baik melalui APBN maupun APBD. Meski saat ini sudah ada 106.5 juta orang yang memiliki jaminan kesehatan dengan kategori PBI, masih ada warga tidak mampu seperti Mat Rofik yang belum terdaftar.
MediaLink memaparkan, warga yang belum tercakup dalam sistem jaminan kesehatan rata-rata tidak mengetahui syarat dan prosedur pendaftaran kepesertaan BPJS Kesehatan. “Warga tidak tahu informasi jaminan kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat belum tahu mana yang gratis dan mana yang bayar. Selain itu masalah kepesertaan juga masih banyak. Informasi kepesertaan di pusat dan daerah belum sepenuhnya disebarluaskan. Warga yang tidak mampu belum sepenuhnya tercakup, danwarga tidak tahu prosedur mengurus KIS/KJS. Informasi ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu,” ucap Darwanto, Koordinator Program MediaLink untuk wilayah DKI Jakarta.
Untuk mencari solusi atas persoalan tersebut, MediaLink dengan dukungan Yayasan Tifa membentuk forum multi pihak di sejumlah daerah yaitu Kabupaten Siduarjo, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi DKI Jakarta. Melalui forum ini, para pihak terkait pelaksanaan program JKN seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, BPJS Kesehatan tingkat kabupaten/kota, maupun otoritas lainnya beserta organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan warga dapat membahas berbagai permasalahan terkait program jaminan kesehatan ini secara bersama.
“Pertemuan ini adalah ajang tukar informasi mengenai kepesertaan, layanan dan anggaran Jaminan Kesehatan Nasional, khususnya untuk kategori PBI. Sejauh ini, forum telah dilaksanakan masing-masing satu kali di DKI Jakarta, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Wonosobo. Jika terlaksana secara reguler dan berhasil terlembagakan, maka forum ini nantinya diharapkan dapat membantu dan meningkatkan efektifitas para pihak dalam memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program JKN,” ujar Direktur Eksekutif MediaLink Mujtaba Hamdi.
Warga mendorong akuntabilitas pelayanan publik
Yayasan Tifa mendukung kerja-kerja untuk pemenuhan hak dan akses warga terhadap pelayanan kebutuhan dasar, termasuk kesehatan. Untuk itu, diperlukan kerjasama antara pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan dan masyarakat sebagai penerima manfaat.
Keterbukaan informasi publik yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik seharusnya diupayakan untuk menggerakkan partisipasi warga[1]. Selain membuka dan menyosialisasikan informasi terkait pelaksanaan program JKN, khususnya PBI, informasi tersebut harus dapat ditindaklanjuti oleh warga maupun lembaga publik terkait.
Dalam hal JKN, pemberian informasi mengenai syarat dan prosedur pendaftaran JKN kategori PBI kepada masyarakat saja tidak cukup. Keterbukaan informasi seharusnya ditujukan untuk memastikan warga mengerti dan menindaklanjuti informasi ini dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota BPJS Kesehatan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa BPJS Kesehatan siap menerima kepesertaan warga dan mampu menindaklanjuti keluhan-keluhan warga untuk memperbaiki pelayanan kesehatan yang diberikan. MediaLink atas dukungan Yayasan Tifa berusaha untuk meningkatkan kapasitas warga dalam mengakses informasi dan turut berpartisipasi dalam pengawasan pelayan publik melalui pembentukan forum multipihak. Dengan demikian keterbukaan informasi akan dapat menghasilkan partisipasi yang membawa pada akuntabilitas lembaga publik yang tidak sekadar lemparan informasi dan sosialisasi.
[1] Sejumlah studi (di antaranya Fung et. al. 2007, Fung 2013, Fox 2015) menunjukkan beberapa prasyarat kunci agar informasi yang dibuka dapat menggerakkan partisipasi. Pertama, informasi harus berkenaan dengan kepentingan vital warga. Kedua, informasi harus dapat ditindaklanjuti warga (actionable). Ketiga, harus ada kepastian adanya pintu masuk bagi tindak lanjut informasi tersebut. Keempat, ada peluang respon dari lembaga publik yang berujung pada perubahan (answerability).