Dua belas tahun berlalu sejak aktivis HAM Munir dibunuh dalam perjalanan pesawat dari Jakarta menuju Amsterdam. Pollycarpus Priyanto, mantan pilot yang menjadi terdakwa utama pembunuhuan tersebut telah dipenjara dan bebas kembali dari tahanan tahun 2014 lalu.
Meski eksekutor pembunuhan telah ditangkap, dalang dari pembunuhan tersebut masih belum terungkap. Bahkan, beberapa waktu lalu terjadi tarik ulur dalam kasus pembukaan dokumen hasil Tim Pencari Fakta kasus Munir. Pemerintahan Jokowi-JK beralasan dokumen TPF Munir tersebut hilang saat transisi pemerintahan dari pemerintahan mantan presiden SBY.
Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang merupakan mitra #TifaFoundation terus mendesak Presiden Jokowi untuk membuak dokumen TPF tersebut ke publik lewat aksi prihatin dalam bentuk penyerahan ribuan kartu pos dari warga.
Simak lebih jauh tuntutan aksi ini dalam siaran pers berikut dari Kontras*
————
SIARAN PERS
|
Ribuan Kartu Pos Desak Presiden Selesaikan Kasus Munir
|
Dukungan mendesak penyelesaian kasus Munir tidak pernah padam dan akan terus mengalir. Melalui ribuan Kartu Pos masyarakat dari 20 kota mendesak Presiden mengumumkan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Kartu Pos ini dikirimkan masyarakat dari berbagai elemen sejak Oktober 2016. Dukungan juga dilakukan dalam berbagai bentuk aksi mendesak dibukanya dokumen TPF Munir.
Desakan melalui ribuan Kartu Pos ini adalah bentuk kprihatinan dan protes atas sikap Presiden RI, Joko Widodo yang mengelak untuk menjalankan perintah Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No. 025/IV/KIP-PS-A/2016, 10 Oktober 2016. Bahwa dokumen TPF Munir adalah informasi publik yang harus diumumkan kepada masyarakat. Dan oleh karenanya Presiden RI segera mengumumkan dokumen tersebut.
Sikap Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara yang lebih memilih berpolemik tentang keberadaan dokumen yang tidak ditemukan adalah sikap yang kontributif atas pembungkaman atas fakta – fakta kebenaran dalam kasus Munir. Sikap ini semakin terang, dengan penuh kesadaran Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara melakukan mengajukan keberatan atas putusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 01 November 2016.
Dokumen itu nyatanya telah diterima secara resmi oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 24 Juni 2005. Dan untuk memperjelas, SBY juga telah kembali mengirimkan dokumen tersebut kepada Kemensetneg RI pada 26 Oktober 2016.
Dalam hal ini tidak ada alasan yang dapat dibenarkan jika pemerintah masih berdalih tidak memiliki dokumen TPF Munir. Alibi ini digunakan hanya untuk mencuci kewajiban Presiden untuk mengumumkan dokumen tersebut.
Presiden seharusnya menangkap pesan dan desakan melalui Kartu Pos ini secara baik. Kartu Pos ini adalah ekspresi konstutusional warga. Keadilan atas kasus Munir adalah keadilan bagi kita semua, ditengah ketidakadilan yang masih terus terjadi di berbagai wilayah.
Oleh karenanya Presiden Jokowi harusnya dapat mengambil tindakan – tindakan berikut:
Pertama, segera mengumumkan Dokumen Hasil Penyelidikan TPF Munir kepada masyarakat;
Kedua, memerintahkan jajarannya menindaklanjuti kembali setiap fakta dan rekomendasi yang tercantum dalam Dokumen Hasil Penyelidikan TPF Munir;
Ketiga, menghentikan segala bentuk tindakan melempar tanggung jawab dan berlindung dibalik tindakan – tindakan prosedural dalam pengungkapan kasus Munir.
Jakarta, 17 Januari 2017
Haris Azhar, S.H., MA
Koordinator
Yayasan TIFA dan mitra terus mendorong kerja-kerja penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Siaran pers diatas bersumber dari pihak ketiga dan isinya diluar tanggung jawab Yayasan TIFA