Penulis: Brigita Rumung, Knowledge Management & Comms Officer Yayasan Tifa
Penyunting: Zico Mulia, Program Officer for Human Rights, Yayasan Tifa
Sebuah reportase dari pertemuan lintas sektor untuk keamanan dan keselamatan jurnalis Indonesia di 3 wilayah: barat, tengah, dan timur.
Jurnalis di Indonesia masih terus mendamba rasa aman dalam menunaikan tugas mereka. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut sepanjang 2021, terdapat 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini belum mencakup pelbagai kasus yang tidak masuk dalam laporan. Yayasan Tifa yang tergabung dalam konsorsium Jurnalisme Aman bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) berupaya melakukan rangkaian kegiatan kampanye publik, peningkatan kapasitas dan advokasi yang ditujukan untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan Jurnalis. Salah satu upaya Yayasan Tifa adalah dengan menyelenggarakan pertemuan lintas sektor penanganan kekerasan terhadap jurnalis di tiga wilayah di Indonesia. Ketiga wilayah atau regional tersebut adalah di wilayah barat, tengah, dan timur.
Rangkaian pertemuan lintas sektor di 3 regional tersebut dilakukan pada Juni, Juli, dan Agustus 2022. Pertemuan perdana untuk wilayah barat dilakukan di Jakarta, dihadiri oleh berbagai sektor terkait keamanan dan keselamatan jurnalis seperti asosiasi Jurnalis, lembaga pers nasional, lembaga HAM nasional, organisasi bantuan hukum, perwakilan media lokal dan media nasional, dan perwakilan pers mahasiswa. Bergeser ke wilayah tengah, Yayasan Tifa memilih Makassar sebagai titik pertemuan sedangkan di wilayah Timur, Jayapura menjadi lokasi pertemuan lintas sektor tersebut. Pemilihan lokasi ini berdasarkan 3 laporan nasional diantaranya Indeks Nasional Kota Intoleransi oleh SETARA Institute[1], Indeks Kebebasan Pers Nasional Dewan Pers Indonesia[2], dan Kajian Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan di Indonesia oleh PR2Media.
Pihak-pihak yang hadir pada pertemuan regional ini antara lain, perwakilan Dewan Pers Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, akademisi yang fokus pada isu terkait, serta perwakilan dari beberapa media lokal di ketiga regional dan media nasional tersebut.
Beda Daerah, Beda Tantangan
Berdasarkan laporan Dewan Pers, kekerasan terhadap jurnalis di wilayah barat banyak terjadi di daerah Jabodetabek, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Banten. Isu krusial lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah kasus kekerasan yang dialami jurnalis perempuan. Provinsi di wilayah barat dengan kasus tertinggi antara lain, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara (PR2Media, 2022). Sedangkan di wilayah tengah, kondisi kekerasan terhadap jurnalis dapat dikategorikan rendah (berdasarkan laporan yang masuk). Namun, tak dapat dipungkiri setiap tahun, angka kasus kekerasan tak pernah luput terjadi. Paparan dari A. Fauziah Astrid, akademisi UIN Alauddin Makassar, tren kekerasan jurnalis di wilayah tengah biasanya meningkat jelang tahun politik, momen demonstrasi, serta peliputan isu agraria, sumber daya alam, serta penyelewengan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah.
Dari timur Indonesia, tantangan yang ada di lapangan adalah banyaknya jurnalis yang belum memahami etika jurnalistik, profesionalisme dalam bekerja termasuk masih banyak yang belum memenuhi standar regulasi. Akibatnya banyak jurnalis yang rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikososial, maupun di ranah digital. Tantangan lainnya berhubungan dengan kuatnya nuansa politik kepentingan aktor-aktor nasional dengan institusi keamanan sebagai pelaku utama kekerasan, serta aspek sosial dan kondisi geografis yang menjadi faktor terjadinya kekerasan dan rendahnya keamanan dan keselamatan jurnalis di wilayah timur. Meski situasi di ketiga regional ini berbeda-beda, namun terdapat satu benang merah terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis dan mekanisme penanganannya.
Pertama, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia didominasi oleh kekerasan fisik seperti, pengusiran jurnalis dari tempat peliputan, perampasan dan pengrusakan alat liputan, intimidasi, hingga pelecehan seksual. Kedua, kesamaan pada pola membentuk jejaring di antara asosiasi jurnalis dengan organisasi bantuan hukum. Untuk wilayah barat khususnya di wilayah Jabodetabek memiliki jejaring koalisi yang kuat yakni Komite Keselamatan Jurnalis sejak 2019.
Pandemi yang membatasi aktivitas sosial masyarakat juga dianggap meningkatkan kasus kekerasan di ranah digital, seperti doxing, terror melalui smartphone, hingga peretasan perangkat pribadi. Untuk tanah Papua, seorang jurnalis terkemuka yang menjadi narasumber pada forum lintas sektor di wilayah timur menyatakan bahwa kekerasan digital di Papua meningkat selama pandemi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada 2020 menerima 12 laporan dari jurnalis yang mengalami serangan digital. Tidak hanya dari pola kekerasan, mekanime penanganan kasus dari 3 wilayah di Indonesia juga serupa. Dalam pertemuan mengemuka bahwa belum terdapat mekanisme baku penanganan kekerasan terhadap jurnalis di masing-masing daerah. Mekanisme yang umumnya dilakukan adalah mediasi yang tak juga bisa menyelesaikan akar masalah serta minimnya pengawasan dan penerapan mekanisme yang efektif dari Dewan Pers.
Dari wilayah tengah, perwakilan LBH Makassar menyampaikan beberapa kasus kekerasan, termasuk sekitar 3 sampai 4 kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak dapat diusut. Terdapat juga laporan kekerasan dicabut setelah proses mediasi meskipun dalam pandangan hukum, mediasi tidak dapat dijadikan sebagai bukti kuat pencabutan laporan dan menghentikan proses hukum. Mekanisme penanganan kasus kekerasan yang tidak terstruktur terutama di tingkat daerah menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sehingga tak dapat dipungkiri beberapa kasus mengalami kemandegan karena belum adanya standar penanganan kasus sehingga tidak efektif.
Rekomendasi dan Tindak Lanjut
Kolaborasi di antara pemangku kepentingan kunci menjadi salah satu rekomendasi penting untuk mewujudkan tujuan dari Jurnalisme Aman di Indonesia. Selain itu, gagasan lain yang mengemuka dalam pertemuan ini sebagai rekomendasi, antara lain:
- Mendorong dan memastikan semua insan jurnalis memiliki pengetahuan komprehensif mengenai kode etik jurnalistik, analisis risiko dan pencegahan dan penanganan atas ancaman keamanan fisik, digital, dan psikososial, serta mekanisme dan tahapan pelaporan untuk proses litigasi dan non litigasi
- Pentingnya membentuk komite keselamatan jurnalis di tingkat daerah untuk penguatan mekanisme pencegahan dan penananganan kasus kekerasa terhadap jurnalis
- Memastikan organisasi dan perusahaan media berkolaborasi memperkuat SOP penanganan kasus kekerasan baik fisik, digital, maupun psikosial
- Mengarusutamakan soal kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis kepada aparat penegak hukum dan pemerintah di tingkat nasional dan subnasional sebagai bagian dari penegakan demokrasi dan HAM
Advokasi Yayasan Tifa dan konsorsium program Jurnalisme Aman masih akan terus berlanjut selama 4 tahun mendatang. Setelah ini akan dilaksanakan kegiatan pertemuan lintas sektor di level nasional yang melibatkan aparat penegak hukum, Dewan Pers, Komnas HAM, asosiasi jurnalis serta pemangku kepentingan kunci lainnnya untuk membahas hasil dan rekomendasi dari pertemuan di tiga wilayah.
Selain itu, konsorsium Jurnalisme Aman akan memberikan peningkatan kapasitas kepada jurnalis dan jurnalis warga tentang keamanan digital, fisik dan psikososial serta pelatihan untuk personil kepolisian dan Komnas HAM tentang perlindungan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis sebagaimana dimandatkan dalam instrumen HAM internasional, nasional dan undang-undang. Jalan menuju Jurnalisme Aman memang masih panjang, namun Yayasan Tifa percaya dengan kolaborasi sinergis, peningkatan kapasitas, serta usaha pengarusutamaan isu keamanan dan keselamatan jurnalis kepada pemangku kepentingan dan masyarakat; akan mengarah pada terciptanya ekosistem jurnalisme yang aman.
[1] Indeks Kota Toleran. SETARA Institute. 2021.
[2] Indeks Kemerdekaan Pers. Dewan Pers Indonesia. 2021.